Imam al-Ghozali
Allah Swt. berfirman,“Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha terhadap-Nya.” (Q.S. Al-Maidah: 119, lihat pula At-Taubah: 100, Al-Mujadilah: 22 dan Al-Bayyinah: 8).
Rasulullah Saw. bersabda, “Apabila Allah mencintai seorang hamba, Dia mencobanya. Jika hamba itu sabar, Allah memilihnya, dan bila ridha Dia mengutusnya.”
Beliau juga bersabda, “Sembahlah Allah dengan (penuh) ridha. Jika kamu tidak bisa, maka dalam kesabaran terhadap apa yang tidak kamu inginkan terdapat kebaikan (pahala) yang banyak.”
Rasulullah Saw. pernah bersabda kepada sekelompok kaum,
“Apa (identitas) kalian?”
“Kami adalah kaum Mukmin,” jawab mereka.
“Apa tanda-tanda keimanan kalian?” tanya Rasulullah.
“Kami bersabar atas bencana (kesusahan) dan kami bersyukur ketika lapang (kelapangan hidup), serta kami ridha dengan posisi-posisi qadha’ (ketentuan-ketentuan Allah),” jawab mereka.
Kemudian Rasulullah Saw. bersabda, “Kalian adalah orang-orang Mukmin, demi Tuhan (Pemilik) Ka’bah.”
Dalam riwayat lain disinyalir, “Karena kedalaman ilmunya, nyaris membuat para hukama’ dan para ulama menjadi Nabi.”
Di antara yang diwahyukan Allah Swt. kepada Nabi Daud as. adalah:
“Apa yang dimiliki para wali-Ku dan keinginan terhadap dunia. Sun gguh, keinginan pada dunia dapat menghilangkan rasa manis munajat (kepada)-Ku dan kalbu mereka; sesungguhnya kecintaan (keinginan)-Ku terhadap para wali-Ku adalah: Aku ingin mereka menjadi para ruhaniawan yang tidak bersedih hati.”
Rasulullah Saw. bersabda, Allah Swt. berfirman dalam Hadis Qudsi:
“‘Aku adalah Allah, tiada Tuhan selain Aku. Barangsiapa tidak dapat bersabar atas cobaan-Ku, tidak mensyukuri nikmat-nikmatKu, dan tidak ridha terhadap qadha’-Ku, maka hendaklah ia mencari tuhan selain selain Aku’.”
Rasulullah Saw. juga bersabda, “Allah Swt. berfirman, ‘Aku telah menciptakan kebaikan dan telah menciptakan ahli baginya, juga telah menciptakan kejahatan dan telah menciptakan ahlinya. Maka, berbahagialah siapa yang Kuciptakan untuk kebaikan dan memudahkannya di hadapannya celakalah siapa yang Kuciptakan untuk kejahatan dan Aku telah memudahkan kejahatan di hadapannya. Celaka, kemudian celaka (bagi) siapa yang berkata, ‘Mengapa dan bagaimana’.”
Diwahyukan kopada Nabi Daud as.:
“Wahai Daud, kamu berkehendak dan Aku berkehendak. Hanya saja yang Aku inginkan: Jika kamu men yerah pada apa yang Aku kehendaki, maka Aku penuhi apa yang kamu inginkan. (Sebaliknya), jika kamu tidak menyerah pada apa yangAku kehendaki, niscayaAku menjadikan kamu lelah dan susah dalam hal yang kainu inginkan, kemudian yang terjadi hanyalah apa yang Aku kehendaki.”
Sekelompok ulama mengingkari adanya ridha terhadap qadha’ Allah Swt. Mereka berkata, “Ridha terhadap qadha’ tidak mungkin digambarkan dengan hal-hal yang bertentangan dengan nafsu. Sedangkan yang bisa digambarkan hanyalah sabar.”
Tanda-tandanya adalah, ridha terhadap bencana dan ridha terhadap realita yang kontra dengan watak serta kesenangan. Bentuk ridha ini ada tiga arah.
Arah pertama, ia dibuat tercengang oleh penyaksian cinta secara langsung, dan berpaling dari rasa sakit. Ini adalah bentuk musyahadah langsung dari cinta manusia ketika dikuasai oleh amarah, ambisi dan nafsu syahwat; bahkan pada saat marah, ia tidak merasakan luka yang mengenai dirinya. Orang yang tamak tidak merasakan rasa sakit ketika kakinya tertusuk duri. Sebaliknya, bila amarahnya telah reda dan apa yang dituju oleh si tamak itu telah digapai, rasa sakit itu menjadi-jadi.
Jika telah terbayangkan bahwa sedikit rasa sakit dapat menyelusup pada rasa cinta yang sedikit, juga rasa sakit yang sedikit dapat menyelusup dalam rasa cinta yang kuat, maka rasa cinta dan sakit itu, masing-masing dapat bertambah dan dapat pula menguat.
Apabila kecintaan terproyeksi sedemikian rupa, dimana kegandrungan terhadap bentuk yang terstruktur seperti daging dan darah yang penuh dengan kotoran; sebenarnya hal itu dicapai dengan mata lahiriah, yang seringkali menemui kesalahan; sehingga mata tersebut melihat sesuatu yang besar tampak kecil, yang jauh tampak dekat, dan yang jelek tampak indah. Lalu bagaimana mungkin penglihatan pada hadirat ketuhanan dan keagungan Azali Yang Abadi —yang tidak pernah terproyeksi pemutusan dan penyerangannya— tidak dapat dicapai dengan mata batin, padahal bagi ahlinya tampak lebih benar dan jelas daripada penglihatan mata lahiriah?
Berdasarkan inilah Al-Junaid r.a. bertanya kepada Sari As-Saqathi r.a, “Apakah sang pecinta menemui pedihnya kesusahan?”
“Tidak,” jawabnya.
“Jika dipukul dengan pedang?”
“Tidak juga, walaupun dipukul dengan pedang sebanyak tujuhpuluh kali secara bertubi-tubi,” jawab Sari lagi.
Sebagian sufi berkata, “Aku mencintai segalanya, karena cinta-Nya. Bahkan walaupun Dia mencintai api, aku pun suka masuk ke dalam api tersebut.”
Umar bin Abdul Aziz r.a. berkata, “Kegembiraanku tiada yang tersisa, kecuali hanya dalam posisi ketetapan Allah Swt.”
Di antara kaum sufi mengalami musibah, putranya telai raib selama tiga hari. Lalu ada orang mengusulkan, “Bagaimana seandainya Anda memohon kepada Allah Swt. agar mengembalikannya kepada Anda?”