Syeikh Abu Nashr As-Sarraj
Kefakiran
Syekh Abu Nashr as-Sarraj — rahimahullah — berkata: Saya pernah mendengar jawaban Ibnu Salim ketika ditanya tentang dzikir, “Ada tiga macam bentuk dzikir: dzikir dengan
lisan yang memiliki sepuluh kebaikan, dzikir dengan hati yang memiliki tujuh ratus kebaikan dan dzikir yang pahalanya tidak dapat ditimbang dan dihitung,
yaitu puncak kecintaan kepada Allah serta perasaan malu karena kedekatan-Nya.”
Al- Junaid -rahimahullah- berkata, “Kefakiran adalah samudra cobaan (bala’), namun seluruh cobaannya adalah kemuliaan.” la ditanya tentang kapan orang fakir yang jujur ini mengharuskan masuk surga sebelum orang-orang kaya dengan tenggang waktu lima ratus tahun? Maka la menjawab, “Jika si fakir ini bermuamalah kepada Allah dengan hati nuraninya, setuju dengan Allah pada apa yang tidak diberikan-Nya, sehingga kefakirannya dianggap sebagai nikmat dari Allah yang diberikan kepadanya, dimana la merasa takut bila kefakirannya itu hilang sebagaimana ia merasa takut bila kekayaannya itu hilang. Ia selalu bersabar, berniat karena Allah dan bersenang hati dengan kefakiran yang telah dipilihkan Allah untuknya, dengan tetap menjaga agamanya, menyembunyikan kefakirannya, menampakkan kekecewaannya terhadap makhluk dan merasa cukup dengan Allah dalam kefakirannya, sebagaimana difirmankan Allah Swt., ‘(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di muka bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orangkaya karena memelihara diri dari meminta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak.’ (Q.S. al-Baqarah: 273).
Apabila si fakir memiliki sifat-sifat tersebut, maka la akan masuk surga sebelum orang-orang kaya dengan tenggang waktu lima ratus tahun. Sementara hari Kiamat cukup baginya sebagai beban untuk menunggu dan diperhitungkan amalnya.”
Ibnu al Jalla’ -rahimahullah- berkata, “Barangsiapa tidak menyertai kefakirannya dengan sikap wara` (jaga diri dari syubhat), maka la akan terjerumus pada hal-hal yang diharamkan secara pasti, sementara la sendiri tidak menyadarinya.”
Al Junaid -rahimahullah- pernah ditanya, “Siapakah orang yang paling mulia?” Lalu la menjawab, “Yaitu orang fakir yang ridha.”
Al-Muzayyin -rahimahullah- pernah mengatakan, “Batas kefakiran ialah bila orang yang fakir tidak bisa lepas dari kebutuhan.”
Ia juga mengatakan, `Apabila si fakir kembali kepada Allah Azza wa Jalla maka la akan bisa diterangkan bahwa la disertai ilmu pengetahuan, akhirnya la bingung dalam keberadaannya.”
Sementara al Junaid -rahimahullah- mengatakan, “Seseorang tidak bisa memastikan dengan benar akan kefakirannya sehingga la yakin bahwa di hari Kiamat nanti tidak ada orang yang lebih fakir daripada dirinya.”
Pendapat Mereka Tentang Ruh
Asy-Syibli -rahimahullah- mengatakan, “Hanya dengan Allah, ruh, jasad dan bersitan-bersitan hati bisa eksis, dan bukan karena eksistensi dzatnya masing-masing.”
Ia juga pernah berkata, “Ruh itu penuh keramahan dan kelembutan, kemudian ia menggantung pada ujung hakikat. Ia tidak tahu siapa sebenarnya yang disembah dan berhak sebagai peribadatan, dimana la tidak mendekat kepada Dzat Yang Maha Menyaksikan (asy-Syahid) dengan tanpa melihat pada fenomena-fenomena alam yang menjadi saksi (Masyahid). la yakin, bahwa makhluk tidak akan bisa memahami Dzat Yang Maha Qadim dengan SifatNya yang bisa diberi alasan.”
Syekh Abu Nashr as-Sarraj -rahimahullah- berkata: Saya pernah melihat pembahasan al Wasithi -rahimahullah- tentang ruh, dimana la mengatakan, “Ruh itu ada dua macam: ruh yang menghidupkan makhluk, dan ruh yang menjadi penerang hati. Dan ruh yang terakhir inilah yang difirmankan Allah Swt.:
“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu ruh (nilai spiritual al-Qur’an) dengan perintah Kami.”
(Q.S. asy-Syura: 52).
la dinamakan ruh karena kelembutannya. Jika anggota tubuh berbuat kejelekan yang menyalahi adabnya, maka ruh akan terhalang dari sentuhan-sentuhan sebab yang menyakitkan.”
