2. Manusia Unggul dengan Maiyyatullah
Kosakata ‘maiyah’ dalam bahasa Arab berarti: dalam keadaan bersama atau kebersamaan yang tak terlepaskan, the endless togetherness (kalau boleh menggunakan kosakata seperti ini). Dalam tradisi sufisme maiyah berarti maiyatullah, bersama Allah yakni makna yang bersumber dari keadaan yang dialami Rasulullah Muhammad Saw. dan sahabatnya, Abu Bakar ra tatkala berada di dalam gua tsaur ketika sedang dikejar musuh, dimana Muhammad Saw. menyatakan kepada sahabatnya “Allah bersama kita”; sebagaimana dikisahkan dalam al-Quran surah at-Taubah: 40.
Literatur tasawuf cukup kaya akan bahasan mengenai ayat 40 surat at-Taubah ini karena pertanyaan yang menggelitik adalah bahwa sosok Abu Bakar bukanlah pengikut biasa. Melainkan orang yang oleh Nabi sendiri diakui keimanannya yang prima sehingga tidak layak berasumsi bahwa Abu Bakar dirundung ketakutan dan kekhawatiran apalagi kesedihan menghadapi situasi yang ada. Lagi pula tidak ada informasi yang akurat baik al-Quran maupun Hadist yang menggambarkan bahwa Abu Bakar saat itu mengeluh kepada sahabatnya apalagi secara fisik menyatakan rasa sedih. Tetapi mengapa kemudian Muhammad Saw berkata kepada sahabatnya: “jangan bersedih, Allah bersama kita”?
Boleh jadi ungkapan ini tidak mesti dipahami dengan pola hubungan sebab akibat sehingga tidak dengan cara empirik dimaknai “jangan bersedih, karena Allah bersama kita.” Pemaknaan sufisme terhadap kesedihan yang mungkin ada dalam diri Abu Bakar tidak terkait dengan pribadinya, tapi tertuju pada apa-apa yang akan menimpa mereka yang memerangi dan mengejar Muhammad, seakan-akan Abu Bakar berkata: “saya bersedih jika kemudian orang-orang itu mencederaimu wahai Rasulullah, maka tertimpa azab yang tak berkesudahan.” Ini tentu disebabkan oleh pengetahuan Abu Bakar yang sudah mencapai taraf ainulyaqien siapa sesungguhnya Muhammad. Dan pihaknya Nabipun hanya mengingatkan “Allah bersama kita” dalam pembebasan mereka yang menjadikan dirinya musuh Muhammad dari malapetaka apapun; seperti halnya sikap beliau menghadapi penyiksaan penduduk Makkah ketika telah mencapai titik kulminasi sampai-sampai malaikat Jibril as menawarkan apa perlu mengangkat Jabal Qubais untuk ditimpakan kepada mereka dan tamat riwayatnya? Lalu dijawab oleh beliau Nabi “Oh jangan, karena aku berharap mereka melahirkan anak-cucu keturunan yang mampu memahami misi ini dan menjadi pejuang melanjutkannya”; Subhanallah, shallallahu alaika ya sayyidi ya Rasulullah. Pengertian maiyah sebagaimana yang dipahami kaum sufi dari ayat 40 surat at-Taubah bukan untuk membangun sifat defensif, melainkan gagasan ‘pembebasan’ yang didasarkan kepada cinta kasih sesama sebagai manifestasi cinta kepada Allah dan Rasul-Nya dan dengan kepercayaan yang mendalam terhadap misi perjuangan. Bukanlah kebetulan bahwa ‘maiyah’ muncul dalam konteks proses hijrah karena pada dasarnya momentum hijrah menjadi tonggak transisional dalam metodologi dan pendekatan dakwah yang digunakan Muhammad dalam misinya.
Selama kurang lebih satu dasawarsa beliau mendebat penduduk Makkah tentang tauhid, namun hasilnya tidak signifikan. Sejak dahulu bahkan hingga sekarang penduduk Makkah adalah manusia-manusia materialistis, sehingga sulit memahami dimensi-dimensi ideologis, seperti sikap mereka yang tak habis pikir mempertanyakan misalnya buat apa Muhammad mengajarkan persaudaraan sesama manusia diluar huhungan darah dan suku bangsa? Oleh karena itu, di Madinah Muhammad tidak lagi melakukan perdebatan tauhid tetapi memberikan contoh kongkrit bagaimana konstruksi dan struktur masyarakat yang diinginkan Islam sesungguhnya; bagaimana manusia hidup saling mengasihi dan saling mengerti, bersatu membangun dan mempertahankan kedaulatan Madinah, ibarat pepatah Indonesia: “Ringan sama dijinjing, berat sama dipikul”. Hasilnya, dalam kurun waktu kurang dari satu dasawarsa tidak saja berbondong-bondongnya penduduk Makkah bergabung ke Madinah. Tetapi Muhammad telah membangun basis kekuatan politik, ekonomi dan militer yang tak tertandingi di semenanjung Arabia.
