Saya mendengar Abu Nashr ash-Shufy r.a. berkata, “Aku keluar dari Selat Oman, ketika itu perutku terasa lapar. Aku berjalan di pasar, sesampai di sebuah kedai makanan, di sana ada beberapa makanan dan manisan. Lalu aku bermaksud minta tolong pada seseorang. Kukatakan padanya, `Bisakah Anda membelikan barang ini untukku?’’ Lelaki itu menjawab, `Mengapa? Apakah aku punya tanggungan padamu? Atau aku punya semacam utang?’ Aku menjawab, `Anda harus membelinya untukku.’ Tiba-tiba ada seseorang yang melihatku, sembari berkata, `Hai anak muda, tinggalkan dia. Orang yang wajib membelikan apa yang kau mau itu adalah aku, bukan dia. Silahkan, ambil sekehendakmu.’ Ia membelikan sesuai apa yang kumaui, dan orang itu pergi begitu saja setelah itu.
Abul Husain al-Mishry berkata, “Aku sepakat dengan asy-Syajary dalam suatu acara bepergian dari Tharablus. Kami berjalan selama beberapa hari, tidak makan sedikit pun. Sejenak aku melihat kambing jantan sudah dimasak. Aku mengambil dan memakannya.
Tiba-tiba syeikh asy-Syajary berpaling kepadaku, sama sekali tidak berucap apa-apa. Lalu kubuang saja makanan itu, karena aku melihat syeikh tidak suka. Kemudian dia membuka uang lima dinar buat kami: Kami memasuki suatu desa. Aku berkata dalam hati, Aku akan dibelikan sesuatu, tidak mustahil.’ Namun syeikh tetap berlalu dan tidak berbuat apa-apa, sembari berkata, `Mungkin Anda akan berkata, `Kita ini berjalan dalam keadaan lapar, dan Anda tidak membelikan apa-apa buat kita. Begitu?’ Kemudian di tengah jalan kami menjumpai orang Yahudi. Dan di sana pula ada seseorangyang memiliki keluarga. Ketika kami masuk ke rumahnya, tampak sekali mereka repot atas kedatangan kami. Kemudian uang itu diberikan pada lelaki tadi, agar membelanjakan untuk kami dan keluarganya. Ketika kami sudah keluar, syeikh itu berkata padaku; `Ke mana wahai Abul Husain?’ Aku menjawab, Aku berjalan bersamamu.’ Beliau menjawab balik, `Tidak, Anda sebenarnya mengkhianatiku ketika melihat kambing jantan (yang masak), dan Anda masih menemaniku. Jangan begitu.’ Lantas syeikh itu menolak untuk kutemani.”
Saya mendengar dari Muhammad bin Abdullah asy-Syirazy yang berkata, bahwa la mendengar langsung dari Abu Ahmad ash-Shaghir, yang mendengar dari Abu Abdullah bin Khafif yang berkata, “Pada saat awal perjalanan ruhaniku, sebagian para fakir menghadap kepadaku. la melihat bekas kesedihan dan kelaparan pada mulutku. Kemudian aku dimasukkan ke dalam rumahnya, dihidangi daging yang dimasak dengan kisyik. Sementara daging itu mulai basi. Aku memakan roti remuk yang direndam, dan menjauhi daging karena basinya. Lantas aku mengambil sesuap, dan memakan dengan hati yang berat. Begitu juga ketika suapan kedua, terasa semakin berat hatiku. Si fakir itu melihat keresahanku, dan wajahnya tampak berubah. Romanku juga ikut berubah melihat perubahan roman si fakir itu. Aku lalu keluar meneruskan perjalanan. Aku mengirim seseorang kepada ibuku agar membawa lembaran (kertas). Ibuku tidak menolak, dan rela atas kepergianku. Aku pun berangkat ke Qadisiah bersama kelompok orang-orang fakir.
ami memakan apa adanya yang ada pada kami, dan kami terancam penderitaan. Akhirnya kami sampai di tengah kehidupan orang-orang Arab, toh, kami tak mendapatkan apa-apa. Kami pun merasa menderita, hingga kami ingin membeli anjing dari mereka dengan beberapa dinar dan memasaknya. Mereka memberi sedikit dagingnya. Namun ketika aku akan memakannya, aku berpikir sejenak tentang keadaanku. Tiba-tiba perasaanku mengatakan, bahwa tindakanku membuatnya tersiksa yang memalukan pada si fakir itu. Aku bertobat dalam hatiku. Dan si fakir terdiam, lantas memberi petunjuk jalan padaku. Aku pun berlalu dari tempat itu, dan pergi berhaji. Ketika pulang, aku mohon maaf pada si fakir tadi.”