Mosaik Perdamaian ala SUFI

KHM Luqman Hakim, PHd – Sufiolog dan Pengajar Pesantren Ciganjur

Dialog perdamaian dunia terus menerus dilakukan oleh berbagai pihak, menyusul buntunya substansi dan esensi yang akan dijadikan solusi bagi pihak-pihak yang sedang mengalami konflik bilateral, konlik social, bahkan konflik dengan tingkat kasus teologis yang spesifik. 

Nahdhatul Ulama dalam Harlahnya ke 85 mengumpulkan para tokoh Sufi dunia untuk membincangkan perdamaian dalam Al-Multaqa as-Shufi al-‘Alamy yang berlangsung 15-16 Juni kemarin. Pertemuan para Sufi Internasional ini, beberapa tahun silam diselenggarakan di Libya atas prakarsa Muammar Khadafi, satu-satunya pemimpin Negara Islam yang sangat aktif dengan dunia Sufi. Jauh sebelum pemberontakan terjadi di negaranya.

Konfrensi Internasional kaum Sufi di Indonesia dengan tema “Perdamaian” diharapkan memberikan solusi langsung yang menyentuh substansi konflik-konflik internasional dan regional. Tetapi harapan itu tidak sepenuhnya tercapai, karena tidak ada kesimpulan strategis, bahkan sufistik, bagaimana peran konvergensif antara alam tasawuf, konflik dan damai itu sendiri.

Dunia Sufistik sebenarnya lebih primordial dibanding disiplin syariat maupun teologi (akidah), karena tasawuf lebih memantulkan substansi inti dan neucleus dari Islam itu sendiri. Dalam konstelasi perdamaian dunia, Sufisme mereposisikan cara pandang manusia tentang Allah, alam semesta dan manusia secara lebih hakiki. Dan kenyataan ini harus berhadapan dengan realitas global yang begitu kuat memicu konlik ummat manusia. Dunia global telah menyapu seluruh daratan bumi melalui pendidikan, ekonomi, politik dan kebudayaan dengan instrument komunikasi luar biasa dan penguasaan industri dan konsumsi, yang rentan pada proses dehumanisasi.

Tantangan sedemikian rupa, baru disadari oleh para Ulama, khususnya para Ulama Sufi dewasa ini. Terlambat, tetapi lebih baik daripada tidak sama sekali. Seperti kaidah yang sering mereka kutip, “Maa laa yudroku kulluh laa yutroku kulluh.” Yang tidak bisa dicapai semuanya, tidak boleh ditanggalkan semuanya. Hal inilah yang mendorong untuk dilakukan studi perdamaian dalam Islam, tidak sekadar apologia pada nilai-nilai normative yang selama ini didengungkan, namun bagaimana dunia Sufi menjadi pembebas bagi akar-akar konflik kemanusiaan.

Hal itu berarti suatu gerakan revolusi kebudayaan dan pendidikan yang harus dilakukan secara dekonstruktif. Karena itulah satu-satunya daya tawar dalam pasar kebudayaan global, jika tidak ingin proses destruksi kemanusiaan menuju puncaknya. Ketakutan, kecemasan, dan mimpi masa depan, harapan-harapan, seringkali harus ditelikung oleh sirkuit pengembangan kepribadian modern yang lebih menekankan unsur egoisme, seperti “Aku bisa, Aku mampu, Yes, I can, Aku hebat,..dst”, yang menumpuk arogansi psikhologis dalam pertumbuhan kepribadian generasi kita ketika ingin survive di masa depan.

Pada saat yang sama, hampir di seantero dunia Islam dininabobokkan oleh model ”spiritual instant” yang mengekploitasi massa yang berujung pada ekonomi dan politik. Ataupun industri pendidikan spiritual yang hipnoterapik dengan pencucian mental yang semu. Eksploitasi spiritual ini menjadi industri agama yang sangat memuakkan dalam sejarah Islam, dan rekaman sejarah selalu mencatat setiap agama menjadi lahan indutsri, saat itulah keruntuhan nilai-nilainya menuju kehancurannya.

Ada tragedi spiritual dalam internal ummat Islam sendiri, ada pula tragedy spiritual Barat yang gelap karena harus memaksakan nilai-nilai “keakuan” fir’aunisme dan iblissianisme liberal. Namun juga ada konstruksi-konstruksi local yang diklaim sebagai keyakinan atau teologi nusantara, misalnya.

Benturan inilah yang seharusnya menjadi agenda studi kasus perdamaian dalam perspektif Sufi, yang kelak diterjemahkan dalam aksentuasi kebudayaan dan pendidikan agama, bahkan menjadi pelajaran setara “kitab kuning” di pondok pesantren.. Konfrensi atau seminar hanyalah gelegak gelombang di buih pinggiran, yang harus dicari darimana sumber gelombang yang sesungguhnya.

Perdamaian itu sendiri bukanlah tujuan bagi ritual thariqat Sufi. Menjadi salah, ketika seseorang melakukan praktek tharikat agar bisa damai, agar meraih kenikmatan spiritual, atau agar mendapat balas budi dari Tuhannya, lebih tragis; lagi ketika menukar mutiara ruhaninya dengan sekadar konsesi-konsesi duniawi. Damai hanyalah akibat belaka dari sebuah proses asketisme yang luhur seorang penempuh jalan sufi.

Harus dibaca juga..

Next Post

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Top Stories

ADVERTISEMENT

Login to your account below

Fill the forms bellow to register

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.