Syeikh Abu Nashr As-Sarraj
Syekh Abu Nashr as-Sarraj —rahimahullah— berkata: Saya pernah mendengar Abu al-Hasan Muhammad bin Ahmad ketika di Basrah, yang mengatakan: Saya mendengar ayah saya berkata:
Saya telah melayani Sahl bin Abdullah selama enam puluh tahun dan saya tidak pernah melihat adanya perubahan pada dirinya ketika ia mendengar dzikir, bacaan al-Qur’an dan sebagainya.
Tapi ketika menjelang akhir hayatnya, ada seseorang membacakan ayat berikut ini:
“Maka pada hari ini tidak diterima tebusan dari kamu dan tidak pula dari orang-orang kafir. Tempat kamu ialah neraka. Dialah tempat berlindungmu. Dan dia adalah sejahat-jahat tempat kembali.” (Q.s. al-Hadid: 15).
Saya melihatnya gemetar dan hampir terjatuh. Ketika ia kembali sadar, saya tanyakan hal tersebut, lalu ia menjawab, “Ya, wahai saudaraku, saya sudah lemah.”
Ibnu Salim menceritakan dari ayahnya yang mengatakan: Suatu ketika saya pernah melihat Sahl bin Abdullah, sementara saya berusaha menghangatkan tubuh dengan api yang ada di depannya. Kemudian salah seorang muridnya membacakan surat al-Furqan, dan ketika sampai pada ayat:
“Kerajaan yang hak pada hari itu adalah kepunyaan Tuhan Yang Maha Pemurah.” (Q.s. al-Furqan: 26).
Ternyata ia tiba-tiba gemetar dan hampir terjatuh. Lalu saya menanyakan hal itu, sebab sebelumnya saya tidak pernah mengenal kondisi yang terjadi seperti itu. Akhirnya ia menjawab, “Saya sudah lemah.”
Saya juga pernah mendengar Ibnu Salim berkata: Saya pernah mengatakan kepada Sahl bin Abdullah —rahimahullah— suatu pembicaraan yang maknanya adalah berikut, “Apabila maksud dan apa yang Anda katakan, bahwa kondisi spiritual Anda sudah lemah, Anda maksudkan perubahan pada diri Anda dan gemetar yang terjadi pada diri Anda, lalu apa yang menjadikan kondisi spiritual itu kuat?” Maka ia menjawab, “Setiap kali ada warid yang datang kepadanya mesti akan ditelannya dengan kekuatan kondisi spiritualnya. Oleh karenanya warid apa pun yang datang kepadanya tidak sanggup mengubahnya sekalipun ia sangat kuat.”
Syekh Abu Nashr as-Sarraj —rahimahullah— mengatakan: Oleh karenanya, merupakan landasan dasar dalam ilmu adalah apa yang pernah dikemukakan Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. tatkala mendengar seseorang menangis ketika membaca al-Qur’an, “Demikianlah kita, sehingga hati kita keras.” Yakni kuat dan kokoh, maka tidak terjadi perubahan apa pun ketika telinga kita terketuk oleh macam sama’ apa pun, sebab kondisi spiritualnya sebelum dan sesudah sama’ adalah sama.
Sementara itu menurut makna yang lain adalah, bahwa Sahl bin Abdullah —sebagaimana yang diceritakan— pernah berkata, “Kondisi spiritual saya ketika sedang shalat dan sebelumnya adalah sama.” Itu disebabkan ia selalu memelihara hatinya dan selalu muraqabah kepada Allah Swt. dengan rahasia hatinya sebelum ia shalat dan ketika melakukan shalat ia tetap muraqabah kepada Allah dengan menghadirkan hati dan mengumpulkan seluruh niatnya. Maka ketika ia sedang shalat kondisinya sama dengan sebelum shalat. Sehingga kondisi spiritualnya sebelum dan ketika sedang shalat adalah satu kondisi. Demikian halnya kondisi spiritualnya sebelum dan sesudah sama’ adalah dalam kondisi yang sama. Maka sama’ dan wajd-nya selalu berkesinambungan, ia selalu haus dan selaalu minum, semakin banyak minum maka akan semakin haus, dan ketika semakin haus maka akan semakin banyak minum, sehingga tidak akan pernah terputus untuk selamanya.
Saya pernah mendengar Ahmad bin Ali al-Karaji, yang lebih dikenal dengan panggilan al-Wajihi mengatakan: Sekelompok kaum Sufi sedang berkumpul di kediaman Hasan al-Qazzaz, dan di antara mereka terdapat orang-orang yang baik dalam mengungkapkan kata-kata (penyair), mereka saling mengungkapkan kata-kata dan berusaha untuk bisa wajd. Mereka selalu diawasi oleh Mumsyadz ad-Dinawari. Ketika mereka melihatnya maka seluruhnya diam. Lalu Mumsyadz berkata, “Mengapa kalian diam? Teruskan apa yang sedang kalian lakukan, andaikan seluruh hiburan dunia diperdengarkan di telingaku, maka hal itu tidak akan sanggup mengganggu kekuatan niatku dan tidak bisa menyembuhkan apa yang ada pada diriku.”