Thariqat Membebaskan Orientasi Materialisme

Tafsiran yang benar seperti apa?
Sang salik-lah yang harus berjuang untuk mengambil tindakan seperti yang ditunjukkan oleh sang mursyid. Tetapi sebagai pihak yang “ditunjukkan”, kita harus yakin bahwa mursyid kita memang benar-benar telah mengetahui tujuan perjalanan ini, dan itu harus di yakini sebelum kita melakukan perjalanan atau ketika kita telah memutuskan untuk mengambil atau mengangkat orang itu sebagai mursyid kita. Kita tidak boleh meragukan otoritasnya, oleh karena itu, tidak boleh mempertanyakan apakah jalan yang ditempuhnya itu memang benar atau salah, atau bertanya padanya, apakah ada jalan (thariqah; red) lain menuju yang “dituju” selain yang tengah ditempuhnya. Begitu sebenarnya tafsir atas ungkapan popular yang anda tanyakan.

Harus dibaca juga..

Jadi, seorang murid harus yaqin lebih dulu kepada mursyid dan jalan (thariqah;red) yang dipilihnya ?
Karena Dunia Sufi pada hakikatnya tidak bisa dipelajari lewat buku, maka latihan spiritual berupa dzikr, atau sama’, adalah cara yang efektif untuk memahaminya lewat pengalaman batin. Para mursyid umumnya mengajak murid-muridnya untuk melakukan perjalanan spiritual bersama melalui zikir menuju Tuhan, dengan metode seperti yang dialami dan dikuasai oleh sang mursyid sendiri. Mereka tidak mengajar murid-muridnya tentang ajaran para sufi. Karena itu, yang pertama dan utama yang harus dimiliki seorang murid adalah keyakinan kepada mursyid dan jalan yang dipilihnya. Dalam proses bimbingan, sang murid tidak boleh protes atau membangkang. Apalagi sampai melirik atau menclok jalan (thariqah; red) sana-sini. Silakan saja lirik dan menclok sana-sini, tetapi sang mursyid tidak bertanggungjawab atas kegagalan sang murid dalam menempuh perjalanan spiritual. Jangan berharap sukses kalau sang murid masih meragukan otoritas jalan (thariqah) dan mursyid yang dipilihnya.

Tadi, Anda menyinggung soal dzikir. Bisa Anda jelaskan posisi dzikir dalam tarekat ?
Secara sederhana dzikir artinya mengingat (recollection). Yang dimaksud dzikir disini adalah mengingat Allah, Tuhan pencipta alam. Umumnya dzikir dihubungkan dengan menyebut-nyebut nama Allah. Tapi, dalam artian umum, dzikir berarti tindakan atau perbuatan apapun yang bisa mengingatkan kita kepada sang Pencipta. Dan berkaitan dengan tarekat, dzikir biasanya dipahami sebagai melafalkan ungkapan (formula) tertentu. Dan yang paling popular diantra formula-formula tersebut adalah kalimat laa ilaaha illallaah, yang disandarkan pada hadits Nabi Saw, “Afdhaludz dzikri fa’lam annahu laa ilaaha illallaah,” yang artinya kurang lebih, “Ketahuilah, seutama-utama dzikir adalah kalimat laa ilaaha illallaah.” Fungsi dzikir tentunya harus cocok dengan tujuan dari kegiatan tarekat itu sendiri, yakni mendekatkan diri kepada Allah. Dan dzikir memang dapat melakukan fungsi tersebut dengan baik. Betapa tidak, dalam keadaan betul-betul khusyuk, ungkapan laa ilaaha, bisa berarti penafian terhadap segala apa pun yang kita idolakan, yang menjadi obsesi kita selain Allah, bisa dalam bentuk berhala-berhala diri, seperti egoisme, kekayaan, kedudukan, wanita dan lain sebagainya. Penafian ini penting untuk kita upayakan, mengingat diri kita ini telah lama memiliki begitu banyak belenggu atau pemikat yang bersifat duniawi. Belenggu-belenggu ini telah lama membebani mental kita, sehingga sering menjadi sumber stress, depresi, dan tentunya penghalang yang paling efektif untuk menjauhkan diri kita dari Tuhan. Fenomena ini tengah menggejala di masyakat kita sekarang.

Bagaimana penjelasan kalimat “illallaah” ?
Dzikir “illallaah” yang berarti “hanya Allah-lah satu-satunya yang ada” jika diintensifkan maka sang pengamal tarekat akan merasakan kehadiran Allah dalam hatinya. Perasaan dekat dengan Allah, yang menjadi tujuan utamanya selama ini, jika dilakukan penuh dengan disiplin, akan tercapai. Bahkan dalam intensitasnya yang tinggi, seorang sufi dapat merasakan bukan hanya dekat dengan Allah, tetapi bahkan merasa bersatu dengan-Nya. Dzikir yang dilakukan dengan baik dan khusyuk, akan dapat mengobati “kerancuan mental”. Dan salik, setahap demi setahap akan mampu melepaskan diri dari belenggu-belenggu yang membebani mental. Dengan berkurangnya beban setelah melakukan dzikir, maka keadaan jiwa dapat lebih ringan dan seimbang.

