Disamping itu dia tidak boleh berbeda pandangan dengan syeikhnya, dalam berbagai isyarat yang ditujukan kepadanya. Berbeda pandangan dengan syeikh, bagi seorang murid, merupakan bahaya besar. Karena awal perjalanan ruhaninya merupakan bukti bagi seluruh usianya.
Syarat lain bagi murid, tidak boleh ada ganjalan kontradiksi terhadap syeikhnya. Bila dalam benaknya mempunyai persepsi bahwa dirinya, di dunia dan di akhirat mempunyai kemampuan dan nilai, atau merasa paling hebat di muka bumi, maka cita-citanya tidak shahih. Karena, seharusnya ia berjuang agar mengenal Tuhannya, bukan berjuang untuk mendapatkan status dirinya.
Di sinilah, adanya perbedaan antara orang yang mengharapkan Allah swt. dan orang yang mengharapkan status kepangkatan, baik harapan itu untuk dunianya maupun akhiratnya.
Selain itu murid wajib menjaga rahasia batinnya, bahkan dari kancing bajunya sekalipun, kecuali hanya kepada syeikhnya. Kalau murid memendam rahasia nafas jiwanya terhadap syeikhnya, berarti ia telah mengkhianati kesantrian terhadap syeikh.
Apabila terjadi suatu perbedaan dengan petunjuk syeikhnya, ia wajib berikrar di hadapan syeikh pada saat itu pula, kemudian menyerahkan sepenuhnya kepada syeikh, hukuman apa pun yang dijatuhkan kepadanya atas tindak keburukan dan sikap kontranya. Hukuman itu terkadang; ia disuruh bepergian atau perintah yang diketahuinya.
Bagi para syeikh sendiri tidak dibenarkan melampaui apa yang menjadi kesalahan para murid. Karena hal demikian berarti menelantarkan hak-hak Allah swt.
Syeikh tidak boleh menuntun murid dengan suatu dzikir apabila murid belum menyingkirkan segala ketergantungan duniawi, namun, seharusnya seorang syeikh cukup melatihnya saja. Namun apabila sang syeikh telah menyaksikan murid melalui hatinya, bahwa murid telah benar hasrat utamanya, maka syeikh harus membuat syarat agar murid ridha terhadap apa yang dihadapi dalam tharikat ini berupa bagian-bagian praktis dari aturannya. Maka, demikian syeikh mengambil janji kepada murid untuk tidak berpaling dari tharikat ini, manakala murid menghadapi berbagai masalah seperti kesengsaraan, kehinaan, kefakiran, kepedihan dan penyakit.
Sang murid dilarang menebarkan sikap yang meremehkan, tidak boleh mencari kemudahan ketika tertimpa kekurangan dan desakan, tidak lebih dahulu meminta dan tidak bersikap malas-malasan. Sebab kemandegan murid dalam waktu senjangnya merupakan keburukan. Perbedaan antara senjang dan mandeg: bahwa senjang waktu masih ada peluang untuk kembali meneruskan hasrat atau keluar dari cita-cita penempuhan. Sementara kemandegan, berarti berhenti menempuh jalan ruhani, karena dorongan menikmati kemalasan. Setiap murid yang mandeg pada awal hasratnya tidak akan memperoleh sesuatu.
Apabila syeikhnya memberikan latihan kepadanya, syeikh harus menuntun sebagian dzikir sebagaimana yang ditunjukkan. Syeikh memerintahkan kepada murid untuk mengingat ucapan dzikir tersebut melalui lisan, kemudian si murid dianjurkan untuk menyelaraskan ucapan dzikir dengan hatinya. Lalu syeikh menegaskan kepada murid, “Berteguhlah dirimu untuk melanggengkan dzikir ini, seakan-akan kamu, dengan hatimu bersama Tuhanmu selamanya. Jangan ada ucapan dzikir selain ucapan ini, semaksimal mungkin!”
Selanjutnya syeikh memerintahkan kepada murid agar senantiasa melanggengkan suci dan hadas (thaharah); tidak tidur kecuali dilanda kantuk; mengurangi makan sedikit demi sedikit secara bertahap, Sehingga terbiasa. Bagi syeikh, hendaknya tidak memerintahkan murid agar meninggalkan kebiasaannya secara serentak. Sebab dalam hadis dijelaskan, “Sesungguhnya benih yang tumbuh tidak pada tanah akan pupus, dan pertumbuhannya tidak lestari.”
Murid dianjurkan untuk memprioritaskan khalwat dan ‘uzlah. Ketekunannya dalam kondisi seperti itu tidak mustahil untuk menghilangkan bahaya-bahaya yang mengancam agama, serta bisikan-bisikan yang mengganggu hati.
Ingatlah, kondisi seperti itu keraguan dalam akidah tidak akan sunyi dari perjalanan permulaan seorang murid dalam menempuh hasrat spiritualnya. Apalagi bila si murid memiliki kecerdasan hati, seringkali menghadapi cobaan-cobaan seperti itu. Bahkan hampir semua murid mengalaminya.
