Tugas kewajiban bersahabat dengan orang-orang fakir, bahwa mereka kelak akan mencacinya. Dan bagi murid tidak boleh mencaci mereka, kemudian membenarkan dirinya. Murid harus memandang bahwa dirinya mempunyai kewajiban terhadap masing-masing dari para fakir itu. Sebaliknya dirinya tidak memiliki hak maupun kewajiban yang harus dipenuhi oleh mereka.
Kewajiban murid, tidak boleh kontra dengan siapa pun. Bila kebenaran ada di pihaknya, sebaiknya ia diam Saja. Malah, ia harus menampakkan keserasian dengan siapa saja.
Setiap murid, yang berpapasan dengan suatu tempat yang di sana ada tawa, kegaduhan, atau tempat orang lewat, maka ia tidak boleh mendatanginya. Apabila berada dalam kumpulan orang-orang fakir, baik ketika di rumah atau bepergian, seyogyanya sang murid tidak berselisih pandang dengan mereka secara lahir, baik dalam hal makan, puasa, diam dan gerak. Kalaupun berselisih, sebaiknya berselisih lewat batin saja. Demikian pula, sang murid sebaiknya menjaga hatinya untuk senantiasa bersama Allah swt.
Apabila para fakir itu mengajak makan misalnya, sang murid seyogyanya makan satu atau dua suapan. Ia tidak boleh memberi peluang bagi nafsu syahwatnya sendiri.
Wirid yang bersifat lahiriah, bukan termasuk adab para murid. Kaum Sufi, senantiasa berupaya menyingkirkan bisikan-bisikan dan menerapi akhlak-akhlak mereka serta membuang sifat buruk dari hatinya. Bukan justru memperbanyak kebajikan. Yang menjadi keharusan bagi dirinya adalah menegakkan ibadat-ibadat fardhu dan sunnah. Sedangkan ibadat tambahan seperti shalat-shalat sunnah, maka melanggengkan dzikir dalam hati, lebih utama bagi mereka. Modal utama seorang murid adalah mendekati masing-masing adab itu dengan kelapangan jiwa, dan menghadapinya dengan penuh ridha, sabar atas kefakiran dan kepedihan, meninggalkan (sikap) minta-minta dan konflik, baik dalam keadaan terhimpit maupun lapang, dan lebih membatasi diri untuk sekadarnya saja. Siapa saja yang tidak bersabar untuk semua itu, lebih baik pergi saja ke pasar!
Siapa pun yang masih memiliki kesenangan sebagaimana manusia pada umumnya, maka harus memenuhi seleranya itu seperti kebanyakan manusia, dengan kerja keras dan memeras otak. Apabila murid mendisiplinkan diri dengan melestarikan dzikir, memprioritaskan khalwat, lantas dalam khalwatnya menemukan hal-hal yang tidak ditemukan oleh kalbunya; baik dalam keadaan tidur, jaga atau antara tidur dan jaga; berupa bisikan yang didengar atau makna hati yang disaksikan, hal-hal yang menentang adat kebiasaan, maka sebaiknya ia tidak terpaku atau disibukkan oleh hal-hal seperti itu selamanya. Tidak selayaknya, murid menunggu datangnya peristiwa-peristiwa ruhani seperti itu. Sebab peristiwa seperti itu, merupakan gangguan-gangguan yang menjauhkan murid dari Allah Yang Maha Benar dan Maha Luhur.
Apabila murid mendapatkan peristiwa ruhani seperti di atas, ia harus melaporkan kepada syeikhnya, sampai hatinya benar-benar bersih dan kosong dari itu semua. Sementara bagi sang syeikh, menjaga rahasia batin si murid, agar tidak diketahui oleh yang lainnya, dan syeikh pun harus menegaskan bahwa peristiwa seperti itu hanya masalah kecil. Sebab semua itu tidak lain hanyalah informasi-informasi ruhani. Sedangkan berorientasi pada informasi ruhani merupakan makar atau cobaan. Sebaiknya murid menghindari untuk meneliti secara detil peristiwa-peristiwa ruhaninya. Lebih baik ia konsentrasi pada cita-citanya yang lebih luhur lagi, dari sekadar menggapai informasi ruhani itu.
Ingatlah, bahwa di antara bahaya terbesar bagi murid, manakala murid merasa senang atas apa yang datang dalam batinnya, berupa kedekatan-kedekatan Allah swt. kepadanya, dan anugerah-Nya yang dilimpahkan kepadanya, semisal merasa gembira, bahwa Allah swt. mengilhamkan, “Aku mengkhususkan dirimu dalam hal ini, dan Aku menyingkirkan semua persoalanmu.“ Maka bila saja ia mengucapkan, “Dengan meninggalkan ini,” pasti dalam waktu dekat hal-hal yang tampak dalam mukasyafah hakikat akan segera dihanguskan darinya. Penjelasan masalah ini termasuk hal-hal yang tidak diperkenankan dalam beberapa kitab.
Di antara aturan-aturan murid adalah apabila tidak menemukan syeikh yang dapat mendidik adab jiwanya di tempat tinggalnya, seharusnya ia hijrah kepada syeikh yang memiliki derajat di zamannya untuk memberi pelajaran petunjuk hati para murid, kemudian mukim di sisi syeikh, dan dilarang pergi dari tempatnya sampai pada waktu yang sudah diizinkan oleh syeikh.
Ingatlah, menjadi kewajiban, bahwa mengenal Tuhannya Baitullah harus didahulukan dibanding ziarah ke Baitullah itu sendiri. Kalau saja dalam dirinya tidak mengenal Tuhan Baitullah, sama sekali tidak wajib menziarahi Baitullah. Orang-orang muda yang pergi menunaikan haji, yang dilakukan tanpa melalui petunjuk syeikhnya, merupakan indikasi bahwa orang-orang itu hanya mengikuti semangat nafsunya semata. Mereka menamakan dirinya sebagai pengikut tharikat ini, padahal keberangkatannya tidak memiliki dasar. Indikasinya, mereka tidak memiliki bekal keberangkatan, kecuali bekal perpecahan jiwanya. Padahal, apabila mereka berangkat dari jatidirinya satu langkah saja, niscaya selangkah itu lebih baik dibanding seribu kali bepergian.Di antara syarat bagi murid pula, bila berziarah kepada seorang syeikh, murid harus masuk dengan penuh rasa hormat, memandangnya dengan wajah yang ramah. Apabila sang syeikh menyilahkan dengan suatu sambutan, tentu, sambutan itu merupakan anugerah kenikmatan.