Penyakit Hati dan Karakteristik Kemunafikan (Bag 1)
“Dalam hati mereka ada penyakit, maka Allah pun menambah penyakit mereka itu, dan bagi mereka adalah siksa yang pedih atas apa yang mereka dustakan. Apabila dikatakan pada mereka, “Janganlahn kalian membuat kerusakan di muka bumi!”, malah mereka
menjawab, “Sebenarnya kami ini adalah golongan pembaharu (reformis) kebaikan.”
“Dalam hati mereka ada penyakit”, dimaksudkan adalah penyakit keraguan dan kemunafikan. Penyakit yang sudah mendarah daging dalam jiwa mereka ini. Kemudian Allah menambah penyakit hatinya, yaitu berupa penyakit dengki, dendam dan keras kepala, dengan cara menggembar-gemborkan kalimat Allah, mengatasnamakan agama, atas nama atau demi Rasul dan kaum beriman, bahkan atas nama Allah, atas nama Islam, sementara jiwa mereka penuh dengan kebusukan, kehinaan dan kotoran-kotoran yang menjijikkan. Semua itu adalah penyakit jiwa.
Dengan kata lain, mereka sedang sakit jiwa, tetapi mengaku paling waras, paling bersih dan paling benar. Sementara kecemburuan, kedengkian dan iri hati benar-benar telah mendarah daging dalam hatinya. Allah memberikan ancaman mereka dengan siksa yang teramat pedih. Siksaan jiwanya sebenarnya telah menggelapi hatinya, siksaan hijab keraguan dan kemunafikan yang menghalangi hubungan jernih antara dirinya dengan Allah.
Karakteristik kemunafikan itu muncul dari elemen-elemen sifatnya, yang kelak menumbuhkan sifat baru, berupa kecenderungan-kecenderungan adu domba, menciptakan kerisauan sosial, demi ambisi pribadi dan kelompoknya. Ambisi itu sebagai penyakit lain yang tumbuh dari elemen kemunafikan tersebut, tujuan utamanya adalah menguasai duniawiyah, atas nama akhirat, atas nama agama dan atas nama Allah.
Tetapi ketika mereka diajak memasuki iman yang hakiki, diajak untuk memasuki jalan Ilahi yang lebih esensial, mereka justru merasakan bahwa ajakan itu sebagai kekeliruan dan bahkan secara main-main mereka menyatakan dirinya sebagai reformis, pembaharu dan pencipta kebajikan. Padahal justru mereka itu menciptakan kerusakan dan kehancuran di muka bumi, hanya saja, karena hijab ruhani yang menutupi jiwa mereka, akhirnya malah mereka tidak memiliki rasa kebajikan itu sendiri. Yang ada adalah rasa kejahatan yang dianggapnya sebagai pendukung yang layak bagi gerakannya.
Kenikmatan duniawi, sifat-sifat buruk, predikat kehinaan yang menempel pada diri mereka adalah hijab yang teramat tebal untuk mengingat kehidupan akhirat. Sesuatu yang menyakitkan manakala jiwa mereka diingatkan akan kehidupan hakiki di akhirat, apalagi diingatkan akan hakikat Ilahi. Siapa pun yang memiliki karakteristik seperti itu akan sulit menerima kebaikan Allah, karena kebaikan itu tidak akan tumbuh dalam jiwa yang sakit.