Asy-Sya’rani
Andaikan para ahli fikih punya perhatian besar untuk mengamalkan ilmunya sebagaimana perhatian kaum sufi tentu mereka juga menjadi kaum sufi, dan tidak perlu mencari ilmu kepada orang lain, sebagaimana yang dilakukan para ulama salaf saleh.
Sebab pada hakikatnya definisi seorang sufi, adalah orang alim yang mau mengamalkan ilmunya secara ikhlas, dan bukan yang lain. Imam asy-Syafi’i —rahimahullah— dengan kebesaran dan keagungannya duduk bersahabat dengan kaum sufi, lalu beliau ditanya, “Apa yang engkau dapatkan dan duduk bersahabat dengan mereka?” Maka beliau menjawab, “Saya mendapatkan dua hal dari mereka: Yaitu ungkapan mereka, ‘Waktu adalah pedang (senjata), bila anda tidak sanggup memotongnya maka ia akan memotong anda,’ dan ungkapan mereka, ‘Bila anda tidak menyibukkan diri anda dengan kebaikan, maka dia akan menyibukkan anda dengan kejelekan’.”
Demikian halnya yang dilakukan oleh Imam Ahmad bin Hanbal —rahimahullah— yang juga duduk bersahabat dengan Abu Hamzah al-Baghdadi, seorang sufi yang hidup sezaman dengannya, dimana ketika ia mendapatkan masalah yang tidak sanggup menyelesaikannya, maka ia akan bertanya kepada sang sufi Baghdad, “Bagaimana pendapat anda wahai sang sufi?” Ini sudah cukup menjadi catatan sejarah kaum sufi. Andaikan mereka tidak memiliki kelebihan tersendiri tentu orang seperti Imam Ahmad tidak akan membutuhkannya. Sementara itu, Ibnu Aiman dalam Risalah Imam Ahmad mengisahkan: Bahwa pada mulanya Imam Ahmad melarang orang-orang untuk berkumpul dengan kaum sufi, dimana ia pernah mengatakan, “Apakah pada salah seorang dari mereka (kaum sufi) ada suatu kelebihan dari apa yang ada pada kita?” Sampai pada suatu malam ada suatu jamaah yang datang memenuhi ruangannya, lalu mereka bertanya tentang suatu masalah syariat yang membuatnya tidak mampu menjawab. Akhirnya jamaah itu terbang di angkasa sembari berkata kepada Imam Ahmad, “Terbanglah bersama kami!” Tapi ia tidak mampu terbang. Maka sejak saat itu ia menganjurkan kepada semua orang untuk berkumpul bersama kaum sufi, dan mengatakan, “Sesungguhnya mereka melebihi kita dalam mengamalkan apa yang mereka ketahui.”
Seorang murid hendaknya tidak lagi memperhatikan pada harta yang sebelum ia masuk ke dalam tarekat sudah menyatakan keluar darinya, dan tidak menoleh pada rumah, dan berbagai sarana. Sebab menoleh (memperhatikan) pada hal-hal tersebut merupakan sesuatu yang sangat berbahaya bagi si murid yang lemah, bahkan barangkali akan berbalik pada kondisi yang lebih buruk dari kondisi sebelum ia masuk ke dalam tarekat. Al-Junaid —rahimahullah— mengatakan, “Andaikan seorang murid menghadap kepada Allah selama seribu tahun dengan benar, kemudian ia berbalik ke belakang dalam sekejap, maka apa yang hilang dalam waktu sekejap tersebut akan lebih banyak dari apa yang ia peroleh sebelumnya.”
Ini karena setiap detik yang ia lalui mengandung seluruh anugerah yang telah diberikan sebelumnya. Dan itu akan terus bertambah dengan anugerah dalam setiap waktu. Sebab wujud al-Haq Swt. senantiasa mencurahkan pemberian-Nya.