Al Wasithi melanjutkan, “Ketika perhatian-perhatian itu terjadi pada ruh, maka ia akan menapak lebih tinggi pada hari-hari dan waktunya, la tahu segala yang mengajaknya berbicara dan memberi isyarat pada yang bisa dilihat.”
Selanjutnya al Wasithi mengatakan, “Sesungguhnya itu adalah dua unsur: ruh dan akal. Maka ruh tidak dapat memberi kepada ruh sesuatu yang dicintainya. Demikian pula akal tidak siap untuk menolak dari akal sesuatu yang tidak disukainya.”
Dikisahkan dari Abu Abdillah an-Nibaji yang mengatakan, “Apabila seorang arif telah bisa ‘sampai’ (wushul), maka dalam dirinya terdapat dua ruh: ruh yang tidak mengalami perubahan dan perbedaan, dan ruh yang mengalami perubahan dan perbedaan.”
Sebagian kaum Sufi mengatakan, “Ruh itu ada dua macam: ruh yang bersifat qadim dan ruh manusiawi (basyariyyah). Mereka berpendapat demikian atas dasar sabda Rasulullah Saw.:
“Kedua mataku tidur, namun hatiku tidak tidur.” (H.r. Bukhari-Muslim dari Aisyah).
Maka secara lahiriah beliau tidur dengan ruh manusiawinya, sementara batinnya tidak tidur dan selalu terjaga tanpa mengalami perubahan.
Demikian halnya dengan sabda beliau:
“Sesungguhnya aku dijadikan lupa supaya aku bisa membuat sunnah. “
Sementara itu beliau juga pernah memberitahu, bahwa beliau tidak pernah dijadikan orang yang lupa. Maka apa yang diberitahukan ini adalah kondisi ruh qadim.
Demikian pula dengan sabda beliau:
“Aku tidaklah seperti kalian, sesungguhnya aku senantiasa berada dalam lindungan Tuhanku Yang memberiku makan dan minum.”
Apa yang diberitahukan ini adalah sifat ruh qadim. Sebab beliau memberitahukan tentang sifat-sifat yang bukan sifat-sifat ruh. Syekh Abu Nashr as-Sarraj – rahimahullah – berkata: Pendapat tentang ruh yang dikemukakan tersebut adalah tidak benar. Sebab sifat keqadiman tidak akan bisa terpisah dari Dzat Yang Maha Qadim, sementara makhluk tidak sambung dengan Yang Maha Qadim – Semoga Allah senantiasa memberi taufik.
Saya pernah mendengar Ibnu Salim ditanya tentang pahala dan siksa, “Apakah pahala dan siksa diberikan pada ruh dan jasad atau hanya pada jasad?” Maka ia menjawab, “Taat dan maksiat tidak muncul dari jasad saja tanpa ruh atau dari ruh saja tanpa jasad, sehingga pahala dan siksa hanya diberikan pada jasad saja atau pada ruh saja. Maka orang yang berpendapat bahwa ruh itu mengalami reinkarnasi, perpindahan dan keqadiman, maka ia benar-benar tersesat dan sangat merugi.”
Isyarat
Syekh Abu Nashr as-Sarraj -rahimahullah- berkata: Jika ada seseorang bertanya, “Apa makna isyarat?” Maka jawablah, “Pada firman Allah, ‘Maha Suci Dzat’ (Q.s. al-Furqan:1).
Maka lafadz ‘alladzii’ dalam ayat tersebut adalah suatu kirzayah (metonimia). Sementara metonimia adalah seperti isyarat dalam kelembutan maknanya. Dan isyarat hanya bisa dipahami oleh para tokoh yang memiliki keilmuan yang tinggi.”
Asy-Syibli -rahimahullah- berkata, “Setiap isyarat yang digunakan makhluk untuk memberi isyarat kepada al-Haq adalah dikembalikan kepada mereka, sehingga mereka memberi isyarat kepada al-Haq dengan al-Haq, yang mana mereka tidak menemukan jalan untuk menuju ke sana.”
Abu Yazid al-Bisthami mengatakan, “Orang yang paling jauh dari Allah ialah orang yang paling banyak memberi isyarat kepadaNya.” Kemudian la bercerita, ‘Ada seseorang datang kepada al-Junaid bertanya tentang suatu masalah. Kemudian al-Junaid memberi isyarat dengan kedua matanya melihat ke langit. Lalu orang tersebut berkata, ‘Wahai Abu al-Qasim, jangan memberi isyarat kepadaNya, sebab Dia lebih dekat dengan Anda daripada apa yang Anda isyaratkan.’ Maka
al- Junaid berkata, ‘Anda benar.’ Dan kemudian tertawa.”
Dikisahkan dari Amr bin Utsman al-Makki -rahimahullah- yang mengatakan, “Hakikat para sahabat kami adalah Tauhid sementara isyarat mereka dianggap syirik.”
Sebagian kaum Sufi berkata, “Masing-masing orang ingin memberi isyarat kepada-Nya, akan tetapi tidak seorang pun diberi jalan menuju ke sana.”