Kelompok sufi —kalau tidak disebut sebagai aliran— yang lebih dikenal amat ketat mempraktekkan konsep maiyah seperti ini adalah aliran al-Malamatiyah di Khurasan pada abad ke-3 dan ke-4 H. berdasar prinsip ietsaar yang mengacu pada ayat 9 surah al-Hasyr, persaudaraan al-Malamatiyah dibangun diatas sikap pengorbanan diri sendiri demi kepentingan saudara. Sikap tersebut menciptakan idealisme al-futuwwah, yaitu semangat kepemudaan dalam berjuang seperti halnya ashabul kahfi. Tokoh-tokoh besar dalam tradisi sufi pada umumnya penganut malamatiyah dan ahlul futuwwah mulai dari Abu Yazid al-Busthami, al-Hallaj, al-Junaeid, hingga Ibn Arabi.
TASAWUF MERAWAT SPIRITUALITAS.
Jalan tasawuf bukan ilmu yang diajarkan bukan pula teori yang diwacanakan melainkan kehidupan yang dijalani. Praktik maqamat dan ahwal merupakan karakteristik amaliah dan terapan nilai-nilai tasawuf. Tanpa menempuh maqamat dan ahwal maka seluruh wacana tentang nilai-nilai tasawuf tidak efektif Dalam praktiknya jalan tasawuf melibatkan pekerjaan, keluarga, dan pengalaman kehidupan sehari-hari lainnya. Sudah pasti banyak orang yang sudah menempuh jalan tasawuf tanpa Ia sadari. Para Guru Sufi besar memiliki beragam luas profesi. Beberapa dari mereka adalah pengrajin yang handal, seperti al-Aththar, seorang apoteker, Omar Khayyam, seorang pemintal tenda, al-Junaid al-Qawariri, seorang pandai kaca dan pengusaha produk-produk kaca. Sebagian lainnya adalah para pengusaha kaya dan pemilik tanah atau penasihat para sultan dan raja atau penguasa. Namun, semua sufi besar tersebut mampu memenuhi tugas mereka di dunia sembari mencari Tuhan. Maha Guru kami Syekh Dhiya al-Kurdi dianugerahi kekayaan tanah perkebunan sangat luas di wilayah tersubur Mesir, dan menghasilkan aneka ragam buah dan sayuran.
“Hidup di Dunia Tapi Tidak Untuk Dunia.”
Nilai-nilai sufistik mengajarkan untuk menggunakan tugas dan pengalaman kita sebagai bagian dari perjalanan spiritual, bukannya menjadikan pekerjaan duniawi sebagai penghalang bagi kegiatan spiritual kita. Maha Guru kami Syekh Muhammad Dhiya al-Kurdi mengajarkan untuk menjadikan setiap fenomena kehidupan dan alam sebagai media koneksitas hati dengan Allah secara berkesinambungan. Saya pernah mengantarkan beliau ke suatu tempat dimana harus melewati keramaian yang penuh dengan suara musik dan lagu-lagu populer tiba-tiba beliau mengatakan kepada saya “coba kamu dengar suara di latar belakang musik dan lagu tersebut yang mendengungkan irama Allah Allah Allah…”
Para sufi mengajarkan agar kita memenuhi tanggung jawab, bahkan melebihi masyarakat umumnya, dan bukan justru menghindari tanggung jawab duniawi. Sebab, kita berkewajiban untuk menggunakan kemampuan yang diberikan Tuhan dengan sebaik-baiknya. Seorang darwish adalah pekerja keras yang lebih giat dan jujur daripada yang lainnya. Seorang darwish berusaha untuk menjadi suami ataupun istri yang lebih baik, orang tua yang lebih baik, maupun anak yang lebih baik. Jiká kitä tidák dapat mencintai keluarga kita dan melayani atasan kita sebaik mungkin, maka bagaimana kita dapat mulai berpikir untuk mencintai dan melayani Tuhan?
Bagaimana mempraktekan jalan tasawuf yang membantu untuk mentauhidkan islam, iman dan ihsan? Dengan cara apa pula jalan tasawuf mengajarkan untuk mengaktifkan hati, dan menyelaraskan potensi-potensi diri dan jiwa dengan hati yang sudah aktif? Apakah cara yang ideal untuk menterjemahkan dan menjabarkan nilai-nilai tasawuf dalam kehidupan sehari-hari? Jawaban bagi semua pertanyaan ini ada pada praktik maqamat dan ahwal.