Seorang murid harus selalu rajin dan giat dalam berbuat ketaatan kepada Tuhannya, terutama di tahapan pertama. Kaum sufi mengatakan, “Barangsiapa tidak rajin dan giat di awalnya, maka di akhir ia menjadi guru tidak akan bisa menjadikan seorang murid itu sukses.” Ini karena apabila ia tidur maka biasanya si murid juga akan tidur, apabila ia berpuasa maka Si murid juga akan berpuasa, apabila ia menuruti kesenangan nafsu maka Si murid juga akan menuruti kesenangan nafsunya, demikian seterusnya dalam masalah akhlak. Hal itu bisa terjadi karena bantuan yang didapatkan Si murid yang benar adalah berasal dari sang guru. Maka segala kondisi yang dialami oleh guru akan menjadi sumber utama yang diambil oleh Si murid. Sampai kalau misalnya, sang guru lupa dengan Allah maka secara otomatis sang murid terpaksa lupa dengan-Nya. Maka tidak ada seorang pun yang memiliki tugas paling berat dan melelahkan hati dan tubuhnya dari orang yang telah memikul tanggung jawab menjadi imam (pemimpin) bagi para murid. Akan tetapi hal itu terjadi secara umum dan bukan secara keseluruhan, sebab bisa jadi sang murid telah lupa Tuhannya, sementara sang guru dalam kondisi mengingat dan hatinya hadir di hadapan Tuhannya.
Tuan Guru Ibrahim ad-Dasuqi mengatakan: “Seorang murid harus berjuang melawan nafsunya (mujahadat) dengan ikhlas. Sebab apabila ia benar dalam bermuamalah dengan Allah dalam masalah rahasia-rahasia hati maka Allah akan menjadikannya tampak pada keluarga dan masyarakat.”
Ia juga pernah berkata: “Barangsiapa bisa membersihkan diri untuk tidak melihat ke belakang maka tidak akan jatuh terjungkir ke tengah-tengah masyarakat.”
Ia juga berkata, “Barangsiapa tidak bisa menjaga diri dari hal-hal yang haram, tidak bisa bersih, dan tidak bisa mulia maka bukan termasuk anak-anakku sekalipun anak kandungku sendiri. Tapi barangsiapa selalu berada pada jalur tarekat, berpegang teguh dengan agama, bisa menjaga diri dari barang haram, zuhud, wara’ dan tidak banyak berharap kepada makhluk maka termasuk anak-anakku, sekalipun dari negeri yang sangat jauh.”
Ia mengatakan: “Wajib bagi seorang murid yang lemah untuk menuntut ilmu yang mengantarkannya bisa menunaikan kewajiban dan ibadah sunahnya. Dan tidak seharusnya menyibukkan dirinya dengan ilmu yang lebih dari kebutuhan di atas, seperti Ilmu Balaghah dan Fashahah, sampai lebih dahulu perjalanan spiritualnya telah sampai pada batas akhir dan mengetahui Tuhannya. Maka dalam kondisi seperti ini tidak ada sesuatu yang bisa mengganggu dan bisa menjadikannya lupa dengan Tuhannya. Apabila ia belajar Ilmu Nahwu misalnya, ia akan tetap bersama Tuhannya, atau sedang belajar Ilmu Kalam, ia akan tetap bersama Allah secara kasyaf dan kesaksian hati. Berbeda dengan orang yang perjalanan spiritualnya belum sampai pada batas akhir, maka segala sesuatu yang wujud akan menyibukkannya dan barangkali akan menjadikannya lupa dengan Tuhannya, bahkan sampai pembicaraan yang diperbolehkan sekalipun akan menjadikannya lupa.”
Syekh Ibrahim ad-Dasuqi mengatakan: “Diantara sesuatu yang wajib dipelajari murid adalah menelaah buku-buku yang berisi sejarah orang-orang saleh dan jejak perilaku mereka dalam ilmu dan amal, di samping itu juga harus memperbanyak dzikir siang dan malam. Karena hal itu bisa menariknya untuk mengikuti mereka.” — Dan hanya Allah Yang Mahatahu.
Seorang murid tidak boleh bersaing dengan siapa pun, tidak boleh berdebat dengan siapa pun tentang ilmu syariat maupun hakikat, dan tidak boleh bersaing untuk memperbaiki amal orang lain. Sebab hal itu merupakan tugas para guru. Adapun seorang murid bila ia menyibukkan diri dengan kegiatan tersebut maka hanya akan memutuskan perjalanan spiritualnya dan mengakibatkan punya keinginan untuk menjadi pemimpin dan mengagumi dirinya sendiri, dan akhirnya dengan tanpa disadari hanya akan menghancurkan dirinya sendiri. Akan tetapi yang wajib dilakukan seorang murid hanyalah memperbanyak melakukan kegiatan yang dapat meningkatkan perjalanan spiritualnya, tanpa mengenal kemalasan dan kejenuhan, baik siang maupun malam. Sementara itu, dalam masalah berdebat ada tokohnya masing-masing, dan orang yang tunduk terhadap aturan juga ada tokohnya sendiri-sendiri.
