EPISTEMOLOGI SUFISTIK

(Pendekatan Dekonstruktif) Oleh Dr. M. Luqman Hakim
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah dala Islam secara total (utuh)” (Al-Baqarah 208). (Masuklah ke dalam pengetahuan Islam melalui piranti epistemology Islamy, Imany dan Ihsany, dan itulah totalitas)

Harus dibaca juga..

 Refleksi I

Agama (Islam) yang telah menyempurnakan agama Samawi terdahulu, berarti juga menjawab kegelisahan seluruh persoalan manusia, ketidaktahuan atas kebenaran yang hakiki, baik bagi yang beragama maupun yang tidak beragama.
Secara psikhologis, kegelisahan dan ketakutan senantiasa bertumpu pada :

  1. Keraguan secara intelektual dan spiritual atas pandangan hidup yang diyakini.
  2. Kebodohan yang dijadikan pijakan tradisi secara membabi buta.
  3. Warisan sejarah peradaban dan budaya yang buruk, yang diyakini sebagai kebenaran.
  4. Ketakutan atas ancaman-ancaman tradisonal, sekaligus menutup secara ketat terhadap harapan masa depan yang terbuka.
  5. Relativitas metodologi yang dijadikan doktrin-doktrin final dalam proses meraih kebenaran sejati. Sehingga muncul ketidakjelasan pembagian kerja fungsional dalam diri manusia secara eksistensial, substansial maupun esensial.

Refleksi 2
Ketidak mampuan memahami siapa diri sendiri (darimana, kemana, dengan siapa, untuk apa, dalam apa, dengan cara bagaimana, dan akhirnya harus bagaimana?); apa alam semesta fisik maupun metafisik ini, dan siapakah Tuhan itu? Apa pula hubungan organis masing-masing?
Islam memberikan jawaban melalui ajaran agama yang merespon ketakutan dan kegelisahan itu secara paripurna melalui pembagian wilayah Tiga Besar, yang masing-masing berapresiasi dalam bidang-bidang yang sangat fundamental, dan instrumental bagi kehidupan manusia. Ketiga-tiganya, memiliki tumpuan subyek Ilmu Pengetahuan yang senantiasa hidup meliputi eksistensi, dan esensinya (ilmu, amal, ahwal).

Ketiganya adalah:
1. Islam
2. Iman
3. Ihsan.

Islam dalam perspektif Epistemologis bersenayawa dengan Ilmul Yaqin; Iman bersenyawa dengan ‘Ainul Yaqin; dan Ihsan Bersenyawa dengan Haqqul Yaqin.

Refleksi 3
Dari sumber air yang sama, sebuah pohon tumbuh dari biji. Namun dari biji itu ada yang tumbuh menjadi , akar tonggak pohon, batang pohon, cabang pohon, ranting pohon, daun, bunga dan buah. Masing-masing memiliki sari esensi, fungsi dan manfaat, yang satu sama lain secara organis tak terpisahkan. (Ada pohon Ilmu Pengetahuan, ada pohon Syari’at, ada pohon Ma’rifah, ada pohon Tauhid, ada pohon Hakikat Kehidupan)

Refleksi 4
Ilmu pengetahuan senantiasa berhubungan langsung dengan nama, sifat dan zat. Hubungan yang terklasifikasi di kemudian dengan kategori-kategori struktur nama, esensi nama, dan organism nama. Begitu juga dalam struktur sifat, jenis sifat, dan esensi sifat. Bagaimana pula manifestasi antara nama dan sifat itu, yang disebut sebagai dzat. Inilah yang terpantul dalam struktur pengetahuan yang menyelubungi instrumen-instrumen dalam diri manusia, yang secara paripurna dihadirkan dalam presentasi agama (Islam) .

Refleksi 5
Ilmu melahirkan kata, kata melahirkan gerakan, gerakan melahirkan budaya dan beradaban. Apakah ilmu itu lahir dari cahaya atau dari kegelapan, sangat menentukan kata dan gerakannya, bahkan menentukan budaya dan peradabannya, apakah gelap atau terang.

Refleksi 6
Sumber Ilmu adalah Ahludz Dzikr, dan sumber Ahludz Dzikr adalah Laa Ilahaa Illallaah, dan sumber Laa Ilaha Illallah adalah Tauhid, sumber Tauhid adalah Nuur, bersumber pada Nuur al- Asma’, bersumber pada Nuur ash-Shifat, bersumber pada Nuur Adz-Dzat.

