Kualitas Wali Itu Bertingkat-tingkat

Apa perbedaan yang spesifik di antara kedua tingkatan tadi?
Kalau walaayah haqqullah disebut kaum shaadiquun. Sedangkan waliyullah disebutnya sebagai shiddiiquun. Kalau mengacu pada pendapat Ibnu Taimiah sebagaimana tadi sudah kita singgung, kewalian secara umum itu baru konsisten menjalankan segala yang diperintahkan serta menjauhi segala larangan Allah. Belum sepenuhnya mengerjakan yang disunatkan, belum meninggalkan yang dimakruhkan. Nah, kalau kelompok shaadiquun itu, secara lahiriyah, mereka sudah istiqamah menjalankan yang disunatkan serta meninggalkan yang dimakruhkan. Adapun secara batiniyah, batinnya itu sudah terhubungkan dengan Allah. Dengan kata lain, kelompok shiddiiquun adalah mereka yang sudah mencapai esensi dari syari’ah. Artinya sudah sampai pada penyerahan diri secara total kepada Allah. Dia tidak menganggap bahwa dirinya punya kemampuan. Bahkan kesadaran eksistensialnya sudah sirna, sudah fana. Batinnya sudah mu’allqun billah, sudah terpaut erat dengan Allah. Sebaliknya, orang yang jauh dari Allah itu kan umumnya karena mereka menganggap dirinya punya kemampuan, menganggap dirinya punya eksistensi yang mandiri di luar Tuhannya.

Harus dibaca juga..

Lalu tingkatan berikutnya?
Tingkatan berikutnya, ada yang disebut al-muniibuun, yaitu orang-orang yang sudah senantiasa mengembalikan segala sesuatunya kepada Allah. Dia sudah berhasil menekan egonya, sudah dapat menekan kepentingan-kepentingan pribadinya, persepsinya tentang hal-hal duniawi sudah jernih. Orang seperti ini sudah mendekati karakter malaikat. Ada lagi yang disebut al-muqarrabuun, yaitu orang yang sudah benar-benar dekat dengan Allah. Kalau kita, misalnya kita ini betul memahami bahwa Allah itu dekat. Tetapi kita baru sampai pada taraf kognitif, tarap pemahaman. Betul saya tidak pernah mengubah pendirian saya bahwa Allah itu dekat. Saya yakin betul. Tetapi kita belum merasakan kedekatannya. Nah wali al-Muqarrabuun ini selalu dapat merasakan kedekatannya kepada Allah, dalam seluruh waktunya dan dalam sepanjang hidupnya.

Ada lagi tingkatan yang lebih tinggi dari yang tadi Anda sebutkan?
Yang lebih tinggi lagi adalah tingkatan al-munfariduun. Pada level ini berarti sang wali sudah mencapai tarap menyendiri bersama Tuhannya. Untuk dapat memahami tingkatan ini mungkin kita perlu analogi. Misalnya ada yang hendak bertamu kepada seseorang yang sudah dikenalnya. Kalau yang masih tergolong ‘am, kedekatannya itu kan baru pada taraf minimal. Saya kenal seseorang, saya tahu siapa namanya, saya tahu apa pekerjaannya, saya tahu bagaimana karakternya, saya tahu di mana rumahnya. Baru sebatas ini. Kalau pada level berikutnya, misalnya, o ya saya sudah sampai ke pekarangan rumahnya, bahkan saya sudah dipersilahkan masuk. Tapi kalau pada tingkat al-muqarrabuun, o saya bukan saja sudah dipersilahkan masuk, tapi saya sudah diajak ke ruang tengah. Saya sudah diajak berbicara. Hanya saja saya belum bertemu langsung dengannya. Sebab dia masih berada dibalik hijab. Nah, kalau tingkatan al-munfariduun, pemilik rumah sudah menampakkan diri. Bukan sekedar dekat bersamanya, tapi sudah berduaan dengannya.

Lalu apa puncak dari tingkatan kewalian itu?
Puncak dari tingkatan kewalian itu adalah khatmul walaayah. Ini juga yang disebut kutubul-auliya, poros tertinggi dari kewalian. Kalau pada tingkatan ini bukan sekedar berduaan. Kalau berduaan kan masih bisa dibedakan antara dirinya dengan Tuhannya. Jadi masih ada pemisah, aku dan Dia, atau aku dan Engkau. Sementara pada tingkatan ini antara hamba dan Tuhan itu sudah benar-benar menyatu, tidak ada lagi pemisah.

Siapa saja yang berada pada puncak kewalian ini?
Kalau berbicara tentang person, lagi-lagi tidak ada kata sepakat. Tapi umumnya ulama berpandangan bahwa pada setiap zaman itu ada wali kutubnya. Pengertian zaman di sini kurang lebih satu abad lamanya. Pada masanya Syekh Abdul Qadir Jaelani, beliau ini dipandang sebagai kutubul-auliya. Ada yang meniilai bahwa pada zaman itu juga sebenarnya ada sufi yang lain. Jadi kalau sudah berbicara pada person, bisa berbeda-beda. Ada yang berpandangan bahwa pada masa Ibnu Arabi, beliaulah wali kutubnya. Pada masa Abu Hasan As-Sazili, beliaulah wali kutubnya. Jadi kalau berbicara tentang konsep umumnya bisa sepakat. Tapi siapa yang memenuhi kriteria-kriteria pada setiap tingkatannya itu, nah itu yang tidak sepakat.

Derajat kewalian itu kan pada hakikatnya merupakan kualitas hubungan personal antara hamba dengan Tuhannya. Lantas, mengapa kemudian ada identifikasi bahwa si A itu adalah wali. Bagaimana kita dapat mengetahuinya?
Ya, betul, derajat kewalian itu menyangkut essensi keberagamaan yang bersifat pribadi dan berdimensi batini. Karena itu ada kelompok ulama yang berpandangan bahwa la ya’lamul-waliyya illal-waliyyu. Artinya, tidak ada yang dapat mengetahui bahwa seseorang itu wali, kecuali seorang wali juga.

Next Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Top Stories

ADVERTISEMENT

Login to your account below

Fill the forms bellow to register

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.