Diantara tudingan yang dilontarkan oleh mereka yang anti tasawuf adalah kata-kata atau wacana yang muncul dari Ulama sufi yang dianggap menyimpang dari Qur’an dan Sunnah. Kedalaman-kedalaman Hikmah yang muncul dari ucapan para Sufi ternyata diartikan secara general
dan tekstual begitu saja sehingga menimbulkan salah paham, baik bagi para Sufi pemula maupun mereka yang sejak awal mencari-cari kesalahan dan kelemahan Tasawuf.
Syeikh Abdul Qadir Isa al-Halaby, menulis secara khusus untuk menjawab mereka yang kontra dengan masalah ini dalam kitabnya Haqaiq ‘Anit-Tashawwuf. Katanya:
Apa yang kita lihat dalam kitab-kitab Tasawuf ada beberapa hal yang tampak bertentangan dengan lahiriyahnya nash Syari’at. Hal itu bisa disebabkan oleh latar belakang berikut:
Pertama, wacana itu dipalsukan oleh mereka yang kontra, kemudian disandarkan pada Sufi tertentu. Para pemalsu ini muncul dari kaum Zindiq dan mereka yang dengki dengan dunia Sufi, serta musuh-musuh Islam.
Kedua, memang wacana itu benar adanya, tetapi untuk memahaminya membutuhkan takwil. Karena para Sufi berbicara dengan bahasa isyarat, metafora atau peribahasa, sebagaimana kita jumpai pada kata-kata dalam bahasa Arab yang penuh dengan metafor, seperti misalnya dalam Al-Qur’an ada ayat:
Dan firman Allah Ta’ala:
“Dan bertanyalah pada desa”
(maksudnya penduduk desa)
“dan apakah orang yang sudah mati kemudian Kami hidupkan?”
(Al An-am 122) (maksudnya adalah matinya hati, lalu Allah mengghidupkannya)
“Agar kamu mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya”
(maksudnya dari kegelapan kekafiran menuju cahaya iman)
Dan banyak ayat Al-Qur’an yang membutuhkan takwil, tidak dipahami begitu saja menurut tekstualnya, karena kebiasaan sastra Arab yang menggunakan kekuatan bahasa metaphor. Jika kita fahami indikator dan makna dibalik ayat tersebut baru kita menerima takwil yang sesungguhnya, sehingga unsur kontradiktif bisa sirna.
Seperti dalam suatu ayat:
“Sesungguhnya kamu (Muhammad) tidak bisa memberi hidayah kepada orang yang kamu cintai.” (Al-Qoshosh: 56)
Dan di ayat lain disebutkan:
“Dan sesungguhnya kamu menunjukkan kepada jalan yang lurus” (Asy-Syuro: 52)
Bagi orang yang tidak memahami tafsir seakan-akan dua Nash itu bertentangan, karena ayat pertama menafikan Rasul SAW dari pemberi hidayah, dan ayat kedua Rasul SAW berhak memberi petunjuk. Tetapi kalau kita bertanya kepada ahli dzikr pasti terjawab, bahwa pada ayat pertama bermakna sebagai pencipta hidayah, dan ayat kedua bermakna sebagai pemberi ajaran tentang hidayah. Sehingga kedua Nash tersebut tidak bertentangan.
Banyak pula kita jumpai dalam Hadits-hadits Nabi saw, yang tidak bisa difahami menurut tekstualnya, tetapi harus ditakwili dengan pemahaman yang selaras dengan syariat dan relevan dengan Al-Qur’an. Dalam konteks inilah Asy-Sya’roni menegaskan: “Para ahli kebenaran sepakat untuk mentakwili hadits-hadits Sifat, seperti hadits: “Tuhan (Tabaroka wa-Ta’ala) kita turun setiap malam ke langit dunia sampai tersisa sepertiga malam terakhir, lalu befrirman: “Siapa yang berdoa kepadaKu niscaya Aku kabulkan…Siapa yang meminta kepadaKu niscaya Aku beri….Siapa yang memohon apmunan kepadaKu niscaya Aku ampuni” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Sementara mereka yang tersesat memaknai sesuai dengan teksnya, dan berkata di atas podium, lalu ia dari podium itu, sembari berkata kepada publik: “Tuhanmu turun dari KursiNya ke langit seperti saya turun dari podiumku ini.” Jelas, pandangan ini sangat bodoh dan menyesatkan. (lihat Attashawwuful Islamy was-Sya’rany, Thoha Abdul Baqi Surur, hal 105)
Misalnya pula dalam hadits Nabi, “Sesungguhnya Allah menjadikan Adam menurut rupaNya.” (Hr. Muslim)
Menurut Ibnu Hajar Al-Haitsamy ra, harus ditakwili: “Benar bahwa dlomir (kata ganti) itu kembali kepada Allah Ta’ala sebagaimana lahiriahnya ayat. Dan hal itu harus ditegaskan dimaksud dengan “rupa” adalah “Sifat”. Yakni sesungguhnya Allah Ta’ala menciptakan Adam menurut Sifat-sifatNya, antara lain sifat Ilmu, Qudrat dan lain sebagainya. Hal ini dikuatkan hadits Aisyah ra, “Akhlak Rasulullah saw, adalah Al-Qur’an.” (hr. Musmim) Dan hadits, “Berakhlaklah dengan Akhlaq-akhlak Allah Ta’la”.
Indikasi hadits tersebut sepenuhnya adalah mensucikan akhlaq dan sifat-sifatnya dari segala kekuarangan agar bisa menjadi asas bagi semainya Akhlaq Tuhannya, yakni Sifat-sifatNya. Sebab kalau tidak ditakwili dengan Sifat itu maka akan terjadi kontradiktif antara Yang Maha Qodim dengan yang hadits (baru).
Dengan statemen ini ditegaskan bahwa hadits tersebut memberikan pujian pada Adam as, dimana Allah memberikan sifat-sifat pada Adam seperti Sifat-sifat Allah Ta’ala. Karena itu sebagaimana pandangan para Ulama, haruslah ditakwili pada hadits yang kata gantinya tersebut langsung pada Allah Ta’ala. Berbeda dengan mereka yang sesat memahami hadits tersebut, semoga Allah melindungi kita dari semua itu.
Al-‘Allamah al-Munawi dalam syarahnya terhadap Al-Jami’ush-Shoghir mengatakan, mengenai hadits Nabi saw, “Sesungguhnya Allah berfirman di hari kiamat, “Wahai manusia Aku sakit tai kamu tidak menjengukKu. Manusia berkata, “Bagaimana aku menjengukMu, sedangkan Engkau adalah Tuhan alam semesta?” Allah menjawab, “Ketahuilah jika hambaKu si fulan sakit lalu kenapa tidak menjenguknya? Ketahuilah, sesungguhnya jika kamu menjenguk si fulan, niscaya kamu menemuiKu di sisi fulan itu….(sampai akhir hadits, Hr Muslim).