Ada yang baru tentang Syikh Abdul Qodir Al Jilany. Sebuah penemuan kitab tafsirnya baru –baru ini didiskusikan di gedung Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Tidak hanya kitabnya yang memang mendapat apresiasi luar biasa. Tetapi juga pembicaranya , Dr. Fadhil Al Jilany yang merupakan keturunan Syaikh Abdul Qodir Al Jilany.
“Kitab tafsir syaikh Abdul Qodir ini saya temukan di berbagai perpusatkaan. Butuh waktu 30 tahun untuk menemukan kitab ini. Alhamdulillah sampai sekarang banyak yang akan menerjemahkan,” ujarnya. Menurutnya kitab tafsir karangan syeikh Abdul Qodir al Jilany ini ada beberapa kelebihan. Hal ini semakin menguatkan bahwa Syaikh abdul Qodir Al Jilany tidak hanya piawai dalam ilmu tasawuf, tetapi juga ilmu tafsir.
Menurut Syeikh Fadhil ada beberapa kelebihan dari tafsir Al Jilany ini. Diantaranya adalah corak afektif syar’i dan ilmiah yang begitu kental dalam tafsir tersebut. Sebagai contoh, misalnya, ungkapan yang sering digunakan oleh para ahli tafsir dalam ayat pertama surah Al-Ikhlash: “Katakanlah(wahai Muhammad).” Tetapi, Syekh tidak pernah memakai nama secara langsung melainkan dengan julukan, antara lain, “Wahai Rasul yang paling sempurna”, Wahai insan sempurna,” dan lain sebagainya.
Selain itu, dalam penafsiran tiap lafal Basmalah yang terdapat di permulaan surah, sesuai dengan makna yang terkandung dalam surah secara keseluruhan. Dengan demikian, ada 114 tafsir berbeda terkait lafal basmalah. Di penghujung pembahasan, Syeikh menyertakan doa. Tak hanya pada kitab Tafsir Al-Jilany, akan tetapi pola ini dituliskan di tiap karyanya. Sebagai contoh dalam surah al-Fatihah, setelah uraian tentang makna ayat ke-2, Syeikh menyertakan kata ‘Amin’, semoga diterima Engkau Wahai Maha Pengasih.
Tafsir Al-Jilany lebih dekat dengan Tafsir Bil Ma’tsur yang menafsirkan ayat dengan ayat, dan hadist.
Dalam kesempatan tersebut, Syeikh Fadhil juga mengatakan bahwa pencariannnya menemukan banyak hal yang baru. Diantaranya keterlibatan Syeikh Abdul Qodir dalam Perang Salib. Menurutnya ada sejarah yang harus diluruskan. ” Dalam perang Salib semasa Salahuddin Al Ayyubi, Syaikh Abdul Qodir Jilany berperan sangat besar. Bahkan memerintahkan anaknya untuk berperang. Strategi yang diterapkan pasukan muslim kala itu tidak lepas dari peran Syeikh Abdul Qodir al Jilany. Dan ini yang tidak ada dalam sejarah sebelumnya,”ungkap Syeikh Fadhil.
Tidak heran kalau dalam pengantarnya, pengamat sufi KH Luqman Hakiem mengatakan tafsir al Jilany merupakan sebuah karya monumental. ” Saya kira ini merupakan salah satu monumen terbesar abad ini. Tafsir yang semula hilang kini dapat ditasheh kembali. Insya Allah kitab ini akan melengkapi kahsanah di perpustakan pondok pesantren dan universitas di negeri ini,” katanya.
Lukman menambahkan bahwa banyak kitab-kitab tafsir dalam perspektif tasawuf yang belum masuk ke Indonesia. Adanya tafsir ini menjadi salah satu yang akan menambah refrensi dalam dunia tafsir di tanah air. “Terus terang saja, pesantren tidak banyak membalah (mengaji) kita bercorak sufustik. Dengan hadirnya kitab ini, minat pesantren terhadap kitab tafsir tasawuf akan meningkat. Kita baru berhenti pada suluk atau pengamalan, belum kajian tasawuf yang serius dan beragam. Dengan kitab ini, cinta kita pada beliau dengan tahu dan paham, bukan cinta buta,” ujar Lukman yang juga pengasuh di Pesantren Ciganjur.
Hal yang sama dikatakan KH Abdul Manan ketua Lembaga Takmir masjid Nahdlatul Ulama (LTM NU). Ia mengatakan bahwa bedah tafsir al Jilani ini penting dilakukan, supaya muslim Indonesia mengetahui Syeikh Abdul Qodir secara menyeluruh. “Maklum saja tafsir ini tidak banyak diketahui, karena belum lama ditemukan. Kitab ini baru diterbit setahun yang lalu, oleh penerbit di Istambul Turki. Insya Allah, kita ini akan memperkaya khazanah kelimuan kita di pesantren khususnya, dan umat Islam umumnya,” katanya.
Fadhil adalah keturunan ke-25 dari Syeikh Abdul Qadir Al-Jilany. Karena kebesaran nama sang kakek, maka ia pun melanglang buana demi mengumpulkan sejumlah manuskrip karya Syeikh Al-Jilany. Suka-duka dialaminya saat mencari manuskrip yang berusia ratusan tahun itu. “Terkadang penuh perjuangan, karena banyak perpustakaan di dunia, yang sudah lama menyimpannya. Sehingga, ada yang tidak dibuka untuk umum. Namun, setelah mereka mengetahui, akhirnya mereka mengizinkan,” terangnya.
Kitab Tafsir Al-Jilany disusun berdasarkan naskah yang didapat dari beberapa koleksi. Di antaranya manuskrip yang berasal dari Perpustakaan Rashid Kirami di Tablus yang merupakan perpustakaan pribadi sejak dinasti Turki Usmani. Manuskrip kedua diperoleh dari salah satu perpustakaan pribadi milik seorang pendeta di Eropa. Adapun manuskrip ketiga manuskrip tersimpan di Perpustakan Kairo yang berumur sekitar 300 tahun. Dan terakhir manuskrip “HaidarAbad”, India tahun 622 H.