Imam Al-Ghazali
Dasar dan zuhud adalah ilmu dan cahaya yang memancar dalam kalbu dan melapangkan dada. Dengan cahaya itu akhirat jelas lebih baik dan kekal. Perbandingan dunia dengan akhiratpaling sederhana adalah ibarat buah-buahan dengan permata.
Allah Swt. berfirman:
“Dan janganlah kamu tunjukkan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia untuk Kami coba mereka dengannya. Dan karunia Tuhan kamu adalah lebih baik dan lebih kekal.” (Q.s. Thaha: 131)
Dan Allah swt. berfirman:
”Barangsiapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan baginya dan barangsiapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian keuntungan di dunia dan tidak ada baginya suatu bagian pun di akhirat.” (Q.s. Asy-Syuura: 20).
Tentang hak Qarun, Allah swt. berfirman:
“Maka keluarlah Qarun kepada kaumnya dalam kemegahannya. Berkatalah orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia, ‘Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Qarun; sesungguhnya Ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar’ Berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu,‘Kecelakaan yang besarlah bagimu, pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh’.” (Q.s. Al-Qashash: 79-80).
Dijelaskan pula bahwa zuhud merupakan salah satu buah ilmu. Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa yang pagi-pagi, dengan tujuan utamanya adalah dunia, Allah akan mencerai-beraikan urusannya, memporak-porandakan pekerjaannya dan menjadikan kefakirannya ada di depan matanya, serta tidak memberinya bagian dunia, kecuali yang telah ditetapkan kepadanya. Dan barangsiapa yang pagi-pagi bertujuan akhirat, Allah akan menghimpun keinginan-keinginannya, memelihara pekerjaannya, menjadikan kekayaannya ada dalam kalbunya, dan dunia mendatanginya dalam keadaan patuh.”
Ketika ditanya tentang firman Allah Swt :
“Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit.” (Q.s. Al-An’am: 125).
Yakni, tentang arti dan pengertian As-Syarhu (lapang), Rasulullah Saw. menjawab, “Ketika cahaya memasuki kalbu, ia jadi lapang dan luas.”
Ditanyakan kepada beliau, “Apakah hal itu memiliki tanda-tanda tertentu?”
“Benar,“ jawab Rasulullah, “memisahkan diri dari negeri yang penuh tipu daya, dan kembali pada negeri keabadian, serta mempersiapkan untuk mati sebelum datangnya maut.”
Rasulullah Saw juga bersabda, “Malulah kepada Allah dengan sebenar-benarnya!”
Dikatakan kepada beliau, “Kami memang malu.”
Rasulullah Saw. menimpali, ‘‘Kalian membangun apa yang tidak kalian tempati dan kalian memakan apa yang tidak kalian makan.”
Selanjutnya Rasulullah Saw. bersabda, “Barangsiapa yang hidup zuhud di dunia, Allah memasukkan hikmah ke dalam kalbunya, menjadikan lisannya berbicara dengan (penuh) hikmah, memberitahunya tentang penyakit dunia dan obatnya, serta mengeluarkannya dari dunia dengan selamat (sejahtera) menuju ke negeri yang penuh kedamaian (Darus salam).”
Sabda beliau pula, “Seorang hamba itu tidak akan mencapai kesempurnaan hakikat iman, sehingga ia lebih mencintai untuk tidak dikenal daripada dikenal, dan sesuatu yang sedikit itu lebih ia cintai daripada sesuatu yang banyak.”
Dan sabda Rasulullah saw. berikutnya, “Jika Allah hendak mengaruniakan kebaikan kepada seseorang, Dia jadikan ia zuhud di dunia, menjadikan senang di akhirat, dan diperlihatkan cacat dirinya.”
Sabda beliau, “Hidup zuhudlah di dunia, niscaya kalian dicintai Allah swt, dan berzuhudlah terhadap apa yang jadi milik manusia, niscaya manusia mencintai diri kalian!”
Sabdanya pula, “Barangsiapa berkeinginan untuk diberi ilmu oleh Allah tanpa belajar, dan petunjuk tanpa hidayat, maka hendaklah ia hidup zuhud di dunia.”
Hidup zuhud memiliki esensi, dasar dan buah. Esensi zuhud adalah, menjauhkan diri dari kehidupan dunia dan memalingkan diri darinya, penuh kepatuhan semaksimal mungkin.
Dasar dari zuhud adalah ilmu dan cahaya yang memancar dalam kalbu, dan melapangkan dada. Dengan cahaya itu akhirat jelas lebih baik dan kekal. Perbandingan dunia dengan akhirat paling sederhana adalah ibarat buah-buahan dengan permata.
Sedangkan buah zuhud adalah merasa cukup dengan apa adanya, untuk sekadar memenuhi kebutuhan, sekadar biaya penumpang kendaraan.
Sementara dasar dari hidup zuhud itu adalah cahaya ma’rifat yang membuahkan hal menjauhkan diri dari dunia. Ini menjelma pada anggota tubuh berupa sikap mencegah diri dari dunia, kecuali sekadar memenuhi kebutuhan sebagai bekal perjalanan. Bekal darurat di tengah jalan adalah tempat tinggal, pakaian, makanan dan perkakas rumah.
