VIRUS RIYA’
“Dul, kira-kira penyakit modern yang paling membahayakan saat ini bagi kita apa, ya?” tanya Pardi. Dulkamdi hanya tercengang, mengernyitkan jidatnya sambil garuk-garuk kepala. “Kalau kamu Tanya penyakit apa, rasanya sudah tak terhitung, Dul…” “Kalau bagi kamu?” “Bagiku semuanya masih tidak ada yang beres dalam diriku sendiri… Kamu sendiri bagaimana?” “Saya lagi mikir-mikir, ibadah kita ini nggak ada ikhlasikhlasnya, rasanya penuh dengan riya’…” “Nah, itu lagi, Dul. Aduh kita ini akan diterima nggak ya amal kita?”
Dua orang itu hanya terdiam panjang. Sunyi dan menggigilkan jiwa. Sepadat dingin pagi itu di kedai Cak San.
“Kita harus cari cara yang tegas untuk membumihanguskan riya’. Kalau sudah kita praktekkan, baru kita sampaikan ke kawan-kawan yang senasib dalam musibah Riya’ ini.” Usul Dulkamdi.
“Saya setuju. Kita adakan penelitian kasus-kasus riya’ yang besar sampai yang kecil Dul. Baru kita diskusikan dengan Kang Soleh dan kita bawa hasilnya ke Kyai Mursyid…”
“Kamu cukup cerdas, Di…”
Beberapa hari dua orang itu kembali bertemu di kedai Cak San sembari membawa lembar-lembar catatan hasil analisa praktek riya yang mereka alami atau sedang menjadi wabah di publik. Melihat ulah dua sahabatnya itu Kang Soleh hanya geleng-geleng kepala.
“Hebat kalian ini. Saya bangga dan terharu… Belum ada disertasi doktor yang meneliti praktek riya’ di masyarakat. Nanti, kalau sudah jadi penelitian kalian, saya usulkan kalian dapat hadiah dari Malaikat… Hehehe….”
Cukup mengagetkan ketika Kang soleh membaca agenda riya’ di publik yang serdang mereka teliti. Misalnya riya’ apa saja yang sering muncul di kalangan ahli ibadah, riya’ di kalangan para penceramah dan da’i, riya’ yang menimpa para Ulama dan Kyai, riya’ yang selalu muncul di kalangan politisi, anggota dewan, dan pejabat. Riya’ yang tumbuh di kalangan orang-orang yang sedang menempuh jalan Sufi, juga riya’ yang muncul di kalangan kaum spiritualis, dan sebagainya.
“Bagaimana Kang pendapatmu?” Tanya mereka pada Kang Soleh.
“Begini saja, sebagai perbandingan coba kamu catat kata-kata Al-Ghazali berikut ini:
“Apabila Anda telah mengenal esensi riya’ sedemikian rupa, dan begitu banyak celah-celahnya, Anda harus segera mencari terapinya. Di antara terapinya, untuk melawan faktor-faktor penyebab riya’ sebagai berikut:
Terapi bagi yang mencintai pujian, seperti orang yang menerjang barisan musuh agar dipuji sebagai pemberani atau menampakkan semangat ibadat agar dipuji sebagai wara’; maka, terapinya sama dengan terapi cinta tahta.
Ia harus tahu bahwa cinta pujian itu hanya semu, bukan hal yang hakiki. Dalam konteks riya’, khususnya, la harus mengikrarkan dirinya bahwa riya’ mengandung bahaya. Madu, walaupun sangat manis, apabila terkena racun, sisanya akan rusak.
Seorang hamba harus ikrar kepada diri sendiri, bahwa pada saat miskinnya, akibat riya’ tersebut, sering dipanggil, “Hai pengecut, hai penyimpang, kamu telah menghina Allah Swt, kamu lebih dekat dengan hamba-hamba-Nya, dan lebih cinta mereka. Kamu telah membeli pujian mereka dengan caci-maki Allah Swt, kamu telah mencari ridha mereka dengan dendam Allah Swt. Adakah yang lebih mulia di sisimu daripada Allah Swt?”
Rasanya tidak ada lagi tindak preventif terhadap riya’, kecuali cacian yang memalukan seperti itu. Bagaimana tidak? Karena riya’ merupakan perbuatan yang mengumpulkan berbagai siksaan dan menghapus ibadat. Riya’ telah mengunggulkan keburukan, setelah sang hamba menghimpun kebaikan. Dan riya’ itulah yang menyebabkan hancurnya amal.
Seorang hamba hendaknya ikrar kepada diri sendiri, bahwa mencari ridha manusia, tidak akan pernah dicapainya.
Siapa yang mencari ridha manusia dengan dendam Allah Swt, Dia akan mendendamnya. Bagaimana jadinya, meninggalkan ridha Allah dengan ganti sesuatu yang tidak pernah diraihnya?
Terapi atas motivasi riya’ berikutnya adalah motivasi takut dicaci-maki. Seorang hamba harus ikrar kepada dirinya, bahwa caci-maki orang tersebut tidak berbahaya, apabila memang terpuji di sisi Allah Swt. Dia tidak boleh menentang cacian dan murka Allah Swt. demi menghindari cacian manusia.
Kalau saja orang-orang itu mengetahui apa yang sebenarnya ada dalam hatinya, yang dipenuhi riya’, pasti mereka murka. Allah pun menolaknya, apalagi bila rahasia riya’nya terbongkar, manusia akan murka kepadanya, setelah mendapat murka Allah Swt karena kemunafikannya. “
Pardi dan Dulkamdi terjengah mendengar ungkapan Al-Ghazali. Bahkan ia sampai lupa mencatat kalimat demi kalimat itu. Wah…wah…wah
KHM Luqman Hakim (Jalan Ma’rifat, Kedai Sufi, 2016)