Penyakit Hati dan Karakteristik Kemunafikan (Bag 3-Habis)
Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya, Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat. Mereka tuli, bisu dan buta, maka
mereka tidaklah kembali (ke jalan yang benar).
Ayat di atas menggambarkan fenomena hipokrisisme (tradisi maniak kemunafikan), yaitu digambarkan sebagai pihak yang mencoba menyalakan propagandanya, penyesatan opininya, lalu tiba-tiba Allah menghapus begitu saja api itu, sehingga mereka tergelantung dalam kegelapan yang memilukan.
Dinding atau hijab antara diri mereka dengan Allah yang mereka bangun, adalah bentuk lain dari egoisme yang sangat menyedihkan. Mereka merasa benar, tetapi sekaligus juga tidak memiliki ketulusan jiwa. Lalu, mengapa Allah menghapus begitu saja cahaya yang mereka nyalakan itu ?.
Ketulian telinga hati, kebisuan lisan kalbu, dan butaan mata hati, membuat mereka tidak mampu kembali kepada Allah. Sehingga Allah menghapus cahaya yang mereka nyalakan secara semu, karena penggambaran api itu, menunjukkan adanya gambaran neraka yang mereka simpan dalam kalbu, lalu mereka nyalakan sebagai lambang kebenaran. Tetapi kegelapan batin telah membuat mereka seperti semut hitam dalam kegelapan yang sangat sulit diduga, dan semut itu telah terkaburkan matanya, karena terhempas debu-debu yang mengelilinginya.
Kita bisa mengambil hikmah, bahwa untuk keluar dari dilema kemunafikan, seseorang haruslah berani membuka kejujuran hatinya, mengatakan al-Haq sebagai manifestasi dalam dirinya, cahaya hatinya memancarkan cahaya-Nya.
Suatu klaim, bahwa seseorang yang berani meyakini bahwa gerak-gerik lahir dan batinnya lepas dari “Gerak-gerik” Allah, berarti orang itu mulai menumbuhkan benih asli dari kemunafikan itu sendiri. Kelak, pasti menimbulkan sikap mendua atau dualisme, antara haq dan batil dalam jiwanya, penuh dengan rekayasa, bahwa kebenaran itu bisa direkayasa sebagai sesuatu yang muncul dari kebatilan. Sebaliknya kebatilan bisa direkayasa dari nilai-nilai kebenaran. Itulah awal hipokrisisme.
Selanjutnya Allah SWT masih membuat proyeksi aktivitas kaum munafik ini dalam firman selanjutnya:
“atau seperti (orang yang ditimpa) hujan dari langit, di dalamnya penuh kegelapan, gemuruh petir dan kilat. Mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya karena ptir itu, karena takut mati. Dan Allah meliputi orang-orang kafir. Hampir-hampir kilat itu menyambar mereka. Setiap kilatan itu menyinari mereka, mereka berjal;an di bawah cahaya itu, dan bila gelap menimpa mereka, mereka berhenti. Jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia melenyapkan pendengaran mereka dan penglihatan mereka. Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu.”
Orang munafik selalu menjadi oportunis. Ia menghindar dari kebenaran, manakala kebenaran itu tidak menguntungkan nafsunya. Dan ia memilih kegelapan bila kegelapan itu mendukung nafsunya. Gambaran kegelapan dan guruh serta kilat yang menyala-nyala, adalah gambaran kebenaran yang hendak menyambar kebatilan dalam jiwanya. Tetapi mereka tidak mampu menerima kebenaran itu, sebab kebenaran dalam jiwa kaum munafiqin teramat pahit dan menyakitkan.
Mengapa Allah tidak melenyapkan saja mereka itu? Kehadiran kaum munafik di lingkungan kita, semata-mata sebagai ujian bagi kita, sejauhmana kita mengambil hikmah dari tragedi hidupnya.
Kita juga bisa mengambil pelajaran, dalam menempuh jalan ruhani atau jalan sufi, manakala dalam jiwa kita masih ada sesuatu selain Allah, berarti kita masih menghuni sebuah pulau kegelapan dari benua Ilahiah kita, yang ada dalam kalbu kita.
Hati adalah Rumah Ilahi, manakala terisi sesuatu selain Allah, kemunafikan kalbu kita akan menggoyahkan mata hati, pendengaran hati, dan lisan hati, ketika menghadap kepada Allah SWT.