Makanan memiliki jangka waktu dan takaran tertentu. Jangka waktu makanan yang terpendek atau terdekat adalah sekadar merasa cukup dengan mengganjal rasa lapar pada waktu itu pula. Jika makanan itu sekadar untuk makan pagi, maka ia tidak menyimpan makanan untuk makan malam. Jangka waktu sederhana adalah menyimpan makanan untuk rentang waktu sebulan sampai empat puluh hari saja; dan yang lebih minim lagi, menyimpan makanan untuk satu tahun. Bila melampaui jangka waktu tersebut, itu berarti telah keluar dari seluruh kategori hidup zuhud. Kecuali ia memiliki kasab yang tidak bersumber dari kekuasaan; seperti Daud At-Tha’ie. Dia adalah orang yang memiliki 20 dinar. Ia menahan uang tersebut dan merasa puas dengan sejumlah uang itu selama 20 tahun; yang demikian ini tidak membatalkan tahap dan derajat zuhud di akhirat, kecuali bagi orang yang mensyaratkan adanya tawakal dalam hidup zuhud itu sendiri.
Ukuran dan takarannya minimal setengah adalah satu kati, dan takaran yang tertinggi ialah satu thud. Lebih dari takaran tersebut, berarti membatalkan maqam hidup zuhud.
Jenis makanan tersebut adalah makanan pokok sehari-hari, walaupun hal itu berupa tepung kasar. Jenis sederhana adalah roti gandum, dan jenis yang tertinggi adalah roti gandum yang tidak diayak. Bila diayak, tergolong hidup mewah, bukan hidup zuhud. Rempah-rempahnya, yang paling rendah adalah cuka, sayur dan garam. Jenis sederhana adalah minyak, dan jenis tertinggi ialah daging. Itu pun seminggu sekali, atau dua kali. Jika berlangsung lama, orang tersebut bukanlah orang yang hidup zuhud.
Aisyah r.a. berkata, “Selama empat puluh malam di rumah Rasulullah Saw, lampu ataupun api tidak pernah dinyalakan.”
Dikatakan, selama tiga hari sejak tiba di Madinah, Rasulullah Saw. belum pernah kenyang dengan roti gandum.
Sedangkan pakaian, minimal adalah pakaian yang dapat menutupi aurat dan melindungi diri dari panas dan dingin. Sedangkan paling mewah adalah pakaian yang berupa baju, celana, sarung dan jenis yang kasar, kemudian bila mencuci pakaian, ia tidak mendapatkan pakaian lain sebagai gantinya. Orang yang memiliki dua baju bukanlah orang yang hidup zuhud.
Aisyah r.a, kata Abu Dzar, pernah mengeluarkan pakaian yang bertambal-tambal dan sarung kasar, lalu dia berkata, ”Rasulullah Saw. bertahan dengan dua macam pakaian ini.”
Rasulullah Saw. pernah salat dengan mengenakan pakaian dan tenunan bulu, setelah mengucapkan salam, beliau bersabda, ”Aku disibukkan dengan melihat baju ini, bawalah baju ini ke Abu Jahm (Al-Hadist).”
Tali sandal beliau telah usang, lalu (oleh salah seorang sahabat) diganti dengan tali sandal yang baru. Seusai salat beliau bersabda, “Kembalikanlah tali sandal yang usang, sungguh aku melihat (tali baru) dalam salat.”
Beliau takjub terhadap keindahan sepasang sandalnya itu, spontan beliau sujud, lalu bersabda, “Keindahan sepasang sandal itu membuatku kagum, maka aku tunduk kepada Tuhanku, khawatir Dia membenciku.”
Selanjutnya beliau keluar dengan mengenakan sepasang sandal tersebut, dan kemudian diberikan kepada orang miskin yang pertama kali beliau lihat (temui).
Baju Umar r.a. diperkirakan memiliki dua belas tambalan, di antara tambalan itu berasal
dari kulit.
Adapun Ali r.a, di masa pemerintahannya membeli pakaian seharga 3 dirham, lalu memotong lengan bajunya itu sampai di pergelangan tangan seraya berkata, “Segala puji bagi Allah, ini termasuk pakaian yang mewah.”
Di antara mereka juga berkata, ”Aku menaksir pakaian dan sandal Sufyan seharga satu dirham dan 2/6 dirham.”
Ali r.a. berkata, “Sesungguhnya Allah telah memberikan hidayat kepada para pemimpin agar mereka seperti halnya manusia kelas bawah, agar kaum yang kaya meneladani mereka dan tidak merendahkan kefakiran si orang miskin, karena dia sendiri juga fakir.”
Tempat tinggal (rumah) dalam ukuran paling sederhana adalah, Anda puas dengan salah Satu sudut di dalam masjid, atau sebuah tempat pondokan ahli shuffah. Rumah termewah bagi orang yang hidup zuhud adalah dia berupaya mencari tempat khusus, yaitu sebuah ruangan atau kamar, baik dengan jalan dibeli ataupun disewa, dengan syarat luasnya tidak melebihi kebutuhan, tidak terlalu tinggi dan dia tidak mempermasalahkan akan catnya.
Dalam sebuah atsar disinyalir, bahwa orang yang meninggikan bangunan rumahnya lebih dari enam hasta, dipanggil oleh penyeru, “Hendak ke mana wahai orang yang paling fasik? Sedang Rasulullah saw. meninggal dunia, tidak pernah menata batu-bata dan bambu.”
Abdullah bin Umar r.a. berkata, “Rasulullah Saw melintasi kami yang sedang mengerjakan atau mendirikan rumah dari bambu, maka beliau bersabda, “Sesungguhnya persoalannya lebih cepat dari itu. Nabi Nuh as. membuat rumah dan bambu. Maka dinyatakan kepada beliau, Jika kamu mau, kamu dapat membuatnya dari tanah.’ ’Ini sudah cukup untuk orang yang akan mati,’ jawab beliau’.”