Ketahuilah, yang disebut dungu adalah orang yang ditinggal mati ayahnya lalu ia menangis, meratap, bersedih, dan merasa kecewa atasnya. Sementara dalam saat yang sama ia tidak menangisi pembangkangannya pada Allah.
Seolah-olah kondisinya itu mengatakan, “Aku menangisi kepergian sesuatu yang telah membuatku lalai dari Tuhan’ Padahal, semestinya ia menyerah pasrah pada ketentuan Allah.
Selain harus ridha dan sabar dalam menerima ujian tersebut lalu bergembira seraya mendekatkan diri pada Tuhan lantaran Dia telah mengambil sesuatu yang selama ini menyebabkan ia lalai dari-Nya. Allah berfirman, “Sesungguhnya harta dan anak-anak kalian hanyalah cobaan (bagi kalian). Sementara di sisi Allah-lah pahala yang besar” (Q.S. al-Taghabun : 15).
Sungguh buruk engkau wahai manusia kalau uban sudah tampak sementara pikiranmu tetap masih Seperti anak-anak. Ia tak bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, tak memahami apa yang Allah inginkan, dan tak mengetahui hikmah-Nya dalam mengujimu di dunia ini.
Bila benar-benar berakal, engkau seharusnya menganggap musibah dalam urusan agama jauh lebih berbahaya dan lebih hebat ketimbang musibah dunia. Tangisilah dirimu sebelum kau ditangisi saat matimu nanti. Sesungguhnya istri, anak, dan teman tidaklah menangisimu di saat engkau mati. Tetapi, sebetulnya mereka sedang menangisi kepentingan dan kebutuhan mereka yang hilang karena kepergianmu. Kalau saja engkau kurang dibutuhkan atau tidak begitu penting, pasti tak ada yang menangisimu. Justru sebaliknya, mereka akan berbangga dan merasa lapang. Karena itu, sebelum ditangisi, tangisilah dirimu di dunia ini. Katakan pada dirimu, “Sudah sepantasnya aku meratapi maksiat dan ketidaktaatanku pada Tuhan sebelum aku ditangisi orang.”
Zaid ibn Arqam ra. menceritakan bahwa suatu ketika seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah saw., “Wahai Rasulullah, bagaimana caranya aku menghindar dan neraka?” Beliau menjawab, “Dengan linangan kedua air matamu. Sesungguhnya kedua mata yang menangis karena takut pada Allah takkan tersentuh api neraka selamanya.” (H.R. Ibn AbI al-Dunya dan al-Ashbahani).
Wahai manusia, bila engkau tak memiliki sikap warak dan takut yang bisa menghalangimu dari berbuat maksiat, tangisilah dirimu di kala sendiri.
Letakkanlah debu di atas kepalamu karena Nabi saw. bersabda, “Siapa yang tak memiliki rasa warak yang bisa menghalanginya dan maksiat kepada Allah ketika sendirian, maka Allah pun sama sekali tiada peduli dengan amalnya.”
Apakah menurutmu kemuliaan akhlak seseorang diukur dari kesopanannya dalam berbicara, kesantunannya dalam bergaul, dan kedermawanannya pada manusia, sementara hak-hak Allah diabaikan dan aturanNya dilanggar? Tidak. Itu bukanlah akhlak yang mulia, tetapi merupakan bentuk kemunafikan, penipuan, dan manipulasi. Engkau baru dianggap mempunyai akhlak yang baik dan adab yang mulia bila engkau menjaga hak-hak Allah, melaksanakan
hukum-hukum-Nya, mematuhi semua perintah-Nya, dan menjauhi segala larangan-Nya.
Menurut Abu Dzar ra., Nabi saw. bersabda, “Wahai Abu Dzar yang disebut akal adalah mengatur, yang disebut warak adalah menjaga diri (dari dosa), dan yang disebut kebanggaan adalah berakhlak mulia.” (H.R. Ibn Hayyan dalam kitab Shahih-nya).
Siapa yang menahan diri untuk tidak melakukan maksiat kepada Allah, lalu menunaikan hak-hak-Nya, mengagungkan dan melaksanakan perintah-Nya, berarti ia memiliki akhlak luhur dan berjiwa mulia. Allah berfirman, “Siapa yang takut pada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempatnya.” (Q.S. al-Nazi’at 791: 40-41).
Sungguh buruk dan dungu kalau engkau mampu menunaikan hak-hak manusia, berbuat baik kepada mereka, tetapi tidak menunaikan
hak-hak Tuhan, Pencipta sekaligus Majikanmu, serta tidak menjalin hubungan yang baik dengan-Nya.