DALAM sejarah Hejaz, keturunan nabi ini hingga abad ke-20 memegang peranan penting dalam pemerintahan Arab bahkan setelah keruntuhan Dinasti Othoman di Turki, karena hampir dipastikan corak Negara yang bersifat khilafah bahkan di beberapa bagian dari kerajaan Islam dunia berangsur-angsur mulai
digantikan oleh yang bercirikan Republik atau Nasionalis yang sifatnya territorial, berdasarkan letak kepulauan atau dalam batas-batas tertentu daratan sebagaimana semangat dan watak Demokrasi yang mulai bergaung dari jaman Revolusi Prancis, Yunani di belahan Eropa dan berkembang dengan Revolusi Amerika, sejak itulah Negara Demokrasi menjadi pilihan utama bagi Negara-negara yang masih terjajah oleh Post Kolonialisme.
Dalam sejarah Hejaz, keturunan nabi ini hingga abad ke-20 memegang peranan penting dalam pemerintahan Arab bahkan setelah keruntuhan Dinasti Othoman di Turki, karena hampir dipastikan corak Negara yang bersifat khilafah bahkan di beberapa bagian dari kerajaan Islam dunia berangsur-angsur mulai digantikan oleh yang bercirikan Republik atau Nasionalis yang sifatnya territorial, berdasarkan letak kepulauan atau dalam batas-batas tertentu daratan sebagaimana semangat dan watak Demokrasi yang mulai bergaung dari jaman Revolusi Prancis, Yunani di belahan Eropa dan berkembang dengan Revolusi Amerika, sejak itulah Negara Demokrasi menjadi pilihan utama bagi Negara-negara yang masih terjajah oleh Post Kolonialisme.
Semenjak masa-masa sebelumnya mereka ini mendapat tempat khusus dimata penduduk Hejaz. Mereka dibaiat menjadi penguasa dan imam serta pelindung tanah suci. Dalam tatanan Hejaz, mereka diberikan sebutan Syarif untuk laki-laki dan Syarifah untuk perempuan. Sedangkan diluar Hejaz, dari beberapa golongan ada yang memberikan title Sayyid dan Sayyidah, atau juga dengan sebutan Habaib, dan lain sebagainya untuk memberikan satu tanda bahwa mereka yang diberikan titel ini dianggap masih memiliki kaitan darah dan nasab dengan Nabi Muhammad SAW.
Menurut Sayyid Muhammad Ahmad al-Syatiri dalam bukunya Sirah al-Salaf Min Bani Alawi al-Husainiyyin, para salaf kaum Alawi di Hadramaut dibagi menjadi empat tahap yang masing-masing tahap mempunyai gelar tersendiri. Gelar yang diberikan oleh masyarakat Hadramaut kepada tokoh-tokoh besar Alawiyin ialah :
Imam (dari abad III H sampai abad VII H). Tahap ini ditandai perjuangan keras Ahmad al-Muhajir dan keluarganya untuk menghadapi kaum Khawariji. Menjelang akhir abad 12 keturunan Ahmad al-Muhajir tinggal beberapa orang saja. Pada tahap ini tokoh-tokohnya adalah Imam Ahmad al-Muhajir, Imam Ubaidillah, Imam Alwi bin Ubaidillah, Bashri, Jadid, Imam Salim bin Bashri.
Syaikh (dari abad VII H sampai abad XI H). Tahapan ini dimulai dengan munculnya Muhammad al-Faqih al-Muqaddam yang ditandai dengan berkembangnya tasawuf, bidang perekonomian dan mulai berkembangnya jumlah keturunan al-Muhajir. Pada masa ini terdapat beberapa tokoh besar seperti Muhammad al-Faqih al-Muqaddam sendiri. Ia lahir, dibesarkan dan wafat di Tarim.
Habaib (dari pertengahan abad XI sampai abad XIV). Tahap ini ditandai dengan mulai membanjirnya hijrah kaum Alawi keluar Hadramaut. Dan di antara mereka ada yang mendirikan kerajaan atau kesultanan yang peninggalannya masih dapat disaksikan hingga kini, di antaranya kerajaan Alaydrus di Surrat (India), kesultanan al-Qadri di kepulauan Komoro dan Pontianak, al-Syahab di Siak dan Bafaqih di Filipina. Tokoh utama Alawi masa ini adalah Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad yang mempunyai daya pikir, daya ingat dan kemampuan menghafalnya yang luar biasa, juga terdapat Habib Abdurahman bin Abdullah Bilfaqih, Habib Muhsin bin Alwi al-Saqqaf, Habib Husain bin Syaikh Abu Bakar bin Salim, Habib Hasan bin Soleh al-Bahar, Habib Ahmad bin Zein al-Habsyi.
