Abu Amran langsung berdiri, mencium kepala asy-Syibly, sambil berkata, “Wahai Abu Bakr, engkau telah menyerap sepuluh pandangan tentang masalah haid yang belum pernah aku dengar sama sekali. Sedangkan yang kuketahui hanya tiga pandangan saja.”
Dikatakan, ‘Abul Abbas bin Suraij adalah seorang ulama fiqih yang pernah menghadiri majelis al-Junayd r.a, dan mendengarkan penuturannya. Kemudian Abul Abbas ditanya, ‘Apa pendapatmu tentang ucapan itu?’ Ia menjawab, ‘Aku tidak mengerti apa yang diucapkan al-Junayd. Namun aku tahu ucapan tersebut merupakan lompatan, yang bukan tergolong lompatan kebatilan’.”
Dikatakan kepada Abdullah bin Sa’id bin Kilab, “Anda berbicara pandangan masing-masing ulama. Lalu di sana ada seorang tokoh yang dipanggil dengan nama al-Junayd. Lihatlah, apakah Anda kontra atau tidak?” Abdullah lalu menghadiri majelis al-Junayd. Ia bertanya kepada al-Junayd tentang tauhid, lalu junayd menjawabnya. Namun Abdullah kebingungan. Lantas kembali bertanya kepada al-Junayd, “Tolong Anda ulang ucapan tadi bagiku!” Al-Junayd mengulangi, namun dengan ungkapan yang lain. Abdullah lalu berkata, “Wah, ini lain lagi, aku tidak mampu menghafalnya. Tolonglah Anda ulangi sekali lagi!” Lantas al-Junayd pun mengulanginya, tetapi dengan ungkapan yang lain lagi. Abdullah berkata, “Tidak mungkin bagiku memahami apa yang Anda ucapkan. Tolonglah Anda uraikan untuk kami!” Al-Junayd menjawab, “Kalau Anda memperkenankannya, aku akan menguraikannya.”
Lalu Abdullah berdiri, dan berkata akan keutamaan al-Junayd serta keunggulan moralnya. “Apabila prinsip-prinsip kaum Sufi merupakan prinsip paling shahih, dan para syeikhnya merupakan tokoh besar manusia, ulamanya adalah yang paling alim di antara manusia. Bagi para murid yang tunduk kepadanya, bila sang murid itu termasuk ahli penempuh dan penahap tujuan mereka, maka para syeikh inilah yang menjaga apa yang teristimewa, berupa terbukanya kegaiban. Karenanya, tidak dibutuhkan lagi bergaul (terkait) dengan orang yang ada di luar golongan ini. Bila ingin mengikuti jalan Sunnah, sementara dirinya tidak kompeten untuk mandiri dalam hujjah, lalu ingin menahapi wilayah bertaklid agar bisa sampai pada kebenaran, hendaknya ia bertaklid kepada ulama salafnya. Dan hendaknya melintasi jalan generasi Sufi ini, sebab mereka lebih utama dari yang lain.”
Al-Junayd berkata, “Jika Anda mengetahui bahwa Allah swt. memiliki ilmu di bawah atap langit ini yang lebih mulia daripada ilmu tasawuf, dimana kita berbicara di dalamnya dengan sahabat-sahabat dan teman kita, tentu aku akan berjalan dan menuju ilmu tadi.”
Apabila telah mengikat dirinya dengan Allah swt, sang murid harus memperoleh ilmu syariat, bisa dengan jalan penelitian (tahqiq) atau melalui cara bertanya kepada imam-imamnya, mana kewajiban-kewajiban yang harus dijalankan. Bila di antara mereka berselisih pandang soal syariat, si murid harus mengambil pandangan yang lebih hati-hati dan lebih teliti. Disamping itu, ia harus berusaha keluar dari lingkaran khilafiyah (al-khuruj minal khilaf). Sebab kemurahan (rukhshah) dalam syariat hanya diperuntukkan bagi mereka yang lemah dan mereka mendapatkan kesibukan dan hajat yang amat mendesak. Sedangkan kesibukan para murid, tidak lain hanyalah bersibuk diri bersama Allah swt. Karena itu dikatakan, “Apabila si fakir turun dari derajat hakikat kepada rukhshah syariat berarti ikatannya dengan Allah swt. telah rusak. Janji antara dirinya dengan Allah swt. juga rusak. Kemudian bagi murid, harus belajar adab dengan seorang syeikh. Apabila dalam menempuh jalan Sufi ini murid tidak mendapatkan seorang syeikh ruhani, ia tidak akan bahagia selamanya.” Karena itu Abu Yazid al-Bisthamy berkata, “Siapa pun yang tidak memiliki guru, maka setanlah imamnya.”
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata, “Pohon, apabila tumbuh dengan sendirinya, hanya tumbuh dengan daunnya, tetapi tidak berbuah. Begitu pula murid, apabila tidak berguru dengan syeikh, lalu menyerap begitu saja ajaran tasawuf melalui metodenya sendiri, maka murid itu adalah penghamba hawa nafsu, yang tidak akan lestari.”
Bila si murid hendak menempuh jalan ruhani (suluk) setelah melampaui semua itu, pertama-tama yang harus dilakukan adalah tobat kepada Allah swt. dari segala kesalahan. Meninggalkan seluruh dosanya baik dosa lahir maupun batin, dosa kecil maupun besar. Ia pun harus rela dengan caci-maki orang lain. Sebab barangsiapa tidak rela dengan caci-maki, tidak akan terbuka hatinya untuk menjalani tharikat ini. Dalam contoh seperti itu, para Sufi telah menempuhnya. Setelah itu murid harus melakukan pembuangan segala ikatan dan kesibukan. Karena bangunan tharikat ini berada di atas kekosongan hati (selain Allah swt.).
Dulaf asy-Syibly berkata kepada Ali al-Hushry pada awal mula penempuhan jalan ruhaninya, “Apabila masih ada kepedulian selain Allah swt. dalam hati Anda, dari hari Jum’at ini ke Jum’at yang akan datang, haram bagi Anda menghadiri majelisku.”
Bila si murid ingin keluar dari kaitan-kaitan yang ada, pertama-tama ia harus keluar dari harta-bendanya. Sebab harta itu yang dapat memalingkan dari Allah swt. Tidak seorang murid pun ditemukan yang memasuki persoalan tasawuf, sementara dalam dirinya masih ada keterkaitan dengan dunia, melainkan keterkaitan-keterkaitan duniawi itu akan menariknya keluar dari dunia tasawuf. Kedua, bila telah keluar dari harta-benda, murid harus keluar dari tahta/status sosial. Terlibat mengejar pangkat merupakan faktor pemutus yang amat besar. Bila penolakan dan penerimaan manusia terhadap dirinya masih belum diterima dengan hati yang sama dimana tidak ada manfaat secara pribadi, bahkan membuat dirinya mendapatkan kesusahan, karena pergaulan dengan sesama itu, bahkan ia tidak mendapatkan pengukuhan dan atau pemberkatan karena tekanan pengucilan orang-orang terhadap ucapan-ucapan ini, bagaimanapun tetap tidak dibenarkan berhasrat kepada mereka. Bagaimana pemberkatan manusia itu dibenarkan? Sementara mereka harus keluar dari status sosial dan kepangkatan mereka? Mengapa? Sebab pemberkatan dan pengejaran status kepangkatan di mata manusia merupakan racun yang mematikan bagi dirinya.
Apabila seorang murid keluar dari harta dan tahtanya, ia harus membenarkan dan meluruskan akidahnya antara dirinya dengan Allah swt.