Tugas syeikh, apabila melihat muridnya ada yang memiliki kecerdasan seperti itu, seharusnya diarahkan dengan argumentasi rasional. Sebab dengan pengetahuan seperti itu, tidak mustahil akan selesai permasalahannya, terutama untuk menghapus keraguan benaknya. Bila syeikhnya memberikan firasat, akan kekuatan dan keteguhan pada diri murid dalam menempuh tharikat ini, si murid diharuskan bersabar dan melestarikan dzikirnya, sampai muncul cahaya penerimaan, dan muncul rahasia mentari wushul. Dalam waktu dekat akan terjadi hal-hal seperti itu. Namun kejadian seperti itu tidak akan muncul kecuali pada individu-individu murid.
Sedangkan yang umum, terapi untuk mereka dikembalikan pada kontemplasi dan perenungan berbagai ayat, dengan syarat untuk memperoleh ilmu tentang dasar-dasar agama, sekadar untuk kebutuhan mendesak bagi murid.
Ingatlah, bagi para murid, secara khusus, akan mendapatkan ujian-ujian dalam menggapai pintu tharikat ini. Karenanya, bila mereka menyendiri dalam tempat-tempat dzikir atau majelis-majelis sima’, atau yang lain, jiwanya sering diganggu, dan kepeduliannya sering dihembusi oleh kemungkaran-kemungkaran yang mengatakan bahwa Allah swt. suci dari semua itu, disamping si murid tidak dipersepsikan adanya nuansa syubhat yang batil pada bisikan-bisikan itu. Tetapi gangguan itu tidak berjalan lama. Pada saat-saat seperti itu, kepedihan luar biasa menimpa murid, sampai pada batas, dimana makian yang paling kotor, ucapan yang paling keji, dan bisikan yang paling busuk, yang tidak dapat diungkapkan oleh si murid kepada siapa pun. Inilah gangguan terberat yang menimpa dirinya. Tugas si murid bila terganggu seperti itu, adalah tidak mempedulikan bisikan-bisikan itu dengan tetap melestarikan dzikir, kembali kepada Allah swt, mempertahankannya dengan sikap konsisten. Bisikan-bisikan itu bukanlah hembusan-hembusan setan, tetapi merupakan gangguan nafsu. Apabila hamba dapat menandinginya dengan cara meninggalkan orientasi pada gangguan tersebut, maka gangguan itu akan putus dengan sendirinya.
Di antara adab murid, atau bahkan kewajiban-kewajiban yang menjadi tugasnya, adalah menetapi tempat penempuhannya. Murid jangan sampai pergi sebelum menempuh jalan, sebelum hatinya wushul kepada Allah swt. Sebab, pergi dengan waktu yang bukan pada waktu yang ditentukan, merupakan racun mematikan.
Selain itu murid tidak akan meraih harapannya, bila pergi pada saat yang bukan waktunya.
Apabila Allah swt. menghendaki murid suatu kebaikan, Dia akan meneguhkan di awal penempuhan ruhaninya. Tetapi bila Allah swt. menghendaki keburukan pada murid, Allah swt. akan mengembalikan pada suasana semula, keluar dari wahana penempuhan, kembali dengan pekerjaan dan situasi semula, sebelum memasuki gerbang tharikat.
Apabila Allah swt. menghendaki murid dengan suatu cobaan, Allah swt. melemparkan pada wahana keterasingan. Ini pun bila si murid akan mendapatkan kebaikan wushul kepada-Nya. Apabila ia penempuh muda, jalan yang ditempuh adalah berkhidmat secara lahiriah dengan sepenuhjiwanya kepada para fakir. Ia berada di bawah satu taraf mereka dalam tharikat ini. Ia dan orang yang sejenjang, secara lahiriah harus menampakkan sikap sopan.
Mereka berhenti ketika sedang dalam perjalanan. Pangkal dari bagian mereka dalam tharikat ini, adalah memenuhi sasaran yang dihasilkannya, mengunjungi tempat-tempat dimana ia menempuh perjalanan, menemui orang-orang yang lanjut usia dengan ucapan salam, menyaksikan fenomena-fenomena, dan berjalan dengan penuh etika kesopanan. Kewajiban mereka adalah senantiasa pergi, sehingga tidak tergoda untuk berbuat dosa. Sebab, orang muda, bila menemukan keringanan dan godaan, ia berada di gerbang cobaan. Bila ia dicoba dengan cobaan itu, hendaknya, jalan yang ditempuh adalah menghormati orang-orang lanjut usia, melayani kepentingan para sahabat dan meninggalkan konflik dengan mereka, mengentas beban yang bisa meringankan si fakir. Berupaya sepenuhnya, agar tidak melukai hati sang syeikh.