Syekh Abu Nashr As-Sarraj
Syekh Abu Nashr as-Sarraj —rahimahullah— berkata: Dikisahkan dari asy-Syibli, bahwa suatu ketika ia pernah berkata kepada sahabat-sahabatnya, “Wahai kaum, aku lewat sesuatu yang tidak memiliki arah belakang, maka aku tak melihat kecuali
belakang. Aku berjalan ke kanan dan ke kiri ke arah yang tak memiliki arah belakang, maka aku tak melihat kecuali belakang. Kemudian aku kembali dan aku melihat semua ini dalam bulu yang ada di jari kelingkingku.”
Isyarat yang ia katakan ini menjadi suatu kemusykilan bagi sahabat-sahabatnya.
Syekh Abu Nashr as-Sarraj —rahimahullah— berkata: Apa yang ia katakan ini memberi isyarat kepada alam — dan hanya Allah Yang Mahatahu. Sebab Kursi dan ‘Arasy adalah makhluk yang juga barang baru. Dan di belakang dunia ini tak ada lagi belakang. Di bawahnya juga tak ada lagi bawah yang tak terbatas. Tak seorang makhluk pun yang mampu memberikan batas dan menjelaskan sifatnya kecuali dengan apa yang telah diterangkan oleh Allah. Ilmu makhluk pun tidak akan mampu menggapainya. Dan hanya Sang Penciptanya sendiri Yangtahu dan mengerti akan hal itu.
Kemudian asy-Syibli berkata, “Kemudian aku kembali dan aku melihat semua ini dalam bulu yang ada di jari kelingkingku.” Maksudnya, bahwa kekuasaan Sang Mahakuasa dalam menciptakan seluruh jagat raya ini dan menciptakan seutas bulu yang ada di jari kelingking adalah sama dan tak ada bedanya.
Bisa juga dimungkinkan bahwa ucapan tersebut memberi isyarat, bahwa seluruh jagat raya dan semua yang diciptakan Allah meskipun jaraknya sangat jauh dan ukurannya sangat besar, namun bila dibanding dengan Kebesaran Sang Pencipta adalah sangat kecil, dan hanya seperti seutas bulu yang ada dijari kelingking bahkan lebih kecil dari itu.
Juga dikisahkan, bahwa asy-Syibli pernah berkata: “Jika aku berkata demikian, maka itu adalah Allah, jika aku berkata demikian maka itu adalah Allah. Dan aku hanya berharap dari-Nya sebesar atom.” Ungkapan ini tampaknya memberi isyarat pada firman Allah Swt.:
“… dan tidakpula lebih dari itu, kecuali Dia akan bersama mereka di manapun mereka berada.” (Q.s. al-Mujadalah: 7).
Sesungguhnya Dia selalu hadir dan tidak pernah absen (tidak hadir), Dia berada di segala tempat, tapi tidak ada ruang dan tempat yang cukup untuk-Nya dan tak ada tempat yang kosong dari Nya.
Sedangkan ucapannya, “Dan aku hanya berharap dari-Nya sebesar atom.” Itu berarti bahwa makhluk terhalang dari-Nya dengan Sifat-sifat dan Nama-nama-Nya. Sedangkan apa yang Dia berikan bukanlah Nama dan Sebutan-Nya, sebab mereka tak akan sanggup melakukan lebih dari itu.
Dalam hal ini asy-Syibli mengatakan dalam sebuah syair:
Aku katakan:
tidakkah mereka telah kosongkan kitabku
Ia menjawab, “ya”. kukatakan maka cukuplah itu
la juga mengatakan:
Tidakkah sebuah kebahagiaan
jika kau berada kau berada di dalam negerimu sendiri.
la juga melantunkan syair yang lain:
Suatu hari Kau naungi kami dengan mendung
kilatnya bersinar dan penangkalnya lambat
Awan tak tersingkap hingga tak putus asa orang yang mengharap
Tidak juga airnya turun hingga bisa menyegarkan orang yang haus
Asy-Syibli —rahimahullah— berkata: Aku menulis Hadis dan Fiqih selama tiga puluh tahun hingga menyingsing waktu Shubuh. Lalu aku datang pada orang-orang yang aku mengambil referensi darinya dan aku katakan, “Aku ingin fiqih Allah Swt.” Namun tak seorang pun yang menjawabku.