Sayyid (mulai dari awal abad XIV ). Tahap ini ditandai kemunduran kecemerlangan kaum Alawi. Di antara para tokoh tahap ini ialah Imam Ali bin Muhammad al-Habsyi, Imam Ahmad bin Hasan al-Attas, Allamah Abu Bakar bin Abdurahman Syahab, Habib Muhammad bin Thahir al-Haddad, Habib Husain bin Hamid al-Muhdhar. Sejarawan Hadramaut Muhammad Bamuthrif mengatakan bahwa Alawiyin atau qabilah Ba’alawi dianggap qabilah yang terbesar jumlahnya di Hadramaut dan yang paling banyak hijrah ke Asia dan Afrika. Qabilah Alawiyin di Hadramaut dianggap orang Yaman karena mereka tidak berkumpul kecuali di Yaman dan sebelumnya tidak terkenal di luar Yaman.
Jauh sebelum itu, yaitu pada abad-abad pertama hijriah julukan Alawi digunakan oleh setiap orang yang bernasab kepada Imam Ali bin Abi Thalib, baik nasab atau keturunan dalam arti yang sesungguhnya maupun dalam arti persahabatan akrab. Kemudian sebutan itu (Alawi) hanya khusus berlaku bagi anak cucu keturunan Imam al-Hasan dan Imam al-Husein. Dalam perjalanan waktu berabad-abad akhirnya sebutan Alawi hanya berlaku bagi anak cucu keturunan Imam Alwi bin Ubaidillah. Alwi adalah anak pertama dari cucu-cucu Imam Ahmad bin Isa yang lahir di Hadramaut. Keturunan Ahmad bin Isa yang menetap di Hadramaut ini dinamakan Alawiyin diambil dari nama cucu beliau Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa yang dimakamkan di kota Sumul.
Kaum Arab, terutama yang beragama Islam telah sejak berabad lamanya melakukan perniagaan dengan berbagai negara di dunia, yang selanjutnya menciptakan jalur-jalur perdagangan dan komunitas-komunitas Arab baru diberbagai negara. Dalam berbagai sejarah dinyatakan bahwa kaum Arab yang datang ke Indonesia merupakan koloni Arab dari daerah sekitar Yaman dan Persia. Namun, yang dinyatakan berperan paling penting dan ini diperlihatkan dengan jenis madzhab yang ada di Indonesia, dimungkinkan adalah dari Hadramaut. Dan orang-orang Hadramaut ini diperkirakan telah sampai ke Indonesia semenjak abad pertengahan (abad ke-13) sesudah adanya huru-hara di Baghdad.
Secara umum, tujuan awal kedatangan mereka adalah untuk berdagang sekaligus berdakwah, dan kemudian berangsur-angsur mulai menetap dan berkeluarga dengan masyarakat setempat. Dari mereka inilah kemudian muncul banyak tokoh dakwah yang termaktub dalam team Walisongo dan banyak tokoh dakwah islam hingga masa sekarang. Walaupun masih ada pendapat lain seperti menyebut dari Samarkand (Asia Tengah), Champa atau tempat lainnya, tampaknya itu semua adalah jalur penyebaran para Mubaligh dari Hadramawt yang sebagian besarnya adalah kaum Sayyid (Syarif).
Para sayyid Alawiyin menyebarkan da’wah Islamiyah di Asia Tenggara melalui dua tahap, pertama hijrah ke India. Kemudian pada tahap kedua dari India ke Asia Tenggara, atau langsung dari Hadramaut ke Asia Tenggara melalui pesisir India. Di antara yang hijrah ke India adalah seorang alim syarif Abdullah bin Husein Bafaqih ke kota ‘Kanur’ dan menikahi anak menteri Abdul Wahab dan menjadi pembantunya sampai wafat. Salah seorang Habaib lainnya adalah Syarif Muhammad bin Abdullah Alaydrus yang terkenal di kota Ahmadabad dan Surat. Ia hijrah atas permintaan kakeknya Syarif Syech bin Abdullah Alaydrus. Begitu pula keluarga Abdul Malik yang diberi gelar ‘Azhamat Khan’. Dari keluarga inilah asal keturunan penyebar Islam di Jawa yang disebut dengan Wali Songo. Kemudian dari India, mereka melanjutkan perjalanannya ke Indonesia, yaitu daerah pesisir utara Sumatera yang sekarang dikenal dengan propinsi Aceh.