Selain dzikir, Anda juga menyebut istilah sama’. Bisa Anda jelaskan ?
Sama’ dalam literatur tasawuf adalah musik dan nyanyian dalam dzikir. Ia (sama’; red) memainkan peranan besar dalam praktek bertasawuf, meski dalam sistem peribadatan formal Islam ia tidak mempunyai tempat yang riil.

Dimana letak peran besarnya?
Sama’ disamping memiliki daya mistik untuk memperdalam perasaan, tetapi juga, ketika dikoordinasikan dengan dengan kata-kata simbolis dan gerakan-gerakan berirama, ia memiliki kekuatan atas kemauan manusia. Menurut Ahmad al-Ghazali (bukan Imam al-Ghazali penulis kitab ihya ulumiddiin; red), sama’ meliputi tiga tekhnik fisik: menari, berputar dan melompat, dan masing-masing gerakan tersebut memiliki fungsi sebagai simbol dari realitas spiritual. Simbol dari realitas spiritual.

Jadi, bukan sekedar untuk kepentingan keindahan panggung, atau sebagai asesori lagu-lagu rohani, target pasar blantika musik atau rating pemirsa ?
O, tidak. Masih mengutip al-Ghazali, tarian yang menjadi bagian dari sama’ merujuk kepada perputaran ruh (jiwa) di seputar lingkaran benda-benda yang ada ketika menerima pengaruh dari mukasyafah dan ini bentuk hal dari seorang ‘arif. Gerak putar merujuk kepada berdirinya sang ruh (jiwa) dengan Allah dalam kerahasiaan dan wujudnya. Pada saat yang sama, raut wajah dan pikiran menembus pada maqamat-maqamat spiritualitas dan ini adalah bentuk hal dari orang yang mencapai kepastian atau keyakinan. Sedangkan meloncat merujuk pada keadaan dirinya yang tertarik dari maqam manusia ke maqam persatuan (unitive station).

Letak perbedaan lainnya dimana antara tarian, putaran, lompatan yang “kering” dan yang “basah”? Y
ang Anda istilahkan “kering” pasti tidak memiliki keterkaitan dengan sama’. Sedangkan tarian, putaran dan loncatan yang Anda istilahkan dengan “basah” terkait dengan sama’, meliputi kegiatan mengajar. Jamaah berkumpul dipagi hari usai shalat subuh, atau setelah shalat isya. Selepas wirid formal (masih dalam keadaan duduk), seseorang dengan suara yang paling lembut membaca bagian tertentu dari Alquran. Kemudian sang syeikh mendiskusikan makna ayat-ayat tersebut dengan pengertian yang sesuai dengan maqam para murid-nya. Setelah pengajaran selesai, maka seorang qawwal atau penyanyi mulai menyanyikan puisi-puisi sufi untuk membawa mereka ke ekstasi. Ketika mereka mengalami sebuah daya yang mendorong jiwa mereka seperti mendapat undangan untuk melayani Sang Raja, disanalah tarian, putaran dan loncatan berlangsung. Semua itu tak akan berlangsung sebelum seseorang mengalami ekstasi. Ketika jiwa-jiwa mereka menerima pemahaman mitis dari keadaan-keadaan yang ghaib, dan hati mereka dilembutkan oleh cahaya-cahaya esensi ilahi dan telah dikukukahkan dalam kesucian dan cahaya spiritual, maka mereka duduk, dan penyanyi yang membawakan nyanyian cahaya membawa mereka setahap demi setahap dari yang batin kepada yang lahir.

Kemudian, ketika mereka berhenti, seseorang, selain qawwal, membawakan bagian dari tembang yang ada. Setelah itu mereka bangkit dari tempat tersebut dan pulang ke kediaman masing-masing. Disitu mereka duduk sejenak untuk merenungkan penyingkapan-penyingkapan yang muncul saat mengalami ekstasi. Dan sebagian mereka ada yang berpuasa beberapa hari untuk memberi makan bagi jiwa dan hati mereka agar lebih siap menerima datangnya waaridaat.

Ah, sebuah perjalanan….. Saya kira, spiritualitas itu, sejauh manusia menyadari bahwa dirinya terdiri dari dua dimensi, dia (tasawuf) tidak akan punah.

Next Post

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Top Stories

ADVERTISEMENT

Login to your account below

Fill the forms bellow to register

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.