Makna ucapan asy-Syibli, “… hingga menyingsing waktu Shubuh.” Yakni cahaya-cahaya hakikat dan pendakian ruhani yang diharapkan dan hakikat fiqih, ilmu dan ma’rifat itu bisa tampak jelas.
Sedangkan makna ucapannya: “Berikan padaku fiqih tentang Allah.” adalah memahami dan mendalami ilmu kondisi spiritual yang terjadi antara hamba dengan Allah dalam setiap saat dan hembusan nafas.
Syekh Abu Nashr as-Sarraj berkata: Asy-Syibli bertanya kepada al-Junaid. “Wàhai Abu al-Qasim. Bagaimana pendapat Anda tentang orang yang menjadikan Allah cukup sebagai pelindungnya baik secara ucapan maupun hakikat?” Al-Junaid menjawab, “Wahai Abu Bakar. antara Anda dengan tokoh-tokoh umat dalam pertanyaan Anda ini ada sepuluh ribu maqam (kedudukan spiritual). Sementara yang paling awal adalah menghapus apa yang dengannya Anda memulai.”
Makna apa yang diucapkan asy-Syibli adalah bahwa al-Junaid mengawasi kondsi spiritual asy-Syibli berkat ilmu dan kemapanannya. Maka asy-Syibli menutupi apa yang dikhawatirkan bahwa apa yang dikatakan itu hanya sekadar mengaku. Sebab orang yang menjadikan Allah cukup untuk segala-galanya maka ia tidak perlu bertanya. Maka pertanyaan asy-Syibli di sini menggambarkan kedekatannya dengan apa yang ada sana.
Demikian pula aku pernah mendengar Ibnu ‘Ulwan berkata:
“Al-Junaid pernah berkata: Asy-Syibli telah berhenti di tempatnya dan ia tidak melanjutkan perjalanan ruhaninya lagi. Andaikata ia terus mendaki maka akan ada Imam dari dirinya.”
Abu Amr berkata: “Mungkin saja asy-Syibli pernah datang pada al-Junaid, kemudian bertanya tentang suatu masalah, tapi al-Junaid tidak menjawabnya dan malah berkata, “Wahai Abu Bakar, ini karena kasihan terhadap diri Anda dan kekokohan jiwa Anda. Sebab gemetar, gelisah, rasa jengkel, pendek akal dan ucapan yang di luar kontrol bukanlah termasuk kondisi spiritual orang-orang yang mapan dan kokoh. Ini hanya pantas untuk para pemula dan mereka yang masih memiliki keinginan (iradah).”
Juga dikisahkan dari asy-Syibli, bahwa al-Junaid pernah berkata. “Wahai Abu Bakar, apa yang kau katakan itu?”
Aku menjawab, ‘Aku mengatakan, Allah’.”
Kemudian berkata, “Berlalulah. Semoga Allah memberimu keselamatan.”
Al-Junaid bermaksud. bahwa Anda (asy-Syibli) berada dalam posisi yang sangat berbahaya. Jika Allah tidak menyelamatkan Anda dalam ucapan Anda, ‘Allah’. kemudian Anda masih memperhatikan apa yang selain Allah. maka betapa jeleknya kondisi spiritual Anda saat itu.
Asy-Syibli berkata, “Seribu tahun yang telah silam berada dalam seribu tahun yang akan datang. Itulah waktu, makajangan sekali-kali Anda tertipu oleh bayang-bayang.”
la juga berkata, “Waktu kalian itu terputus. Sedangkan waktuku tak memiliki dua sisi.”
