Syeikh Abul Hasan Asy-Syadzily
Janganlah seseorang menunda ketaatan pada waktunya, hingga ia kehilangan taat pada waktunya. Atau karena ketaatan lain yang sepadan, yang turut tertunda, dengan alasan sebagai tebusan atas waktu yang ditentukan tersebut.
Sebab masing-masing waktu memiliki bagian dalam ubudiyah yang telah ditentukan Allah Swt. pada diri anda melalui aturan Rububiyyah.
Saya pernah berkata pada diri sendiri, “Abu Bakar ash-Shiddiq menunda witir hingga akhir malam…” Tiba-tiba muncul suara dalam tidurku, “Tindakan itu adalah kebiasaan yang berlaku dan sunnah yang ditetapkan, dimana Allah telah menetapkannya atas kebiasaan tersebut disertai pelestariannya. Lalu bagaimana dengan Anda (melakukan tindakan seperti itu) sementara ada kecenderungan untuk bersantai-santai dan menikmati keinginan nafsu? Sungguh jauh berbeda! Anda cenderung untuk masuk dalam berbagai penyimpangan; dan alpa dari musyahadah? Sungguh jauh berbeda!”
Lalu akhirnya kukatakan pada diri sendiri: “Apakah ini aturan atau rintangan?”
Lalu suara itu berkata lagi, “Suatu aturan yang relevan dengan adab dan peringatan bagi kealpaan. Itu merupakan wasiat bagi diri Anda, dan wasiat dari Anda untuk hamba-hamba-Nya yang shalih. Ingatkan akan hal itu, dan Anda jangan tergolong orang-orang yang alpa.”
Pernah, suatu kali muncul pertanyaan padaku. “Apa yang bisa engkau ambil faedah ketika taat kepada-Ku, dan apa pula ketika maksiat kepada-Ku?”
Lalu kujawab, “Aku mengambil tambahan ilmu dan cahaya yang memancar serta kecintaan, dengan adanya ketaatan. Dan aku mengambil faedah maksiat berupa rasa gelisah, susah, takut dan harapan.”
Dalam salah satu hadis qudsi disebutkan: “Barang siapa taat kepada-Ku dalam segala hal, maka Aku melimpahkan ketaatan padanya dari segala hal.”
Seakan-akan Dia berfirman: “Barang siapa taat dalam segala hal melalui hijrahnya dalam segala hal, maka Aku melimpahkan kepatuhan dalam segala hal, dengan cara Aku tampakkan Diri-Ku padanya di dalam segala hal, sehingga seakan-akan ia melihat-Ku dalam segala yang ada.”
Inilah bentuk keharusan orang-orang saleh yang awam.
Sedangkan bagi orang khawash, ketaatan mereka adalah terputus dari mereka (makhluk) dengan menghadap pada segala yang ada ,disebabkan karena kebajikan Kehendak Tuhannya dalam segala yang ada ini. Seakan-akan Dia berfirman: “Barang siapa taat kepada-Ku bersama segala yang ada dengan menghadapkan dirinya pada segala sesuatu, karena kebaikan Kehendak-Ku pada segala sesuatu, maka Aku limpahkan ketaatan padanya dalam sesuatu itu, dengan cara Aku Tampakkan Diri-Ku padanya di sisi segala yang ada, sehingga ia melihat-Ku lebih dekat kepadanya dibanding segala yang ada ini.”
Hendaknya engkau sekalian menetapi prilaku lima kesucian.
Adapun lima kesucian dalam tindakan antara lain:
- Bebas diri dari (merasa) berdaya dan berupaya dalam segala situasi,
- Konsentrasi —melalui akal Anda— pada makna-makna yang tegak dengan hati.
- Keluarkan dirimu dari kedua tindakan tersebut menuju (hanya) kepada Allah Swt.
- Dan ingatlah Allah, maka Allah akan menjagamu, dan ingatlah Allah, maka Allah akan engkau temukan di depanmu.
- Sembahlah Allah melaui tindakan itu dan jadilah engkau tergolong orang-orang yang bersyukur.
Sementara lima kesucian dalam ucapan adalah: Subahanallah, wal-Hamdulillah, wallaahu Akbar, walaa Haula walaa Quwwata illa biLlaah.
Termasuk lima tindakan suci adalah: Shalat lima waktu; dan pembebasan diri dari upaya dan daya kekuatan, yakni dalam ucapan Anda: “Laa Haula walaa Quwwata illa BilLaah.”