Agus Sunyoto M.Pd
Belakangan ini, banyak studi tentang Siti Jenar meramaikan semarak tasawuf di negeri kita. Salah satunya, Novel Suluk Abdul Jalil, Perjalanan Ruhani Syeh Siti Jenar (LKiS, 2003) karya Agus Sunyoto. Cover dari
novel tujuh jilid tersebut cukup menarik. Ada seorang pakaian putih, berkerudung daun pisang. Kepalanya tak tampak karena tertutup kerudung daun itu. Sungguh mistik, semistik kandungan isinya. Ia menggambarkan sebuah perjalanan sunyi spiritual (suluk) yang tidak harus diketahui orang, atau bahkan disesatkan masyarakat sekalipun.
Yang menarik, novel hasil riset ini merujuk kepada teks Jawa-Baratan yang melihat Siti Jenar lebih manusiawi. Hal yang berbeda dengan mitos di Jawa-Tengahan. Di belahan ini, Siti Jenar dianggap evolusi mistis dari cacing yang “mencuri ilmu” pengajaran Sunan Bonang atas Sunan Kalijaga. Menarik, karena Agus Sunyoto mampu menemukan aspek gerakan politik egalitarian yang mengobrak-abrik feodalisme Rajadewa di Jawa. Satu pembaruan politik yang mungkin sangat modern, karena wahdatul wujud kemudian melahirkan kontrak sosial selayak demokrasi klasik.
Apakah ini yang membuat ajaran Siti Jenar disesatkan? Betulkah ia melampaui syari’at? Kenapa harus bersitegang dengan Walisongo, dan benarkah ketegangan itu? Bukankah Dewan Wali juga sudah mencapai maqam manunggaling kawula gusti? Dan bagaimana aplikasi ajaran Siti Jenar terhadap kegersangan spiritual urban di era materialistik ini? Berikut ini wawancara Cahaya Sufi dengan salah satu pendekar peradaban Nusantara asal Surabaya, yang sangat hafal lekuk sejarah, bahasa, dan kebudayaan Hindu-Jawa tersebut.
Sejak kapan mas Agus melakukan riset tentang Siti Jenar, dan kenapa memilih tokoh ini sebagai objek riset? Adakah momen spiritual spesial, yang menggerakkan mas untuk menulis novel Siti Jenar?
Saya mulai kenal nama Syaikh Siti Jenar (SSJ) sejak kakek saya bercerita tentang tokoh tersebut. Kakek orang asal desa Ploso, Jombang, santri Tebuireng angkatan pertama. Kakek saya cerita kalau ajaran SSJ beliau peroleh dari KH Hasyim Asy’ari. Sejak menulis cerbung Kyai Ageng Badar Wonosobo di Jawa Pos tahun 1987-1988, saya sudah ngumpulkan data tentang SSJ.
Penelitian intensif saya terhadap ajaran SSJ lewat Thariqat Akmaliyyah saya mulai tahun 1999. Momentum saya nulis cerita SSJ dipicu oleh terjadinya peristiwa 2 November 2001 yang ‘melukai’ jiwa saya. Saat itu saya diundang teman-teman aktivis NU di Jogja untuk bicara geopolitik-geostrategi pasca jatuhnya Gus Dur. Dalam acara itu, saya dapati sekulerisme dan rasionalisme yang empirik materialistik sangat menguasai cara pandang anak-anak muda NU. Mereka lebih yakin kebenaran gagasan Karl Marx, Georg Lukac, Antonio Gramsci, Jacques Derrida dalam filsafat dan teori-teori sosial daripada kebenaran agama. Bahkan mereka anggap term-term iman dan taqwa dalam perubahan sosial sebagai ‘takhayul’ yang tidak bisa dijadikan pijakan analisis sosial.
Saat itu saya terilhami untuk memberi alternatif teoritik dalam filsafat dan perubahan sosial yang khas Nusantara kepada anak-anak muda NU ini, yaitu momentum sejarah di era Walisongo yang dimotori SSJ. Dari 7 jilid buku SSJ yang saya tulis, konsep filosofis dan sosiologi saya tuang di buku 3-4-5 dengan titel Sang Pembaharu. Jadi lewat buku SSJ saya memberi alternatif pilihan bagi kawan-kawan aktivis NU dalam penggunaan teori sosial dengan asumsi dasar, paradigma, dogma, doktrin, mitos yang khas Nusantara-Islam (maaf, selama ini orang Indonesia yang dididik di sekolah selalu mengekor teori-teori Barat & tidak mampu membangun teori sendiri).