RUH MA’RIFAT
Oleh Syeikh Ahmad ar-Rifa’y
Dari Anas bin Malik ra. Rasulullah Saw, bersabda:
“Islam itu jelas (lahiriah), dan Iman itu ada dalam qalbu,
sedangkan Taqwa di sini.”
[Rasulullah Saw, mengulang sampai tiga kali sambil menunjuk
dengan tangannya ke arah dada beliau. “Taqwa yang menetap di qalbu,
lalu membuat iman menjadi kokoh, adalah ruh ma’rifat itu sendiri.”]
Saudaraku yang mulia! Sesungguhnya Allah Swt.
menjadikan segalanya dengan kepastian, dan setiap
kepastian itu ada batasan, dan setiap batasan ada sebabnya, setiap
sebab ada waktunya, dan setiap waktu ada ketentuannya, setiap
ketentuan ada perintah, setiap perintah ada makna, dan setiap
makna ada benarnya, setiap yang benar ada kebenarannya, dan
Ruh Ma’rifat . Setiap kebenaran ada hakikatnya, setiap hakikat ada ahlinya,
dan setiap ahlinya ada tandanya.
Dengan tanda itu bisa diketahui siapa yang berbuat benar dan
siapa yang berbuat batil. Setiap qalbu didudukkan di hamparan
perwujudan ma’rifat, dimana kema’rifatan itu memantul pada
wajahnya dan berpengaruh pada gerak gerik lahiriahnya,
tindakan dan ucapannya, sebagaimana firman Allah Swt:
“Kamu sekalian mengenal mereka dengan tanda-tanda
mereka.”
Rasulullah Saw. bersabda: “Siapa yang menyembunyikan
rahasia jiwa, Allah memakaikan padanya pakaian rahasia jiwa.
Jika ia baik, maka menjadi baik. Jika ia buruk, maka jadi buruk.”
Sebaik-baik pekerti: Kaum Sholihin
Yahya bin Mu’adz ra. ditanya, “Bagaimana pekerti kaum
‘arifin bisa menjadi elok wajahnya, dan lebih kharismatik
dibanding yang lain?”
“Karena mereka menyendiri bersama Allah penuh dengan
kemesraan. Mereka mendekat kepada Allah Swt. menghadap
total, dan berangkat kepadaNya penuh kepatuhan. Maka Allah
Swt. memberikan pakaian cahaya ma’rifatNya kepada mereka,
yang di dalamNya mereka bicara, dan bagiNya mereka beramal,
dariNya mereka mencari, kepadaNya mereka bersukacita.
Merekalah kaum istimewaNya (khawash) yang terdepan.
Langkahnya dalam taat kepada Allah Swt. tanpa sedikit pun
bergantung pada lainNya, dan mereka menasehati khalayak
umum tanpa sedikit pun ada pamrih.
Mereka senantiasa merindu, kembali kepada Allah Swt.
qalbunya penuh rasa takut, jiwanya penuh rasa gentar, hati
mereka adalah IstanaNya, akal mereka terselubungi, ruh mereka
membubung luhur, dan semuanya terlindungi dengan hatinya
dari fitnah manusia.
Dzikir mereka menjaganya dari was-was buruk, dadanya
melapang luas, dan jasadnya terbuang dari khalayak, qalbunya
terluka, sedang pintu-pintu alam malakut senantiasa terbuka
bagi mereka. Qalbu mereka bagai pelita. Anggota badan mereka
tunduk bagai terikat kuat, lisannya sibuk membaca Al-Qur’an,
romannya menguning karena ketakutan akan jauh dari Allah
Swt. dan jiwanya tercurah bagi khidmah pada Ar-Rahman,
hatinya terpancarkan cahaya iman, jiwanya sibuk mencari,
ruhnya sibuk mendekat Tuhan. Sedang pada ucapannya ada sifat
menunjukkan kepada Ketuhanan Allah Swt. pada tiang-tiang
dirinya penuh kelanggengan khidmah, dan pada jiwanya ada
pengaruh kehambaan, dalam hatinya ada kharisma Fardaniyah,
dalam rahasia batinnya ada hasrat membubung ke Uluhiyah,
sedang dalam ruhnya ada keterpesonaan pada Wahdaniyah.
Bergantungnya kaum ‘arifin
dengan Allah Swt.
Bibir-bibir mereka senantasa tersenyum kepadaNya.
