Lalu kongres kuburan dimulai. Segalanya terasa nyeleneh, nyentrik, dan kadang mengelikan. Tetapi memang harus demikian menyelesaikan. Nasehat para wali, bahkan kritik dan saran dari mereka sungguh arif. Selayaknya dahulu kala, ketika Nabi Muhammad saw, dikritik oleh Nabi Musa as, pendahulunya, agar minta dispensasi jumlah sholat yang hendak diwajibkan bagi ummat akhir zaman. Toh, lima waktu akhirnya bagi kita, sama juga dengan 50 waktu jika satu sholat pahalanya sepuluh kali lipat.
“Orang tidak pernah faham antropologi politik, begitu mudah melupakan peran kuburan dalam politik kita. Padahal kita adalah keluarga besar, untuk apa kita punya bangsa kalau harus menggunakan kekerasan.
Bukankah semua itu adalah keluarga besar kita?” Suara dalam kubur menggema sampai ke cakrawala nusantara. Menyesaikan masalah tanpa
kekerasan. Kearifan menjadi makna sejarah, walau harus ditempuh dengan kesabaran panjang.
Karena itu, jika cakrawala kuburan membuat Gus Dur harus menggerakkan tiga agama besar di dunia, agama Samawi, Yahudi, Nasrani dan Islam bertemu
dalam satu majlis perdamaian antar agama, bukan sesuatu yang asing. Memang seharusnya demikian jika kita mengaku sebaik-baik ummat, meneladani perdamaian dan penghargaan terhadap sesama penganut agama.
“Akh..Gus Dur itu kan anthek Zionis, makanya getol sekali ke Israel…!”. Begitu suara dari sudut sejarah yang pengap berteriak.
Zionisme lalu ditempelkan mereka pada Gus Dur. Dan Gus Dur hanya berguman sambil tersenyum manis dibibir hatinya, “Oh Tuhan, tunjukkanlah kaumku…Sungguh mereka tidak mengetahui….”, seperti juga doa Sang Nabi saw, saat dihina dan dilempar kotoran.
Gus Dur membiarkan cacian para pencaci, sebab jika ikut-ikutan menanggapi cacian mereka, apa jadinya keteladanan, keyakinan, kemuliaan dan
keagungan yang diperjuangkan? Di hatinya, hanya ada Allah, gemuruh Allah, gelora dan simponi Allah, hanya ada konser Dzikrullah.