Contoh simple, ketika saya bertemu dengan Romo Yai Asrori, ketika beliau menjelaskan masalah ini. Beliau bilang, “Gampang ngukur orang itu sabar atau punya ilmu tentang sabar. Kalau ada kyai cerita tentang kesabaran, coba buang sandalnya. Kalau kemudian dia marah, berarti dia baru punya ilmu sabar, tetapi belum sabar”.
Jadi batasnya sandal ya, ha..ha..
Lha iya. Apalagi kalau kyai itu sambil marah mengatakan, “Kamu bisa dilaknat Allah, sandalnya kyai dibuang!”, Ya itu, semakin menjustifikasi kemarahannya dengan dalil. Jadi dalam kaitan ini, maka orang tidak menjadi mudah dalam mengukur orang lain. Karena ukuran-ukuran substantif itu menjadi lebih esensial dalam tasawuf, daripada ukuran formal. Bisa jadi orang itu tidak bisa mengeluarkan satu dalilpun tentang tasawuf, tetapi bisa jadi ruhaninya sampai pada Allah. Orang-orang tua yang tulus mencarikan rejeki untuk anak-anaknya dengan penuh kesabaran. Meskipun anaknya kuliah dan master dalam bidang ketasawufan, belum tentu dia bisa mengalahkan kesabaran bapak-ibunya.
Nah menurut saya, itu yang membuat Imam al-Ghazali mengatakan, sesungguhnya yang disebut ilmu ladunni dalam definisi luas, itu ya semua bentuk kesadaran batin yang mengantarkan orang untuk konsisten kembali kepada Allah. Termasuk sabar, sebenarnya bagian dari mawahid. Kalau orang tidak diberi kesadaran ya nggak akan bisa. Jadi kalau hadits Rasul mengatakan idza ahabballahu ‘abdan ibtalaahu wa idzabtalaahu shobbaraahu. Kalau Allah sayang kepada seorang hamba-Nya, maka ia akan dicoba, tapi ia dijadikan sabar oleh Allah. Kalau sudah sabar, innallaha ma’a al-shabirin.
Bagaimana anda memaknai tugas sebagai guru, dalam sistem pendidikan yang sebenarnya membuat para guru hanya fungsional, cari pekerjaan?
Ya benar. Dan saya tahu kita mengerti benar bagaimana hakikat mendidik dalam Islam. Tentu saja Sayyidina Ali mensyaratkan ada keikhlasan, tapi ya bagaimana wong sekarang ini anak-anak kuliah itu nyari nilai. Nah itu kan masalahnya.
Ya. Dan ketika masuk harus diabsen, sehingga absen itu lebih penting dari ilmunya kan. Saya kira perjuangan yang sangat berat bagi orang yang memahami benar posisi pendidik, akan sepakat dengan Imam al-Ghazali di kitab Risalah, bahwa sesungguhnya pendidik itu seperti dokter, dan anak-anak itu pasien yang mengalami sakit. Yakni sakit ruhani yang terjadi karena pengalaman-pengalaman negatif setelah fitrah. Karena fitrah itu suci. Imam al-Ghazali mengatakan kesucian fitrah itu bima’na ahlul ma’rifah.. Bahkan semua orang menurut Imam al-Ghazali punya kemungkinan untuk ma’rifat, tentu dalam skala yang berbeda, dan kualitas berbeda. Tetapi karena kemudian tarikan nafsu, syahwat, ghodlob, ketertarikan dunia, dsb membuat noktah-noktah hitam semakin banyak. Ini membuat orang terjebak dalam sakit, dan tidak seorangpun lepas dari penyakit ruhani itu. Termasuk sang guru.
Maka sebenarnya guru harus belajar menyembuhkan dirinya. Dan dia harus punya guru, karena kalau dia nggak punya guru, konsultasinya sama siapa. Karena orang yang tidak punya guru akan cenderung menyebut baik dirinya. Dan tentu saja, pengalaman sebaik-baiknya dari eksperimentasi sendiri, itu tidak akan lebih baik dari kesimpulan yang diambil dari sekian ribu guru yang sudah terwarisi, dan sudah disarikan dalam tradisi thariqah.
Saya tetap mengatakan bahwa seharusnya kalau kita bicara tasawuf yang hakiki, pasti tidak ada jalan selain thariqah, dan harus ada mursyid. Kalau kita bicara tentang posisi guru yang hakiki ya mursyid thariqah saya kira. Hanya persoalannya, mencari mursyid yang hakiki juga tidak mudah.
Tentang mursyid itu saya kira berat sekali persyaratannya. KH Hasyim Asy’ari misalnya dalam ad-Duratul Muntatsirah, memberi syarat mursyid itu harus mutabakhir, ilmunya melaut. Dia harus ahli fiqh, tafsir, hadist, dan syarat yang paling berat adalah dia harus waashil ilallah (sudah sampai kepada Allah). Kalau dia tidak menguasai fiqh, tafsir, hadist, dan tidak waashil, KH Hasyim menyatakan, berada diluar thariqah lebih baik daripada didalam thariqah (tidak perlu jadi Mursyid). Tapi kalau ketemu orang seperti itu, maka didalam thariqah (tetap menjadi murid thariqah saja) lebih baik daripada diluar thariqah. Hanya bagi saya, meskipun ini belum ada penelitian, tapi saya sangat yakin, bahwa guru sufi, saya tidak pernah menemukan guru sufi yang tidak cerdas. Jarang sekali ada mursyid yang tidak kokoh dalam berbagai keilmuan.
Apakah guru sekolah bisa menjadi mursyid?
Nah persoalannya itu. Apakah guru dalam pendidikan formal bisa menjadi mursyid? Terlalu berharap banyak kalau kita memberi syarat seperti itu. Guru itu bisa konsisten dengan standar akhlak yang standar saja, itu sudah baik. Guru itu bisa memberi contoh untuk tidak rakus ketika makan, tidak gampang marah, benar-benar berfungsi sebagai bapak bagi anak didiknya, itu sudah bagus. Kalau kita tuntut untuk menjadi mursyid, itu terlalu tinggi. Meskipun saya berupaya untuk melakukan itu. Tapi menurut saya butuh usaha keras. Ada satu hal yang menarik, ketika saya memberikan pelajaran tentang pemikiran ulama Indonesia. Waktu itu selesai mengkaji tentang Sultan Hasanudin Banten. Saya ingin ngajak anak-anak ke Banten, supaya mereka tahu kondisi di lapangan. Ternyata, ketika saya pinjam kendaraan ke fakultas, fakultas nggak mau menfasilitasi. Jadi saya berpikir, pendidikan itu tidak sekadar formalistik, dan tidak betul-betul membentuk keruhanian anak yang baik. Itu yang membuat saya mengambil keputusan, harus berjalan sendiri. dan karena itu akhirnya, forum tersebut saya alihkan ke rumah. Karena menurut saya kita tidak bisa berharap banyak dari model sistem sekolah.