Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Pak kyai…. Saya pernah dengar dari seorang teman wanita yang katanya oleh sang guru telah dinikah hakikat katanya sang guru dia udah halal karena sudah dinikah hakikot. Jujur saja ketika saya ditanya tentang nikah hakikot yang dilakukan sang guru saya tidak berani menjawab atau menyalahkan, mengingat sang guru tersebut benar2 alim syariat dan taswuf. Sedang saya sendiri dalam masalah syariat saja masih nol apalagi masalah hakikat. Mohon penjelasan tentang nikah dari pak kyai nikah hakikat itu sendiri seperti apa? Apa hukumnya, sekian matornuwun.
Wasalamu’alaikum Wr. Wb
muhammad – mbahdjie35@xxxx.com
Jawab:
Karena dalam Islam nikah masuk kategori syariat (fiqih), maka kalau dimunculkan istilah “Nikah Hakikat” itu harus ditimbang dengan aturan-aturan syariat pula. Jadi dalam syariat sendiri tidak ada istilah nikah hakikat.
Kalau sebagian Sufi menyebut istilah ” Nikah Hakikat”, itu bukan dalam konteks hubungan anatara dua manusia, makhluk yang berlainan jenis dalam tali pernikahan. Bukan. Namun, sebuah hubungan individu, hamba Allah dengan Sang Khaliq, dan untuk menggambarkan dalam bahasa wajd (ekstase), karena begitu dekatnya (qurb), rindunya (syauq), rasanya (dzauq) Ilahiyah, maka seakan-akan saja seperti rasa bersatunya pada Sang Kekasih, lalu muncul refelks kata Nikah Ilahiyah, atau Penganten Ilahiyah, atau Penganten Sufi dan sebagainya. Itu hanya istilah metaforal saja. Bukan istilah syariat atau hukum formal.
Jadi batil bila seseorang menggunakan istilah Sufistik (hakikat) yang sangat spiritual, lalu dipaksakan untuk hubungan relasi pernikahan syariat.
Bahwa ada perbedaan pandang Ulama mengenai syarat rukun sahnya nikah, misalnya pandangan tidak popular dari Dawud adz Dzohiri, yang mengesahkan nikah tanpa Wali dan Saksi, atau pandangan Imam Hanafi, yang mengatakan bahwa wanita dewasa sah nikahnya tanpa wali, tetapi harus ada dua saksi. Apakah demikian itu disebut nikah hakikat? itu pun masih di wilayah syariat, bukan hakikat. Sebab wilayah hakikat adalah wilayah kefanaan hamba dan baqo’nya Allah Ta’ala (ruhaniyah). Wallahu A’lam.