Dikisahkan dari al Junaid -rahimahullah- yang pernah berkata kepada seseorang, “Dia itukah yang Anda beri isyarat wahai laki-laki? Berapa kali Anda memberi isyarat kepada-Nya? Tinggalkan, maka Dia akan memberi isyarat kepada Anda.”
Abu Yazid -rahimahullah- berkata, “Barangsiapa memberi isyarat kepada-Nya dengan ilmu, maka la telah kufur, sebab isyarat dengan ilmu hanya terjadi pada sesuatu yang diketahui. Dan barangsiapa memberi isyarat kepada-Nya dengan ma’rifat maka ia telah kufur (mulhid) sebab isyarat dengan ma’rifat hanya terjadi pada hal-hal yang bisa dibatasi.”
Saya mendengar ad-Duqqi bercerita: Az-Zaqqaq -rahimahullah- pernah ditanya tentang ‘murid’, maka la menjawab, “Hakikat murid ialah dengan memberi isyarat kepada Allah Swt, sehingga ia bisa menemukan Allah bersamaan dengan isyarat itu sendiri.” Kemudian la ditanya, “Lantas apa yang bisa memahami kondisi spiritualnya?” la menjawab, “Ialah menemukan Allah Swt. dengan menghilangkan isyarat?” Permasalahan ini dikenal dari al Junaid.
An-Nuri -rahimahullah- mengatakan, “Dekatnya kedekatan tentang apa yang kita beri isyarat adalah jauhnya kejauhan.”
Yahya bin Mu’adz -rahimahullah- berkata, “Jika Anda melihat seseorang memberi isyarat kepada suatu perbuatan maka tarekat (cara) yang ia tempuh adalah tarekat wara’ (jaga diri dari syubhat). Jika Anda melihat seseorang memberi isyarat kepada ilmu maka tarekat yang la tempuh adalah tarekat ibadah. Jika Anda melihatnya memberi isyarat pada keamanan dalam rezeki maka tarekatnya adalah tarekat zuhud. Jika Anda melihatnya memberi isyarat pada ayat-ayat Tuhan, maka tarekatnya adalah tarekat al-Abdal (para pengganti). Jika Anda melihatnya memberi isyarat kepada nikmat-nikmat Allah maka tarekatnya adalah tarekat para arif.”
Abu All ar-Rudzabari -rahimahullah- mengatakan, “Ilmu kami ini adalah isyarat. Jika telah menjadi ungkapan maka akan tidak jelas (samar).”
Seseorang menanyakan suatu masalah kepada Abu Ya’qub as-Susi -rahimahullah- dimana la hanya memberikan isyarat atas pertanyaannya itu. Maka as-Susi menjawab, “Wahai laki-laki yang bertanya, sebenarnya kami bisa menjawab pertanyaan Anda tanpa dengan isyarat yang Anda berikan.” Tampaknya Abu Ya’qub tidak menyukai isyaratnya.
Kepandaian (azh-Zharf)
Al Junaid -rahimahullah- pernah ditanya tentang makna azh-zharf, maka ia menjawab, “Yaitu menghindari segala bentuk akhlak yang rendah, dan menggunakan segala akhlak yang mulia, Anda berbuat semata karena Allah kemudian Anda tidak melihat bahwa diri Anda merasa berbuat.”
Muru’ah
Ahmad bin Atha’ -rahimahullah- ditanya tentang muru’ah, maka la menjawab, “Jangan menganggap banyak amalan yang Anda lakukan untuk Allah, dan ketika Anda melakukan suatu amal maka seakan-akan Anda tidak pernah melakukan sesuatu, sementara Anda menginginkan yang lebih banyak dari itu.”
Nama Sufi
Mengapa kelompok ini disebut dengan sebutan Sufi? Maka Ibnu ‘Atha’ -rahimahullah- memberikan jawaban, “Mereka disebut dengan nama itu, karena bersihnya kelompok tersebut dari kotoran makhluk dan keluar dari tingkat kejelekan.”
An-Nuri -rahimahullah- mengatakan, “Mereka disebut dengan nama ini, sebab kelompok tersebut mencakup makhluk dengan lahiriah para ahli ibadah, sementara mereka mencurahkan segalanya hanya untuk Allah dengan tingkatan orang-orang yang cinta.”
Asy-Syibli -rahimahullah- berkata, “Mereka disebut dengan nama ini, karena masih ada sisa-sisa diri (nafsu) mereka yang tertinggal. Andaikan tidak ada sisa-sisa tersebut, tentu tidak akan ada nama yang bisa melekat pada mereka.”
Sebagian kaum Sufi mengatakan, “Mereka disebut demikian disebabkan mereka bernafas dengan ruh kecukupan (al-kifayah) dan berpenampilan dengan sifat inabah (kembali kepada Tuhan).”