Menurut Prof. Dr. Hamka, sejak zaman kebesaran Aceh telah banyak keturunan-keturunan Hasan dan Husain itu datang ke tanah air kita ini. Sejak dari semenanjung Tanah Melayu, Kepulauan Indonesia dan Filipina. Harus diakui banyak jasa mereka dalam penyebaran Islam di seluruh Nusantara ini. Penyebar Islam dan pembangun kerajaan Banten dan Cirebon adalah Syarif Hidayatullah yang diperanakkan di Aceh.
Syarif kebungsuan tercatat sebagai penyebar Islam ke Mindanau dan Sulu. Sesudah pupus keturunan laki-laki dari Iskandar Muda Mahkota Alam pernah bangsa Sayid dari keluarga Jamalullail jadi raja di Aceh. Negeri Pontianak pernah diperintah bangsa sayid al-Qadri. Siak oleh keluarga bangsa sayid Bin Syahab. Perlis (Malaysia) dirajai oleh bangsa sayid Jamalullail. Yang Dipertuan Agung III Malaysia Sayid Putera adalah raja Perlis. Gubernur Serawak yang sekarang ketiga, Tun Tuanku Haji Bujang ialah dari keluarga Alaydrus. Kedudukan mereka di negeri ini yang turun temurun menyebabkan mereka telah menjadi anak negeri di mana mereka berdiam. Kebanyakan mereka jadi ulama.
Mereka datang dari Hadramaut dari keturunan Isa al-Muhajir dan al-Faqih al-Muqaddam. Mereka datang kemari dari berbagai keluarga. Yang kita banyak kenal ialah keluarga Alatas, Assaqaf, Alkaf, Bafaqih, Alaydrus, Bin Syekh Abubakar, Al-Habsyi, Al-Haddad, Bin Smith, Bin Syahab, Al-Qadri, Jamalullail, Assiry, Al-Aidid, Al-Jufri, Albar, Al-Mussawa, Gathmir, Bin Aqil, Al-Hadi, Basyaiban, Ba’abud, Al-Zahir, Bin Yahya dan lain-lain.
Menurut keterangan almarhum sayid Muhammad bin Abdurrahman Bin Syahab telah berkembang jadi 199 keluarga besar. Semuanya adalah dari Ubaidillah bin Ahmad bin Isa al-Muhajir. Ahmad bin Isa al-Muhajir Illallah inilah yang berpindah dari Basrah ke Hadramaut. Lanjutan silsilahnya ialah Ahmad bin Isa al-Muhajir bin Muhammad al-Naqib bin Ali al-Uraidhi bin Ja’far al-Shaddiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain al-Sibthi bin Ali bin Abi Thalib. As-Sibthi artinya cucu, karena Husain adalah anak dari Fathimah binti Rasulullah saw.
Orang-orang Arab Hadramaut mulai datang secara massal ke Nusantara pada tahun-tahun terakhir abad 18, sedangkan kedatangan mereka di pantai Malabar jauh lebih awal. Perhentian mereka yang pertama adalah Aceh. Dari sana mereka lebih memilih pergi ke Palembang dan Pontianak. Orang Arab mulai banyak menetap di Jawa setelah tahun 1820, dan koloni-koloni mereka baru tiba di bagian Timur Nusantara pada tahun 1870. Pendudukan Singapura oleh Inggris pada tahun 1819 dan kemajuan besar dalam bidang perdagangan membuat kota itu menggantikan kedudukan Aceh sebagai perhentian pertama dan titik pusat imigrasi bangsa Arab. Sejak pembangunan pelayaran dengan kapal uap di antara Singapura dan Arab, Aceh bahkan menjadi tidak penting sama sekali.