Tuan Guru Ibrahim ad-Dasuqi mengatakan: “Diantara syarat-syarat murid yang benar adalah berusaha keluar dari seluruh kesenangan nafsunya, tanpa harus memperhatikan pada kesenangan-kesenangannya seperti harta, jabatan, kedudukan
atau ingin tergolong pada apa yang dianggap baik, dan rela dengan kesulitan atau kerusakan yang menimpanya, malahan lebih senang bila dianggap rendah di tengah-tengah masyarakat dan tidak terkenal, sebagaimana sifat dan perilaku orang-orang jujur. Sebab orang yang hanyak meraih kesuksesan dalam perjalanan spiritual hanyalah orang yang sanggup meninggalkan kesenangan dan bagian nafsunya serta menghadapi orang yang menyakitinya dengan balasan perbuatan baik.”
Syekh Ibrahim ad-Dasuqi juga mengatakan: “Diantara syarat seorang murid yang benar hendaknya tidak memiliki perbuatan rendah, dan tidak ada yang sanggup memalingkannya dari tarekat kaum sufi, baik pedang maupun segala yang membuatnya hancur.”
Termasuk juga syarat seorang murid yang benar hendaknya tidak pernah mengaku apa pun dengan pengakuan yang benar sekalipun, lalu bagaimana dengan pengakuan yang bohong. Dan tidak memiliki hubungan cinta dengan anak-anak muda belia dan perempuan lain. Sebenarnya hal itu hanya layak bagi para guru.
Syekh Ibrahim ad-Dasuqi juga mengatakan: “Diantara perilaku seorang murid hendaknya tubuh dan hatinya selalu beramal, yang sama sekali tidak memiliki obrolan omong-kosong dalam tarekat, dan tidak pernah membicarakannya sekalipun ia sudah berperilaku dan berakhlak dengan akhlak para ahli tarekat, sehingga ia diizinkan oleh gurunya.” Lebih lanjut ia mengatakan: “Kebiasaan yang terjadi pada para murid di zaman sekarang ini merasa puas dengan kalimat-kalimat yang mereka dapatkan dari kitab-kitab atau dari para guru, maka siapa saja yang mendengarnya ia sudah mengira termasuk kelompok kaum sufi. Maka tidak ada usaha dan kekuatan apa pun kecuali dengan Allah Yang Mahaagung.”
Seorang murid juga harus mencari segala sesuatu yang benar-benar halal, dari sesuap makanan yang ia makan atau selembar kain yang menutupi auratnya. Maka selagi seorang murid masih mencicipi barang haram atau syubhat maka amal-amalnya tidak akan bisa menyinarkan cahaya karena tertutup oleh kegelapan sesuap makanan haram yang dimakannya. Sebagaimana yang sudah maklum, bahwa kegiatan seorang murid adalah selalu berusaha menyinari hatinya agar bisa membedakan antara petunjuk kebenaran dengan kesesatan.
Syekh Ibrahim ad-Dasuqi mengatakan: “Seorang murid yang benar hendaknya tidak memiliki kecenderungan hati untuk memperhatikan orang yang telah menganggapnya bersih, akan tetapi ia wajib mengoreksi dirinya dari segala sifat tercela yang orang lain sudah bisa bersih dari sifat tersebut. Barangkali sang guru telah menuliskan suatu ijazah untuk murid di saat-saat ia sedang bisa melakukannya dengan istiqamah, kemudian si murid mengubah dan menggantinya. Lalu apa manfaat dari ijazah yang dia telah mengubah dan mengganti kondisi spiritual para ahli tarekat? Sekiranya kalau si murid menunjukkan kepada sang guru tentang kesalahan yang telah ia lakukan maka sang guru akan menariknya kembali ijazah tersebut, dan memutuskan bahwa dirinya telah keliru. Maka sebaiknya seorang murid mengoreksi dirinya setelah ia diberi ijazah sang guru, dan tidak puas dengan tulisan yang telah dimasukkan ke dalam laci, karena hal itu merupakan penipuan besar.”