Mata mereka senantiasa memancar kepadaNya. Qalbu-qalbu
mereka terus bergelayut kepada Allah Swt. hasrat mereka
sinambung kepadaNya, rahasia batin mereka terus menerus
memandangNya. Mereka melemparkan dosa-dosa mereka ke
samudera taubat, dan mereka menghamburkan kepatuhannya
ke samudera anugerah. Mereka buang gerak gerik batinnya ke
lautan Keagungan. Dan kehendak mereka terlempar ke lautan
sucinya jiwa, bahkan hasrat mereka adalah samudera mahabbah.
Di medan khidmah kepadaNya mereka berlalu lalang. Di
bawah payung kemuliaan mereka saling merenda keindahan.
Dan di taman rahmatNya mereka merambat, lalu mereka
mencium aroma anugerah yang wangi.
Mereka memandang dunia dengan mata perenungan,
memadang akhirat dengan mata penantian, memandang
nafsunya dengan mata hina, memandang taatnya dengan mata
penuh kekurangan, bukan dengan mata merasa amal.
Mereka memandang ampunan dengan mata kebutuhan,
memandang ma’rifat dengan mata kegembiraan, memandang
Yang Dima’rifati Allah Swt. dengan mata kebanggaan. Mereka
melemparkan nafsunya dalam negeri cobaan, dan melemparkan
ruhnya ke negeri akhirat kemudian, qalbu-qalbu mereka menuju
keluhuran dan kharisma, lisan mereka sumber puja dan pujian,
ruh mereka adalah tempat-tempat rindu dan cinta, sedangkan
nafsu mereka dikendalikan oleh akal dan kecerdasan.
Hasrat mereka lebih banyak untuk kontemplasi dan tafakkur.
Ucapan terbanyak mereka adalah memuja dan memujiNya.
Amal mereka adalah taat dan khidmah. Pandangan mereka
hanya kelembutan di balik ciptaan Rabbul Izzah Swt.
Di antara mereka anda lihat pucat menguning wajahnya karena
rasa takut pisah denganNya, sendi-sendinya gemetar karena
Kharisma KebesaranNya. Begitu panjang mereka menunggu
penuh rindu bertemu denganNya. Mereka menempuh jalan
Al-Musthafa. Mereka lempar dunia ke belakang tengkuknya.
Mereka rasakan kesenangan nafsu sebagai konsumsi kehampaan.
Mereka lebih berteguh pada pijak telapak keserasian yang benar.
Perilaku pecinta pada Tuannya.
Perilakunya di dunia selalu asing. Qalbunya di dadanya
merasa gersang. Rahasia batinya dalam nafsunya juga
terasing. Sang pecinta tak pernah istirahat dari kegundahan
keterasingan dan kegentarannya, sepanjang ia belum sampai
pada Sang Kekasih. Perkaranya aneh. Sedang Allah Swt. adalah
penyembuhnya. Ucapannya senantiasa penuh dengan limpahan
ekstase, qalbunya menyendiri, akalnya serba Allah Swt.
(Rabbani), hasratnya serba bergantung padaNya (Shomadani),
hidupnya ruhani, amalnya Nuraniyah, dan ucapannya serba
langit (samawiyah).
Allah Swt. jadikan hatinya tempat rahasiaNya, tempat
pandanganNya, lalu diriasnya dengan keelokan hiasan
RububiyahNya, dan dimasukkan ke negeri aturan dari
kekuasaanNya.
Ia berputar mengitari keagunganNya dengan nurani
qalbunya, dan membubung tinggi ke Taman SuciNya, lalu
terbang dengan sayap-sayap ma’rifat menuju kemah-kemah
rahasiaNya, berjalan ke medan-medan qudratNya, menembus
hijab JabarutNya.
Seandainya orang bodoh melihatnya, ia mati seketika, setelah
mengenalnya ketika itu. Tandanya, bencana dunia baginya
adalah madu. Kegelisahan adalah buah ranum indah, ketika
di akhirat setiap orang berkata: Oh nasibku…duhai nasibku!
Sedangkan ia malah berkata: Rabbi…Rabbi..! Engkaulah hasrat
kehendakku…hasrat citaku…!
Sang ‘arif punya empat tanda:
• Cintanya kepada Sang Maha Agung.
• Meninggalkan apapun yang banyak maupun yang sedikit.
• Mengikuti jejak At-Tanzil (Qur’an dan Sunnah).
• Ketakutannya jika ia harus berpindah dari Tuhannya.
Sang hamba punya bagian. Sang penakut punya rasa ingin
lari. Sang pecinta punya asmara. Sang ‘arif punya kegirangan
(Drai Buku Menjelang Ma’rifat, Syeikh Ahmad ar-Rifa’y diterjemahkan oleh KHM Luqman Hakim)