Di pulau Jawa terdapat enam koloni besar Arab, yaitu Batavia, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang dan Surabaya. Di Madura hanya ada satu yaitu di Sumenep.. Koloni Arab di Surabaya dianggap sebagai pusat koloni di pulau Jawa bagian Timur. Koloni Arab lain yang cukup besar berada di Pasuruan, Bangil, Probolinggo, Lumajang, Besuki dan Banyuwangi. Koloni Arab di Besuki mencakup pula orang Arab yang menetap di kota Panarukan dan Bondowoso.Koloni-koloni Arab Hadramaut khususnya Alawiyin yang berada lokasi pesisir tetap menggunakan nama-nama famili mereka, sedangkan Alawiyin yang tidak dapat pindah ke pesisir karena berbagai sebab kemudian berganti nama dengan nama Jawa, mereka itu banyak yang berasal dari keluarga Bayaiban, Ba’bud, Bin Yahya dan lainnya.
Kebanyakan para Habaib ini menempuh jalan Thariqah Alawiyyah. Thariqah As-Sadah Al-Ba’Alawi) adalah suatu tarekat sufi Islam Sunni yang terkenal, yang didirikan oleh Imam Muhammad bin Ali Ba’alawi, bergelar Al-Faqih Al-Muqaddam (lahir di Tarim, Yaman, 574 H/k. 1178 M, dan wafat 653 H/k. 1256 M). Tarekat ini kemudian semakin berkembang dengan pesat di tangan Imam Abdullah bin Alawi Al-Haddad. Penyebarannya yang terbesar adalah di Yaman, selain itu juga tersebar di Indonesia, Malaysia, Singapura, Kenya, Tanzania, India, Pakistan, Hijaz, dan Uni Emirat Arab yang merupakan pula wilayah diaspora bangsa Arab Hadramaut. Thariqah ini sendiri diasas oleh Al Faqih Al Muqaddam Muhammad bin Ali Ba’alawi (574 H/1178M-653H/1255 M Tarim-Yaman). Ada dua jalur keilmuan dan thariqah yang diambilnya.
Pertama ia mengambilnya dari jejak leluhurnya yakni lewat ayah, kakek dan terus bersambung sampai Rasulullah SAW. Jalur yang kedua ia mengambil dari ulama sufi, yakni Syaikh Abu Madyan Syu’aib dimana sanad mata rantai keilmuannya juga akhirnya sambung sinambung sampai Rasulullah SAW. Di Kemudian hari, keluarga Ba’alawi ini sebagian ada masuk ke wilayah Nusantara seiring gelombang penyebaran Islam ke bumi Nusantara. Apalagi saat itu, Nusantara menjadi objek kunjungan dagang, melalui Bandar Malaka.
Para sejarawan barat meyakini, Islam bercorak sufistik itulah yang membuat penduduk nusantara yang semula beragama Hindu dan Buddha menjadi sangat tertarik. Tradisi dua agama asal India yang kaya dengan dimensi metafisik dan spiritualitas itu dianggap lebih dekat dan lebih mudah beradaptasi dengan tradisi thariqah yang dibawa para wali. Sayangnya dokumen sejarah islam sebelum abad 17 cukup sulit dilacak. Meski begitu, beberapa catatan tradisional di keraton-keraton sedikit banyak bercerita tentang aktivitas thariqah di kalangan keluarga istana raja-raja muslim.
Mursyid adalah sebutan untuk seorang guru pembimbing thariqah yang telah memperoleh izin dan ijazah dari guru mursyid di atasnya, yang terus bersambung sanadnya sampai kepada Rasulullah SAW sebagai Shahibuth Thariqah, untuk men-talqin-kan dzikir atau wirid thariqah kepada orang-orang yang datang meminta bimbingannya (murid). Dalam thariqah Tijaniyyah, sebutan untuk mursyid adalah muqaddam.
Mursyid mempunyai kedudukan yang penting dalam ilmu thariqah. Karena ia tidak saja pembimbing yang mengawasi murid-muridnya dalam kehidupan lahiriah sehari-hari agar tidak menyimpang dari ajaran Islam dan terjerumus dalam kemaksiatan, tetapi ia juga merupakan pemimpin kerohanian bagi para muridnya agar bisa wushul (terhubung) dengan Allah SWT. Karena ia merupakan washilah (perantara) antara si murid dengan Allah Swt. Demikian keyakinan yang terdapat dikalangan ahli thariqah.
