sufinews.com. Aisyah al Ba’uniyyah adalah sosok sufi yang dijuluki perempuan paling alim pada abad kesepuluh Hijriyah. Tentu sebutan ini tak sembarangan. Aisyah dikenal sebagai perempuan yang memiliki pengetahuan luas, penulis produktif dan banyak keutamaan.
Adalah Muhammad ‘Ali as-Shoriki dalam bukunya berjudul ‘Aisyah Al-Ba’uniyyah Fadhilat az-Zaman yang menyebutnya sebagai perempuan paling ‘alim(ah) pada abad kesepuluh hijriyah. Aisyah adalah salah satu perempuan terhebat dalam sepanjang sejarah Islam. Sementara itu Syaikh ‘Abdul Ghani An-Nabulsi (w. 1731 M), Sufi besar asal Damaskus, memujinya dengan perkataan “Aisyah merupakan ulama terkemuka di masanya dan pemimpin sastrawan kesohor”.
Bernama lengkap Aisyah binti Al-Qadhi Yusuf bin Ahmad bin Nashir al-Ba’uni lahir di Damaskus pada 9 H/ 15-M. Tentang data kelahirannya tidak ditemukan secara pasti oleh para sejarawan. Menurut Ibn ‘Imad dalam bukunya Syazarat adz-dzahab nama belakangnya diambil dari marga Ba’uniyyah yang merupakan penisbatan terhadap sebuah nama desa (ba’un) di Yordania Timur.
Aisyah Ba’uniyyah nasabnya bersambung dengan ulama-ulama besar diantaranya Ahmad ibn Nasir (751-816 H/ 1350-1413) merupakan seorang imam dan khatib di Masjid Al-Aqsha, Masjid Umayyah di Damaskus. Ayahnya yang bernama Yusuf ibn Ahmad (805-880 H/1402-1475 M) dikenal sebagai kadi di Aleppo dan Damaskus.
Kedalaman dan keluasan ilmunya didapat sedari kecil dengan belajar kepada ayahanda dan anggota keluarganya yang lain dengan mempelajari al-Quran, hadis, fikih, hingga sastra. Saat usia delapan tahun konon telah hafal Al Quran. Selain itu juga pernah berguru kepada Bahauddin Muhammad bin Yusuf al-Ba’uni (857-916 H), Burhanuddin Ibrahim bin Ahmad bin Nashir (777-870 H) dan Syamsuddin Muhammad bin Ahmad al-Bauni.
Pergulatannya dengan dunia sufi dimulai saat perjalanan dan pengalaman ibadah haji inilah. Konon ‘Aisyah menemukan visi kesufian saat bertemu Nabi saw dalam keadaan terjaga. Pengakuan ini ditulis dalam salah satu kitabnya al-Maurid al-Ahna fi al-Maulid al-Asna.Setelah itu, ‘Aisyah semakin menekuni bidang sufisme yang memang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari keluarganya. Kakek, ayah dan paman-pamannya adalah pengikut taredat Qadiriyah makamnya berdampingan dalam mursyid terpandang tarekat Qadiriyah pada masa itu, yakni Abu Bakar Ibn Dawud (w. 806/1403).
Kemudian mengasah kesufiannya dengan berguru kepada dua tokoh sufi terkenal, Jamaluddin Ismail al-Hawwari (w. 900/1495) dan Muhyiddin Yahya al-‘Urmawi. Saat usianya cukup matang dan telah menempuh jalan kesufian, ‘Aisyah al-Ba‘uniyyah menikah dengan Ahmad bin Muhammad bin Naqib al-Asyraf (w. 909/1503) yang juga merupakan murid dari Ismail al-Hawwari.
Dalam buku Living Love: The Mystical Writings of Aishah al-Ba’uniyyah karya Emil Homerin disebutkan Aisyah menggandrungi tarekat Qadiriyyah. Hal ini, tercermin dari karya-karya tasawuf yang ditulisnya. Selain itu pandangan tasawufnya dipengaruhi Abdullah al-Anshari dalam karyanya berjudul Manazil as-Sairin. Salah satu kitabtan Al-Muntakhab fi Ushul ar-Rutab fi ‘Ilm at-Tashawwuf Aisyah menjelaskan tentang “maqamat”. Menurutnya, maqamat bagi para salik tidak terbatas jumlahnya. Namun, secara prinsip semuanya bermuara pada empat maqam utama: taubat, ikhlas, dzikir, dan mahabbah.
Mengenai Mahabbah Aisyah menulis: Cinta adalah rahasia Allah yang paling agung. Intisari dan kejernihan. Buah dari pengkhususan. Wasilah mendekatkan diri. Mikraj untuk wushul. Hakikat kemuliaan. Rahasianya rahasia. Lautan tanpa tepi. Mutiara yang tak ternilai harganya. Cahaya tanpa kegelapan yang menyertainya. Rahasia yang tidak bisa direngkuh wujudnya. Makna yang tak bisa disifati oleh akal. Cinta yang demikian ini sejalan dengan firman-Nya: Demikianlah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah mempunyai karunia yang besar.”
Berikut adalah beberapa karya sufi perempuan masyhur ini antara lain Al-Isyarat al-Khafiyyah fil Manazil al-‘Aliyyah, Shilat as-Salam fi Fadl as-Shalat was-Salam, sebuah karya ringkasan atas kitab al-Qawl al-Badi’ fish-Shalat ‘ala al-Habib asy-Syafi’ karya As-Sakhawi Al-Qawl as-Shahih fi Takhmis Burdah al-Madih, Al-Malamih asy-Syarifah fil Atsar al-Munifah, Al-Muntakhab fi Ushul ar-Rutab fi ‘Ilm at-Tashawwuf, Diwan al-Bauinyyah, kumpulan puisi.
Itulah Aisyah al Ba’uniyah sufi perempuan yang luas keilmuannya serta banyak karya-karyanya yang menjadi refernsi hingga kini. Beliau wafat pada tahun 923 H di Damaskus. Wallahu A’lam Bishowab ( Nurul Huda dari berbagi sumber)