Refleksi 7
Dalam Hadits Qudsy, yang dikutip Syeikh Abdul Qadir al-Jailany, Qs, disebutkan, “Aku Ciptakan Pertamakali Muhammad, dari Cahaya WajahKu.”
Nabi Muhammad saw, bersabda: “Pertamakali yang diciptakan Allah adalah Ruhku; dan pertamakali yang diciptakan Allah adalah Nurku, dan Pertama kali yang diciptakan oleh Allah adalah Al-Qolam; dan yang pertama kali diciptakan Allah adalah Akal.”
Semuanya sama, yang dimaksud secara keseluruhan adalah Hakikat Muhammadiyyah. Disebut Nur karena kecermerlangannya yang begitu jernih jauh dari Kegelapan Sifat JalaliyahNya. Disebut Akal, karena memahami universalitas. Disebut al-Qolam karena menjadi instrumen transformasi Pengetahuan . Dan disebut Ar-Ruuh al-Muhammady, karena merupakan intisari dari CiptaanNya. Dalam Sabdanya, “Aku dari Allah, dan semua orang beriman dariku.”

Refleksi 8.
Dalam proses aksiologisnya, transformasi spiritual ini akan digoda oleh rintangan-rintangan syetan:
1. Syetan datang dengan neraka yang membakar renungan terhadap pandangan mata.
2. Syetan datang pada nafsu dengan neraka yang membakar semangat bakti,
3. Syetan datang pada akal dengan neraka yang membakar renungan akal sehatnya.
4. Syetan datang pada Qalbu dengan neraka yang membakar rasa rindu dan Cinta padaNya.
5. Syetan datang pada Sirr dengan neraka yang menmbakar Keakaraban denganNya dan Musyahadah padaNya.

Refleksi 9
Hati-hati dengan munculnya Istidraj dan Tipudaya (Ghurur).

  • Istidroj bagi para Ulama dan ilmuwan adalah ambisi derajat dan posisi,
  • Istidroj bagi para Mujtahid adalah berlomba dalam menumpuk hasil Ijtihad dan merasa takjub pada raihan Ijtihadnya.
  • Istidroj yang menimpa para penempuh Jalan Allah adalah senang memandang anugerah dan karomah.
  • Istidroj kaum ahli ma’rifat adalah kepuasannya pada kema’rifatan, bukan puas pada yang Dima’rifati (Allah swt).

 

EPISTEMELOGI ISLAMI
Islam (dalam fakultas amaliyah dan ilmiyah) berkembang menjadi peradaban hukum (syariah) dan segala hal yang berkaitan dengan berbagai aturan ibadah, termasuk aturan hukum politik, hukum sosial, ekonomi, hak asasi manusias dengan berbagai perspektif dinamikanya. Bidang-bidang sains empirik, fisika, matematika, technologi, astrolomi, kedokteran, pertanian, geologi, energi, segala hal yang berkaitan dengan tanah dan air, udara, masuk dalam ruang lingkup Epistemologi Islami.

Pada wilayah inilah istilah Islam mengenalkan wilayah ijtihad. Suatu aktifitas ilmiah yang sangat ketat dan berurusan dengan alam fikiran dan akal yang dicurahkan untuk mengambil keputusan-keputusan ilmiah piranti-piranti ijtihad inilah yang menjadi orientasi Epistemologi Islami. Tidak sekadar pada keputusan akan mana yang benar dan salah terhadap hukum syariat, tetapi juga pemberian seluas-luasnya untuk wilayah kontemplasi fikiran dan aktivasi akal terhadap objek-objek ilmu pengetahuan di bidang fisika dan eksoterisme.

Fungsi akal juga menjadi monitor atas seluruh perkembangan pengamatan fikiran, bahkan kelak juga menyelubungi wilayah pengamatan di wilayah peradaban Iman dan Peradaban Ihsan.
Fungsi akal terus menjembatani dan mengingatkan, agar proses “drama filosufi yang berseri” tidak saling memisah dan tidak saling mengintervensi satu sama lain, tetapi dalam ruang organism akomodatif yang utuh dalam diri manusia. (Ingat tragedi aliran-aliran filosufi dalam teologi Islam, dengan munculnya aliran Qadariyah dan Jabariyah), disebabkan oleh intervensi wilayah apresiatif epistemologis yang tidak proporsional, sehingga muncul dalam polemik spirtitual-teologis, saling saling mengklaim kebenaran final.