Oleh karena itu, jabatan ini tidak boleh dipangku oleh sembarang orang, sekalipun pengetahuannya tentang ilmu thariqah cukup lengkap. Tetapi yang terpenting ia harus memiliki kebersihan rohani dan kehidupan batin yang tulus dan suci. Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdy, salah seorang tokoh Thariqah Naqsyabandiyah yang bermazhab Syafi’i, menyatakan, yang dinamakan Syaikh/Mursyid adalah orang yang sudah mencapai maqom Rijalul Kamal, seorang yang sudah sempurna suluk/lakunya dalam syari’at dan hakikat menurut Al Qur’an, sunnah dan ijma’. Hal yang demikian itu baru terjadi sesudah sempurna pengajarannya dari seorang mursyid yang mempunyai maqam (kedudukan) yang lebih tinggi darinya, yang terus bersambung sampai kepada Rasulullah Muhammad SAW, yang bersumber dari Allah SWT dengan melakukan ikatan-ikatan janji dan wasiat (bai’at) dan memperoleh izin maupun ijazah untuk menyampaikan ajaran suluk dzikir itu kepada orang lain.
Seorang mursyid yang mu’tabar, diakui keabsahanya, itu tidak boleh diangkat dari seorang yang bodoh, yang hanya ingin menduduki jabatan itu karena nafsu. Mursyid merupakan penghubung antara para muridnya dengan Allah SWT, juga merupakan pintu yang harus dilalui oleh setiap muridnya untuk menuju kepada Allah SWT. Seorang syaikh/mursyid yang tidak mempunyai mursyid yang benar di atasnya, menurut Al-Kurdy, maka mursyidnya adalah syetan. Seseorang tidak boleh melakukan irsyad (bimbingan) dzikir kepada orang lain kecuali setelah memperoleh pengajaran yang sempurna dan mendapat izin atau ijazah dari guru mursyid di atasnya yang berhak dan mempunyai silsilah yang benar sampai kepada Rasulullah SAW.
Sementara Syaikh Abdul Qadir Jailani, sebagaimana dikutip oleh Syaikh Ja’far bin Abdul Karim Al-Barzanji, menetapkan syarat menjadi mursyid lebih luas lagi: memiliki keilmuan standar para ulama, kearifan para ahli hikmah, dan wawasan serta nalar politik seperti para politisi.
Pra syarat yang cukup berat ini menunjukkan bahwa selain membimbing dalam urusan agama, seorang mursyid juga menjadi penasehat bagi murid-muridnya dalam hampir seluruh aspek kehidupannya: politik, ekonomi, budaya, sosial dan pendidikan.
Di luar urusan pendidikan dan kapasitas personal, kalangan thariqah juga meyakini, bahwa terpilihnya seorang sufi menjadi guru mursyid adalah anugerah sekaligus ujian hidup yang luar biasa. Karena itu pemilihan seseorang mursyid bukan sekedar hasil pemikiran dan ijtihad dari gurunya, melainkan hasil petunjuk dari Allah Ta’ala dan Rasulullah, sebagai pemilik dan guru sejati ilmu thariqah. Karena pengangkatannya bersumber dari petunjuk atau isyarah yang diberikan Allah, kemursyidan seseorang sufi biasanya diketahui secara spiritual oleh mursyid-mursyid mu’tabar lain di thariqahnya.
Selain penjagaan otentisitas sanad kemursyidan melalui jalur spiritual, upaya penjagaan lahiriah juga diupayakan para guru mursyid dengan selalu menghadirkan empat orang saksi dalam prosesi pengangkatan seorang murid menjadi mursyid, dan belakangan dengan surat keterangan tertulis. Ini semua dalam rangka menghindari fitnah-fitnah atau pengakuan palsu mengenai kemursyidan seseorang, yang berpotensi merugikan umat Islam yang ingin mempelajari dan mengikuti thariqah shufiyyah.
Karena prosesnya yang diyakini murni bersumber dari petunjuk Allah SWT dan Rasulullah SAW itu pula proses regenerasi kemursyidan tidak berjalan dengan mudah dan terus mengalir secara otomatis. Jika ada seorang ulama yang menjadi mursyid, tidak otomatis bisa diharapkan anaknya akan menggantikannya sebagai mursyid kelak sepeninggal sang ayah. Juga tidak dengan mudah diharapkan, jika ada seorang mursyid yang memiliki banyak murid maka akan dengan mudah mengangangkat banyak pengganti. Karena itu tak jarang, seorang mursyid yang sangat terkenal sampai wafatnya tidak mengangkat mursyid baru atau mursyid penggantinya, sehingga garis kemursyidannya pun terputus.