Mungkin ia sedang syathah dan kemudian berkata: “Aku adalah waktu, waktuku sangat agung. Dan tak ada dalam waktu itu selain aku. Dan aku benar.”
Ia melantunkan dua bait syair berikut:
Kokoh dalam muamalahnya
kokoh lagi terjaga kebenaran, dijaga yang menentramkan
Melambunglah keagungan, maka menjadi agung
lenyap sudah keyakinan dalam arus keyakinan
Mungkin ia ingin mengatakan, “Aku melihat dalam setiap kemuliaan, ternyata kemuliaanku semakin bertambah mengalahkan mereka. Aku melihat kemuliaan mereka dalam kemuliaanku.” Kemudian ia membaca:
“Barangsiapa menghendaki kemuliaan, maka bagiAllahlah kemuliaan itu semuanya.” (Q.s. Fathir: 10).
Kemudian ia mengatakan: “Barangsiapa merasa mulia dengan Pemilik kemuliaan, maka Pemilik kemuliaan berhak untuknya.”
Syekh Abu Nashr as-Sarraj berkata: “Adapun ucapannya, tentang waktu, itu mengisyaratkan pada nafas yang terjadi di antara dua nafas, bersitan hati yang terjadi di antara dua kali bersitan. Sebab itu terjadi dengan Allah dan untuk Allah. Inilah sebenarnya waktu itu. Jika sekali hembusan nafas berlalu begitu saja, meski dalam seribu tahun maka ia telah kehilangan satu kali nafas dan tak akan bisa didapatkan kembali lagi meski menyesal berkali-kali.”
Yakni, seribu tahun yang telah berlalu dengan seribu tahun yang akan datang, Anda selalu berada di antara dua kali hembusan nafas, dan itu seharusnya jangan sampai hilang sia-sia.
Orang yang mulia adalah orang yang dimuliakan Allah, sehingga tidak ada orang lain yang sanggup menyusul kemuliaan yang diberikan-Nya. Sebaliknya, orang yang hina adalah orang yang dijadikan sibuk oleh Allah untuk mengurusi selain Allah, sehingga melupakan-Nya, dan tak seorang pun yang akan bisa sama dengan tingkat kehinaannya.
Adapun makna ucapan asy-Syibli, “Jangan sekali-kali Anda tertipu oleh bayang-bayang.” Maksudnya bahwa segala sesuatu selain Allah adalah bayang-bayang semu. Jika Anda cenderung kepadanya maka ia benar-benar telah menipu Anda.
Sedangkan ucapannya “Aku benar.” yaitu dalam ucapannya “Aku adalah waktu, aku adalah benar.” Sebab ucapannya, “Dengan hal itu aku tidak mengisyaratkan kepada-Nya.”
Ucapannya, “Waktuku tidak memiliki dua sisi.” maksudnya, bahwa pada segala sesuatu itu bisa ditoleransi kecuali pada waktu. Sebab jika seseorang menyibukkan diri dengan selain Allah dan cenderung kepada segala apa yang diciptakan Allah, diukur dalam waktu maka hal itu tidak bisa ditolerir sekalipun hanya satu hembusan nafas dalam seribu tahun.
Dikisahkan dari asy-Syibli —rahimahullah— yang pernah berkata, “Allah, jika Engkau tahu bahwa dalam diriku masih tersisa sesuatu selain Engkau maka bakarlah aku dengan api-Mu. Tak ada Tuhan selain Engkau.”
