Jalan Ma’rifat
Kang Soleh kelihatan agak malas-malasan pagi itu.
Ia tampak santai tanpa beban. Pardi yang duduk
di dekatnya tak banyak bergeming juga, apalagi
Dulkamdi.
“Habis sakit, Kang?” tanya Dulkamdi membuka
kebekuan.
“Hah? Masak kelihatan begitu, Dul?,” kata Kang Soleh.
“Lha, nggak seperti biasanya, angker, semangat,
serius, kontroversial, apa saja lah…”
“Lagi males, Dul…”
“Lha iya, males kan juga pekerjaan juga lho, Dul,”
timpa Pardi sambil senyum-senyum.
Ketiganya lalu meledakkan tawanya. Untuk
meneruskan candarianya, masing-masing tiga sahabat itu
saling bercerita tentang hal-hal yang lucu yang dialami
selama seminggu ini. Ceritanya tidak ada yang serius, tapi
cukup bisa mencairkan ketegangan-ketegangan jiwa. Sebab
kata Kiai Mursyid, orang berdzikir saja tidak boleh seperti
orang ngejan (ngeden, Jawa), nanti bisa ambeien hatinya.
“Kang, jalan ma’rifatullah itu apa sih, Kang? Sekarang
ini kok banyak menawarkan kema’rifatan di mana-mana?”
tanya Dulkamdi mulai serius. Tapi Kang Soleh santai-santai
saja.
“Jalan yang kelihatannya jalannya panjang dan berliku,
padahal lebih dekat dan lebih gampang dari bayanganbayangan kita, Dul.”
“Maksudnya gimana sih, Kang? Kok semakin panjang
dan berliku?”
“Begini lho, Dul, santai saja. Jalan ma’rifatullah sudah
jelas, lempeng menuju Allah. Tapi kalau jalan itu kamu
tempuh dengan dirimu sendiri, caramu sendiri, sistemmu
sendiri, akan panjang tak berujung dan liku-liku naik turun
penuh jurang…”
“Jadi?”
“Ya, berjalanlah ke Jalan Allah Swt, bersama Allah Swt,
menuju Allah Swt. Bukan bersama dirimu, dengan dirimu,
menuju kepentingan dirimu. Masih mentok nantinya…”
Pardi dan Dulkamdi merenung lama. Lalu Kang Soleh
berkisah tentang sang Arif yang ditanya, “Apa jalan ma’rifat
pada Allah itu?”
“Allah Swt tidak dikenal dengan segala sesuatu. Tetapi
segala sesuatu dikenal melalui Allah Swt, sebagaimana Dzun
Nuun al-Mishry ra. mengatakan, ‘Aku mengenal Allah Swt,
melalui Allah Swt, dan mengenal selain Allah Swt, melalui
Cahaya Allah Swt.’” Jawabnya.
Nabi Ibrahim as, bermunajat, “Ilahi, jika bukan karena
Engkau, bagaimana aku mengenal siapa DiriMu…?”
Hal senada juga disampaikan Rabiah al-Adawiyah,
ketika bertanya kepada Dzun Nuun al-Mishry ra, “Bagaimana
engkau kenal Allah?”
“Allah Swt melimpahi rizki rasa malu padaku, dan
memberikan pakaian muroqobah padaku. Ketika aku susah
dengan musibah, aku mengingat kebesaran Allah Swt, lalu
aku sangat malu padaNya…”, jawab Dzun Nuun.
“Nah, sekarang ini banyak orang menempuh jalan
ma’rifat, sedangkan ia sendiri tidak kenal ma’rifat, apalagi
mengenal Yang Di-ma’rifati (Allah), ini bisa kesandungsandung iman kita. Pokoknya kalau isinya serba instan, serba
menggiurkan, dan berselera sama dengan nafsu kita, nah itu
pasti bukan Jalan Ma’rifatullah.” lanjut Kang Soleh.
“Ya, Kang banyak yang menawarkan jalan pintas
ma’rifat, jadinya melah tersesat…”
“Yang jalannya bener saja kadang bisa tersesat,
apalagi jalannya yang salah ya, Kang?” timpa Pardi.
“Benar kamu, Di. Di antara istidroj yang menimpa
kaum arifin adalah memandang ke-ma’rifatan-nya, bukan
memandang Yang Di-ma’rifati…”
”Weh weh weh, ini dalam banget, Kang.”
“Makanya kamu rajin-rajin ikut ngaji ke Pak Kyai, biar
kamu nggak jadi katak dalam tempurung. Kata katak dalam
tempurung sudah mencapai ma’rifat, rupanya baru pada
tempurung nafsunya saja… Hehehe…”
Pardi dan Dulkamdi tertawa. “Huss jangan ketawa,
kamu bisa takabur nanti….” tegur Kang Soleh.
Mereka tampak merenung, apakah sedang
membayangkan ma’rifatullah, atau sedang melamun.
Wallahu’alam. (dari buku Kedai Sufi JALAN MA’RIFAT oleh KHM Luqman hakim)