Selain Mursyid atau Muqaddam, yang berhak mengajarkan thariqah, menerima bai’at dan mengangkat mursyid baru, dalam tradisi thariqah –termasuk Syadziliyyah—di Indonesia juga dikenal sebutan Khalifah dan Badal Mursyid. Khalifah adalah seorang sufi yang mendapat ijazah untuk mengajarkan thariqah dan menerima pembai’atan, kepada umat Islam, tetapi tidak berhak mengangkat mursyid baru. Sedangkan Badal adalah seorang sufi, murid senior dari seorang mursyid, yang membantu proses pengajaran thariqah dan menerima pemba’aiatan atas nama dan dengan ijin mursyid. Jadi badal tidak berhak membuka pembai’atan dan pengajaran sendiri, secara mandiri. Ketika seorang guru mursyid wafat dan tidak mengangkat pengganti, maka demi keberlangsungan suluknya, para murid diharuskan melanjutkan pelajaran, bai’at dan suluknya kepada guru mursyid lain.
Di kalangan Habaib selain dipercaya memperoleh sanad kelimuan dan thariqah melalui jalur nasab (keturunan), atau marga. Mereka juga berburu sanad (mata rantai keilmuan) ke ulama dan habaib yang lebih senior dan berbobot baik di dalam negeri maupun luar negeri. Pentingnya mata rantai keilmuan (sanad ilm’) sebagai mana ajaran tarekat As-Sadah Al-Ba’Alawi bila ditinjau berdasarkan mazhab fikihnya adalah bermazhab As-Syafi’iyah. Sedangkan bila ditinjau dari mazhab akidahnya, maka bermazhab As-Sunni Al-Asy’ariyyah.
Pengajaran keilmuan berdasarkan aturan tarekat (manhaj) As-Sadah Al-Ba’alawi ialah mengajarkan berbagai ilmu-ilmu keislaman, yang kini telah berkembang sepanjang sejarahnya dan menjadi bebagai cabang ilmu keislaman. Berbagai ma’had dan rubath tarekat ini, setelah tahun-tahun menjalankan pengajarannya secara terus-menerus sampai dengan hari ini, telah membuat cara-cara yang sistematis dalam memberikan pengajaran ilmu-ilmu tersebut, yang selain itu juga mengajarkan mengenai pentingnya pendidikan melalui suri tauladan (tarbiyyah fi tazkiyah).
Tarekat Alawiyyah adalah suatu tarekat yang ditempuh oleh para salafus sholeh. Dalam tarekat ini, mereka mengajarkan Al-Kitab Al-Qur’an dan As-Sunnah kepada masyarakat, dan sekaligus memberikan suri tauladan dalam pengamalan ilmu dengan keluhuran akhlak dan kesungguhan hati dalam menjalankan syariah Rasullullah SAW.
Mereka menerangkan dengan terinci, bahwa tarekat As-Saadah Bani Alawy ini diwariskan secara turun temurun oleh leluhur (salaf) mereka : dari kakek kepada kepada ayah, kemudian kepada anak-anak dan cucu-cucunya. Demikian seterusnya mereka menyampaikan tarekat ini kepada anak cucu mereka sampai saat ini. Oleh karenanya, tarekat ini dikenal sebagai tarekat yang langgeng sebab penyampaiannya dilakukan secara ikhlas dan dari hati ke hati.
Dari situlah dapat diketahui, bahwasanya tarekat ini berjalan di atas rel Al-Kitab dan As-Sunnah yang diridhoi Allah dan Rasul-Nya. Jelasnya, Tarekat Alawiyyah ini menitik-beratkan pada keseimbangan antara ibadah mahdhah, yaitu muamalah dengan Khaliq, dengan ibadah ghoiru mahdhah, yakni muamalah dengan sesama manusia yang dikuatkan dengan adanya majlis-majlis ta’lim yang mengajarkan ilmu dan adab serta majlis-majlis dzikir dan adab. Dengan kata lain, tarekat ini mencakup hubungan vertikal (hubungan makhluk dengan Khaliqnya) dan hubungan horizontal (antara sesama manusia).