Filosofi maqamat dan ahwal berkisar pada maqam atau posisi hamba berhadapan atau berjalan seiring dengan Tuhan yang diperkuat dengan ahwal, yakni bisikan-bisikan ilahi yang menjadi support bagi hamba. Darwish berhadapan dengan Tuhan pada awal inisiasinya mengingat banyaknya penyesuaian yang harus ia lakukan agar nanti sampai pada posisi berjalan seiring (compatible) dengan Tuhan. Penyesuaian-penyesuaian terutama untuk mengaktifkan hati, mengaktifkan tingkat-tingkat kesadaran jiwa yang lebih dalam (insani, jiwa rahasia sirr, serta maharahasia sirr al-asrar), dan melakukan transformasi nafs ammarah menuju nafs muthmainnah. Dalam tradisi tasawuf kegiatan ini disebut takhalli, tahalli, dan tajalli. Transformasi nafs ammarah menjadi nafs muthmainnah adalah takhalli. Aktifasi potensi-potensi jiwa untuk memperoleh sifat-sifat ilahiyah (karakter ketuhanan —asmaul husna) adalah tahalli. Aktifasi hati dalam menyikapi setiap fenomena kehidupan dengan dasar cinta kasih adalah tajalli. Dalam psikologi sufi maqamat dan ahwal adalah kondisi kesadaran spiritual; jika masih dalam taraf temporer disebut ahwal dan jika menjadi stabil disebut maqam. Semakin stabil kondisi spiritual tersebut semakin mengakselerasi pembentukan karakater pribadi yang lebih positif. Tahapan-tahapan kesadaran spiritual bisa dirumuskan sebagai berikut:
Taubah — esensinya adalah Kesadaran Awal, yakni menyadari bahwa pencarian spritual lebih utama dan lebih bermakna daripada tujuan dan ambisi duniawi kita selama ini;
Sabar dan Syukur — berkembangnya kesabaran dan ketabahan adalah penting bagi perkembangan spiritual. Begitupula dengan sikap syukur. Seorang darwish merasa bersyukur dapat menerima ajaran-ajaran dan jalan sufi dapat memiliki kapasitas untuk mengikuti mereka.
Takut dan Harap — rasa takut akan kehilangan cinta dan Tuhan dan rasa keterikatan dengan-Nya memotivasi peningkatan kualitas seorang darwish. Yang juga penting adalah rasa optimisme — sebuah harapan bahwa selepas dan ujian-ujian, kita akan memperoleh kemajuan.
Pengendalian Diri dari Kefakiran — hal ini berarti menyangkal tuntuntan ego yang tak terpuaskan terhadap kenikmatan dan kekuasaan. Pada saat yang sama meningkatkan dedikasi terhadap pelayanan bagi orang lain daripada membanggakan diri sendiri. Seorang darwish selalu merasa fakir dalam arti tiadanya keterikatan atau ketergantungan terhadap kepemilikan. Ia juga berarti hati yang kosong dari segala macam hasrat kecuali harat akan Tuhan;
Tawakkal — pada tingkat ini, kita menyadari bahwa segala sesuatu yang kita miliki berasal dari Tuhan. Kita berserah diri kepada-Nya bukan kepada dunia ini;
Cinta, Rindu, Intim, dan Ridha — kita memiliki satu hasrat utama, untuk mencintai Tuhan, merindukan kehadiran-Nya, ridha hanya dengan Cinta Tuhan, dan tidak memiliki hasrat terhadap yang lain;
Niat, Tulus, dan Jujur — memperhatikan niat dan meningkatkan ketulusannya. Semakin meningkat maka semakin suci dan murni niat kita. Niat yang tulus dan jujur memberikan makna kepada segala tindakan kita;
Kontemplasi dan Pemeriksaan Diri – kapasitas ini tumbuh seiring dengan waktu. Menurut sebuah hadis terkenal, satu jam kontemplasi lebih bernilai daripada tujuh puluh tahun sembahyang;
Mengingat Mati — kita menyadari bahwa waktu kita terbatas. Karena itu, ia sangat berharga. Dunia tidak lagi memiliki daya tarik, dan sebagai darwish tingkat advance, kita sepenuhnya berbakti untuk mencari Tuhan. Abaraham Maslow, yang menemukan psikologi transpersonal, menunjukkan bahwa mengingat mati akan memunculkan ‘plateu experience’ sebuah keadaan dimana pengalaman kita tertransformasikan. Sabda Nabi Saw. “ingatlah selalu kematian..”
(disadur dan Robert Frager, Hati, Diri, & Jiwa, 2002: 35-37)