Lebih lanjut Syekh Ibrahim ad-Dasuqi mengatakan: “Apabila seorang murid menyibukkan diri dengan meng-i’rab kalimat, benar tidaknya susunan kalimat tersebut secara gramatika, dan memperhatikan kesahihan dalam pelafalannya, maka ia benar-benar telah bisa menjaga diri dari kesalahan. Tapi yang lebih penting lagi adalah meng-i’rab dan mencari bantuan untuk bisa beramal saleh. Namun tidak ada salahnya bila ia helajar Nahwu (ilmu gramatika Bahasa Arab) untuk menjaga agar tidak salah dalam pelafalan bacaan al-Qur’an dan Hadis.”
Seorang murid hendaknya memiliki kesabaran yang kuat untuk selalu jaga malam (tidak tidur), lapar, menjauhkan diri dari manusia, baik hati maupun badannya. Syekh Ibrahim ad-Dasuqi mengatakan: “Sesungguhnya jalan menuju Allah bisa memusnahkan kulit yang kebal, memporak-porandakan hati, melemaskan tubuh, menjadikan sakit jantung dan meluluhkan hati.” Ia juga mengatakan: “Diantara hal yang paling herat untuk dipercayai seorang murid adalah cinta dan tunduk kepada sang guru, melemparkan tindakan durhaka dalam menentang dan menyalahi perintah guru, kemudian tenang di bawah kehendak dan perintah sang guru. Apabila setiap harinya kepatuhan dan cintanya kepada sang guru semakin bertambah, maka ia akan aman dan selamat dari terputus. Sebab berbagai penghalang tarekat yang sering muncul dari beban menoleh pada duniawi adalah faktor yang sering kali memutus dan menghalangi pertolongan yang diberikan guru kepada murid.”
Seorang murid hendaknya menjauhi orang-orang yang menuduh para ahli tarekat dengan tuduhan yang tidak benar, kebohongan, kemunafikan, dimana kaum sufi dianggap orang-orang yang suka pamer. Sebab orang yang berani menuduh kaum tarekat sufi dengan tuduhan yang tidak benar akan dimurkai dan dibenci Allah, sehingga tidak akan bisa sukses untuk selamanya sekalipun mengantongi ibadah manusia dan jin.
Jika anda bertanya: Bagaimana kita bisa mengetahui, bahwa Allah mencintai seorang hamba dan para hamba-Nya? Maka jawabannya: Kita bisa tahu kalau Allah mencintai hamba-Nya dengan bukti ia mendekatkan diri kepada-Nya dengan ketaatan dan memperbanyak ibadah-ibadah sunah. Maka apabila kita tahu ada orang yang melakukan hal tersebut, maka kita wajib mencintai dan haram bagi kita membencinya. Sementara itu kita tidak berhak membedah hatinya, sehingga kita tahu bahwa ia seorang yang berbuat dengan ikhlas ataukah hanya ingin pamer dengan ibadahnya. Sebab hal itu urusan Allah, dan kita tidak punya wewenang untuk menyelidikinya.
Syekh Ibrahim ad-Dasuqi mengatakan: “Diantara ciri-ciri kebohongan seorang murid yang mengaku jujur mencintai Tuhannya adalah tidur di waktu sahur dan tidak pernah ‘minum’ dari sumber kedekatan.”
Lebih lanjut ia mengatakan: “Tidak benar kedekatan seorang murid dengan hadirat Tuhannya kecuali bila ia telah meninggalkan segala sesuatu selain Allah, dari tingkatan spiritual, karamah (kemuliaan) dan kejadian-kejadian yang di luar adat kebiasaan.”
Ia juga mengatakan: “Setiap murid yang menerima fatwa iblis, bahwa Allah tidak akan menyiksanya hanya karena meninggalkan ibadah-ibadah sunah dan wirid, maka ia akan celaka dan akan jatuh dengan terjungkir balik, sementara apa yang dikehendaki tidak akan tercapai. Sebab iblis akan memerintah sang murid untuk melakukan keringanan-keringanan syariat, yang secara bertahap akan menyeretnya pada tindakan kezaliman dan penyelewengan. Apabila seorang murid telah melakukan keringanan-keringanan syariat setelah sebelumnya melakukan ibadah sesuai dengan ketentuan hukum asal (‘azimah), berarti ia telah pindah pada perbuatan terlarang. Kemudian iblis membisikinya, “Sesungguhnya perbuatan ini telah ditakdirkan untuk anda sebelum anda diciptakan, lalu anda bisa berbuat apa?” Iblis terus membisikinya, “Anda termasuk orang yang benar-benar menauhidkan Allah secara murni, anda jangan melihat perbuatan lain bersama Allah Swt.” Akhirnya murid yang mengikuti bisikan iblis yang terkutuk akan hancur bersama orang-orang yang hancur. Sebab ia tidak akan pernah bertobat dan beristighfar dari dosa yang pernah ia lakukan.