Benarkah wilayah epistemologi islami memberikan kebebasan ijtihad secara terbatas? Sejauhmana ruang ijtihad itu mendapatkan kemerdekaannya? Sebenarnya wilayah ijtihadiyah dalam epoistemology ini, terbatasi oleh Instrumennya sendiri, yaitu relativitas fikiran atas objek-objek ilmu pengetahuan yang tak terbatas, apalagi objeknya adalah Pengatahuan Allah yang absolute (Al-Qur’an dan Sunnah NabiSaw.). Dalam hal-hal yang berhubungan dengan wilayah metafisika, posisi fikiran sebagai instrument pun tetap sama. Karena itu apresiasi fikiran yang dijustifikasi oleh akal, dan diputuskan oleh hati (qalbu) adalah keseluruhan proses yang terus menerus dalam menempuh “Jalan Pengetahuan” yang tak terhingga.
Karena itu Epistemologi Islam tetap berkisar pada wilayah renungan pemikiran yang beradaptasi (sekaligus objek fikiran): dengan ruang dan waktu, bentuk dan warna, penjuru dan arah, bunyi dan bahasa, jauh dan dekat, gerak dan diam, dengan hukum-hukum kebenaran yang terukur oleh nalar fikiran itu sendiri.
Islam memberikan ruang fikiran dalam dimensi-dimensi tersebut, yang kelak juga melahirkan norma-norma hukum (baik itu hokum fiqih, maupun hokum-hukum pengetahuan alam). Di sini silabus pemikiran kita terarahkan oleh berbagai dukungan lainnya, seperti faktor bahasa dengan logika dan sastranya, latar belakang dan tujuan utamanya (semisal dar’ul mafasid wa jalbil mashalih dsb.).

Sejauh ini, dunia filsafat belum menempuh alur yang tidak memuaskan (cenderung memaksakan dirinya), untuk memposisikan tugas dan apresiasi fikiran itu sendiri sebagai instrument eksistensi manusia. Dalam kaitan sub tema Epistemologi Islam inilah tugas-tugas fikiran dan akal memposisikan dirinya sebagai:

  1. Fikiran berfungsi sebagai pencerah, penerang, pencahaya, pengembang secara dinamis dan aktif, atas kegelapan objek yang meresahkan jiwa dan memicikkan qalbu. Fungsi Akal, memberikan penglihatan nyata dengan seluruh akibat hukum ilmiyahnya, apakah cahaya yang menyinari objek-objek pengetahuan itu, bernilai salah atau benar, haq atau bathil, baik atau buruk, halal atau haram, mafsadah atau mashlahah.
  2. Fikiran memantulkan cahayanya untuk menyibak yang tersembunyi pada objek yang tampak empirik, lalu menemukan nama, sifat dan substansi dari nama dan sifat tersebut. Fungsi fikiran disini membuka pandangan mata hati (an-Nazhar), terhadap apa yang ada dibalik penciptaanNya bukan pada objek-objek benda dan atomic-neukleusnya, lalu dalam konteks ini akal menetapkan proporsi yang tersembunyi dibalik nama, sifat dan dzat yang direnungkan oleh fikiran.
  3. Fikiran yang menata susunan varian-varian objeknya menjadi keutuhan eksistensial, fungsional dan bagaimana dinamisasi kehidupan pada sifat-sifat objek tersebut, baik dalam kehidupan sosial manusia maupun alam semesta. Inilah yang disebut sebagai bentuk penundukan terhadap kemakhlukan semesta bagi manusia. Fungsi Akal adalah memberikan vonis yang logis, apakah benar dan salah atas strukturisasi yang digerakkan dan dibangun oleh renungan fikiran.
  4. Fikiran akan terus digerakkan oleh “daya hidup” dalam dirinya sendiri yang menjadi sifat fikiran. Akal terus membuka mata hatinya untuk merangsang fikiran. Jika fikiran tidak merenung, tidak akan muncul pencahayaan atas objek dan tujuan, maka sejauh matahati terbuka lebar-lebar dalam diri akal, juga tidak akan memiliki fungsinya. Apa arti mata kepala kita yang terbuka, jika kita ada dalam kegelapan?
  5. Fikiran terus menjelajahi ayat-ayatNya yang terbaca (al-Maqru’ah) dan Ayat-ayatNya yang tak terbaca (Ghairul Maqru’ah), Akal yang menentukan norma-normaNya, hingga tahap pemahaman (Tafaqquh).
  6. Bila ilmu melahirkan amal, dan amal melahirkan ahwal, maka dimensi-dimensi Fikiran dan Akal pun bersenyawa dengan Ilmu Lahiriyah, Amal Ibadah Lahiriyah, Ahwal Lahiriyah (Akhlaq).
  7. Jika boleh saya sebut, inilah yang menjadi atmofsir al-Fikrah al-Islamiyah dan Al-‘Aqlul Islamiyah yang melahirkan An-Nadzhrah al-Islamiyah.
Next Post

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Top Stories

ADVERTISEMENT

Login to your account below

Fill the forms bellow to register

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.