Kejadian-kejadian seperti ini merupakan kondisi spiritual yang telah terkuasai oleh wajd, dimana ia berusaha mengungkapkannya sesuai dengan apa yang didapatkan pada waktu ia sedang wajd. Dan ini tidak terjadi terus-menerus, karena hal itu merupakan kondisi spiritual. Sementara kondisi spiritual adalah kejadian spontanitas yang terjadi pada seorang hamba sewaktu-waktu dan tidak terus-menerus. Ini merupakan belas kasih Allah yang diberikan kepada para wali-Nya dan orang-orang pilihan-Nya. Sebab jika hal ini terjadi terus-menerus maka aturan hukum dan batas-batas ketentuan Allah tidak dapat mereka lakukan, sehingga mereka tidak bisa berperilaku dengan adab kesopanan, akhlak dan tidak akan sanggup bermuamalah dengan sesama makhluk.
Tidakkah Anda perhatikan, bagaimana sahabat-shabat Nabi bertanya tentang hal itu kepada beliau, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ketika kami berada di hadapanmu dan mendengar apa yang engkau ucapkan, hati kami menjadi lembut dan sensitif. Namun saat keluar dari sisimu kami kembali disibukkan dengan urusan keluarga dan anak-anak.” Maka Rasulullah saw. bersabda, “Andaikan kalian tetap seperti kondisi saat bersamaku niscaya para malaikat akan berjabatan tangan dengan kalian.”
Disebutkan dan asy-Syibli —rahimahullah— yang pernah berkata, “Andaikata dalam benakku pernah terlintas bahwa Neraka Jahim dengan nyala apinya bisa membakar seutas rambutku maka aku benar-benar syirik.”
Maka demikianlah pendapat kami, bahwa Jahannam tidak punya kemampuan untuk membakar, karena ia hanyalah menjalankan perintah. Panas yang bisa dirasakan oleh penghuni neraka adalah sesuai dengan apa yang Allah bagikan pada mereka.
Juga dikisahkan, bahwa ia pernah berkata, “Apa yang bisa aku lakukan dengan Neraka Lazha dan Saqar?” Menurut pendapatku, bahwa Lazha dan Saqar, Anda bisa tinggal di dalamnya, yakni dalam terputus dengan Allah dan berpaling dari-Nya. Sebab orang yang ma’rifat dengan-Nya akan lebih tersiksa bila ia terputus dengan-Nya daripada disiksa dengan Lazha dan Saqar.
Disebutkan bahwa ia pernah mendengar seorang membaca ayat al-Qur’an berikut:
“Tinggallah dengan hina di dalamnya dan janganlah kamu berbicara denganku.” (Q.s. al-Mu’minun: 108).
Maka asy-Syibli berkata, “Andaikan aku adalah salah seorang dari mereka.” Sepertinya ia memberi isyarat akan jawaban Allah pada mereka. Makanya ia mengatakan andaikan aku termasuk orang yang mendapat jawaban, meskipun aku di dalam neraka. Ini semata karena rasa takutnya. Sebab ia tak tahu apa yang telah ditetapkan sebelumnya, apakah ia termasuk orang yang bahagia atau celaka, atau termasuk orang yang Allah berpaling darinya atau termasuk orang yang disambut oleh Allah.
Disebutkan juga bahwa di majelisnya ia pernah berkata, “Sesungguhnya Allah memiliki hamba-hamba yang andaikata mereka berludah di Jahannam maka akan memadamkan apinya.” Ungkapan ini sangat sulit ditangkap oleh orang-orang yang mendengarnya.
Diriwayatkan dari Rasulullah yang pernah bersabda, “Di hari Kiamat nanti, Neraka Jahannam akan berkata kepada orang mukmin, ‘Menyeberanglah engkau. Sesungguhnya sinarmu telah memadamkan baraku’.” (H.r. ath-Thabrani dan Abu Nu’aim dari Ya’la bin Munabbah dan dari Jabir bin Abdullah).
Dan masih banyak hal yang diceritakan dari asy-Syibli yang serupa dengan kisah-kisah di atas, yang tidak perlu disebutkan semua, untuk menghindari berlarut-larut dan semakin banyak. Sehingga orang yang berakal cukup dengan yang sedikit ini bisa dijadikan petunjuk pada yang masih tersisa banyak. Semoga Allah memberi taufik kepada kita.