Selain itu, tarekat ini mengajarkan kepada kita untuk bermujahadah (bersungguh-sungguh) dalam menuntut ilmu guna menegakkan agama Allah (Al-Islam) di muka bumi. Sebagaimana diceritakan, bahwa sebagian dari As-Saadah Bani Alawy pergi ke tempat-tempat yang jauh untuk belajar ilmu dan akhlak dari para ulama, sehingga tidak sedikit dari mereka yang menjadi ulama besar dan panutan umat di zamannya. Banyak pula dari mereka yang mengorbankan jiwa dan raga untuk berdakwah di jalan Allah, mengajarkan ilmu syariat dan bidang ilmu agama lainnya dengan penuh kesabaran, baik di kota maupun di pelosok pedesaan. Berkat berpedoman pada Al-Qur’an dan As-Sunnah, disertai kesungguhan dan keluhuran akhlak dari para pendiri dan penerusnya, tarekat ini mampu mengatasi tantangan zaman dan tetap eksis sampai saat ini.
Habib Abdurrahman bin Abdullah bin Ahmad Bilfaqih Ba’alawi pernah ditanya, “Apa dan bagaimana tarekat Saadah Aal Abi ‘Alawi (keluarga Bani Alawy) itu?. Apakah cukup didefinisikan dengan ittibâ’ (mengikuti) Quran dan sunnah?. Apakah terdapat pertentangan di antara mereka?. Apakah tarekat mereka bertentangan dengan tarekat-tarekat yang lain?.” Dia pun menyampaikan jawabannya sebagai berikut : “Ketahuilah, sesungguhnya tarekat Saadah Aal Abi ‘Alawi merupakan salah satu tarekat kaum sufi yang asasnya adalah ittibâ’ (mengikuti) Quran dan sunnah, pokoknya adalah sidqul iftiqôr (benar-benar merasa butuh kepada Allah) dan syuhûdul minnah (menyaksikan bahwa semuanya merupakan karunia Allah). Tarekat ini mengikuti ittiba’ manshûsh dengan cara khusus dan menyempurnakan semua dasar (ushûl) untuk mempercepat wushûl. Melihat hal ini, maka tarekat Saadah Aal Abi ‘Alawi lebih dari sekedar mengikuti Quran dan Sunnah secara umum dengan mempelajari hukum-hukum dhohir. Pokok bahasan ilmu ini sifatnya umum dan universal, sebab tujuannya adalah untuk menyusun aturan yang mengikat orang-orang bodoh dan kaum awam lainnya. Tidak diragukan bahwa kedudukan manusia dalam beragama berbeda-beda. Oleh karena itu diperlukan ilmu khusus untuk orang khusus, yakni ilmu yang menjadi pusat perhatian kaum khowwash, ilmu yang membahas hakikat takwa dan perwujudan ikhlas.
Demikian itulah jalan lurus (shirôthol mustaqim) yang lebih tipis dari sehelai rambut. Ilmu itu tidak cukup disampaikan secara umum, bahkan setiap bagian darinya perlu didefinisikan secara khusus. Demikian itulah ilmu tasawuf, ilmu yang oleh kaum sufi digunakan untuk berjalan menuju Allah Ta’ala. Dhohir jalan kaum sufi adalah ilmu dan amal, sedangkan batinnya adalah kesungguhan (sidq) dalam bertawajjuh kepada Allah Ta’ala dengan mengamalkan segala sesuatu yang diridhoi-Nya dengan cara yang diridhoi-Nya.
Jalan ini menghimpun semua akhlak luhur dan mulia, mencegah dari semua sifat hina dan tercela. Puncaknya memperoleh kedekatan dengan Allah dan fath. Jalan ini (mengajarkan seseorang) untuk bersifat (dengan sifat-sifat mulia) dan beramal saleh, serta mewujudkan tahqiq, asrôr, maqômât dan ahwâl. Jalan ini diterima oleh orang-orang yang saleh dari kaum sholihin dengan pengamalan, dzauq dan perbuatan, sesuai fath, kemurahan dan karunia yang diberikan Allah, sebagaimana syairku dalam Ar-Rasyafaa.
–***—
Aji Setiawan