Ia juga mengatakan: “Diantara syarat murid hendaknya menjadi orang yang paling bisa menjauhi dosa, banyak berjaga malam dan menghidupkan malamnya dengan ibadah. Ketika semakin bertambah pengabdian kepada Tuhannya semakin bertambah pula kedekatan dan kebaikan-Nya.”
Ia juga mengatakan: “Jauhilah wahai sang murid, mengaku akan kesempurnaan cinta anda kepada Allah Swt. kemudian anda bermaksiat kepada-Nya. Sebab apabila anda bermaksiat kepada-Nya barangkali lisan kehadiratan-Nya akan berkata kepada anda, ‘Cis, jangan berkata demikian, apakah kamu tidak malu dengan-Ku? Di mana pengakuanmu akan kejujuran dalam mencari kedekatan dengan-Ku? Mana katanya kamu mencuci pakaian kotormu untuk duduk bersama-Ku? Berapa kali kamu telah melangkahkan kakimu menuju perbuatan dosa? Berapa lama kamu tidur, sementara para kekasihku sedang berbaris di atas kakinya! Demi keagungan-Ku, sungguh kamu adalah orang yang mengaku dengan pengakuan bohong!’”
Lebih lanjut ia mengatakan: Allah Swt. memusuhi setiap murid yang telah mengumumkan dirinya dengan tarekat kami, sementara ia tidak mau menunaikan hak-haknya dan hanya mempermainkannya.
Ia juga berkata: “Barangsiapa berkhianat maka tidak akan terwujud. Maka barangsiapa tidak mau menerima nasihat kami, maka jangan ikut berjalan dengan kelompok kami dan jangan mencintai kami, sebab kami tidak akan mencintai anak-anak kami kecuali yang memiliki perangai yang lemah-lembut. Hal itu dimaksudkan agar hatinya bisa layak untuk ditanami rahasia kami. Wahai anak-anakku, jika kalian memang benar-benar jujur dalam keinginan (iradat) kalian, maka jangan kotori tarekat kami, jangan bermain dalam hakikat kami dan jangan mengelabui diri kalian dengan kejujuran. Berbuat ikhlaslah maka kalian akan selamat, sebagaimana kami telah memenuhi kewajiban kami dalam mendidik dan memberi nasihat kepada kalian, maka penuhilah hak kalian untuk mendengar dan menerima nasihat kami. Apa yang kami perintahkan hanyalah apa yang diperintahkan Tuhan dan Nabi kalian, Muhammad Saw.”
JANGANLAH MENGAKU-NGAKU
Diantara ciri-ciri murid yang benar hendaknya tidak sekali-kali mengatakan, “Saya melakukan demikian, dan ibadah-ibadah yang bersifat agung.” Sebab Allah Swt. akan menjadikan lemah orang-orang yang mengaku, sekalipun mereka mengantongi ibadah manusia dan jin, akan jatuh. Dan sekalipun orang yang memiliki keberkahan, juga akan runtuh.
Syekh Ibrahim ad-Dasuqi mengatakan: “Apabila seorang murid yang benar sudah lupa melawan dirinya dan sudah lupa memikul beban berat mengusir riya’ dan kemunafikan maka ia akan hancur bersama orang-orang yang hancur.” Lalu bagaimana dengan murid yang bohong?
Ia juga mengatakan: “Diantara ciri-ciri murid yang benar adalah berusaha melipat (menyimpan) kedudukan-kedudukan spiritual dalam perjalanan spiritualnya yang jauh dengan penuh kegigihan niatnya supaya bisa mengungguli orang lain. Sebab manisnya kedekatan dengan hadirat Tuhannya dapat menjadikannya lupa akan jauhnya perjalanan yang melelahkan.”
Dan diantara ciri-ciri murid yang benar adalah berusaha membalik segala lawannya. Orang yang mencacinya malah dicintai, orang yang memutus hubungan dengannya malah disambung, orang yang tidak menyukai malah dipuji dan tidak pernah menggubris permusuhan orang-orang munafik, sebab mereka adalah musuh para nabi dan rasul.