Syeikh Abdul Wahab Asy-Sya’rani
Mereka juga sepakat, bahwa wajib bagi seorang murid untuk berdzikir dengan keras sekuat mungkin. Sebab dzikir secara pelan (sirri) dan lemah lembut tidak akan memberi manfaat kepada sang murid untuk bisa naik ke tingkatan yang lebih tinggi.
Mereka mengatakan: Wajib bagi seorang murid dalam menempuh cara yang lebih cepat terbuka mata hatinya, hendaknya bacaan La Ilaha IllaLlah naik dari atas pusar, kemudian menuju ke nafsu yang terletak di antara dua lambung, kemudian menyambungkannya dengan hati (jantung) yang ada di antara tulang dada dan pencernaan, dan menolehkan kepalanya ke arah kiri dengan disertai kehadiran hati yang maknawi di dalamnya.
Mereka mengatakan: Keras dalam berdzikir hendaknya dengan cara yang lembut, karena dikhawatirkan terjadi keretakan dalam perut dan semakin membengkak, sehingga mengakibatkan tidak bisa berdzikir dengan keras sama sekali.
Orang yang berdzikir hendaknya berhati-hati dalam melafalkan kalimat Tauhidy La Ilaha IllaLlah ini, jangan sampai terjadi salah ucap. Karena kalimat ini bersumber dari al-Qur’an. Maka harakat Lam yang ada pada La Nafi dibaca panjang secukupnya, Hamzah yang ber-kasrah dibaca dengan jelas tanpa dipanjangkan sama sekali, kemudian Lam setelahnya pada lafal Ilah dibaca panjang dengan mad thabi’i, dan Ha’ yang jatuh setelahnya dibaca fathah tanpa dibaca panjang. Kemudian Hamzah yang ada pada istisna’ di-kasrah dengan dibaca ringan tanpa dipanjangkan, dan Lam Alif setelahnya juga tidak dipanjangkan. Dan lafal Jalalah (Allah) Lam-nya dipanjangkan dan berhenti pada Ha’ dengan di-sukun bila di-waqaf-kan. Demikian pula hendaknya tidak memanjangkan huruf Ha’ dari lafal Ilah, yang akibatnya mengubah bacaan al-Qur’an. Demikian pula mengucapkan huruf Ha’ pada lafal Jalalah (Allah) hendaknya tidak dibaca panjang, yang akan memunculkan huruf wawu.
Tuan Guru Ali bin Maimun, guru dari Tuan Guru Muhammad bin Iraq mengatakan: “Kesalahan baca ini telah dilakukan oleh kaum fakir (sufi) non-Arab dan Romawi. Sementara mengikuti sunah Muhammad Saw. dan ulama salaf adalah yang diharuskan.”
Tuan Guru Yusuf al-‘Ajami mengatakan: Adab dzikir yang telah mereka sebutkan adalah untuk orang yang berdzikir secara sadar. Sedangkan orang yang berdzikir di luar kontrol kesadaran maka dzikirnya bersamaan dengan warid (rahasia-rahasia yang datang ke dalam hatinya), sehingga kadang-kadang lidahnya berucap lafal:
Allah atau Huwa atau La atau Ah atau Aa atau Aa atau suara tanpa huruf atau ngawur. Maka adabnya dalam kondisi di luar kontrol kesadaran ini adalah pasrah terhadap warid yang datang. Apabila warid itu habis maka adabnya adalah diam tanpa berbicara apa pun.
Adab-adab sebagaimana tersebut di atas harus dilakukan oleh orang yang berdzikir dengan lisan. Sementara orang yang berdzikir dengan hati maka adab-adab tersebut tidak harus dilakukan.
Adapun tiga poin adab yang dilakukan setelah berdzikir adalah sebagai berikut:
Diam tanpa bicara setelah ia tenang, khusyu’ dengan hati yang hadir, memperhatikan warid dzikir yang mungkin datang sehingga pada saat itu warid yang memenuhi wujudnya lebih banyak daripada apa yang dipenuhi oleh mujahadat (perjuangan spiritual) riyadhat (latihan spiritual) selama tiga puluh tahun. Barangkali yang datang adalah warid zuhud, sehingga ia menjadi orang yang zuhud, atau warid mampu memikul beban disakiti orang lain sehingga menjadi penyabar, atau warid takut kepada Allah sehingga menjadi orang yang takut kepada-Nya, demikian seterusnya.
Imam al-Ghazali mengatakan: Pada saat diam tanpa bicara ini memiliki beberapa adab, antara lain: Pertama, seorang hamba menghadirkan hatinya, sehingga ia merasa bahwa Allah senantiasa melihatnya dan ia sedang berada di depan-Nya; Kedua, memusatkan semua inderawi sekiranya tidak ada satu bulu rambut pun yang bergerak, seperti kondisi seekor kucing yang mau menerkam seekor tikus; Ketiga, menghilangkan semua bisikan diri dan mengalirkan makna Allah, Allah pada hati.” Kemudian al-Ghazali mengatakan: “Seorang yang berdzikir tidak akan membuahkan muraqabah (perasaan selalu diawasi oleh Allah) kecuali disertai dengan adab-adab tersebut.”
Hendaknya mencela dirinya kira-kira tiga sampai tujuh pernafasan atau lebih, sampai seluruh warid yang ada bisa beredar ke seluruh alam dirinya, sehingga mata hatinya bisa bersinar, bisikan-bisikan diri dan setannya bisa terputus darinya, dan semua hijab bisa tersingkap. Ini semua wajib dilakukan menurut istilah mereka.
Tidak diperkenankan minum air dingin setelah berdzikir. Sebab dzikir bisa mengakibatkan terbakar, gejolak, dan kerinduan yang membara kepada Yang selalu disebut dan diingat (Allah), yang merupakan tujuan terbesar yang ingin dicapai dari dzikir. Sementara minum air bisa memadamkan panasnya gejolak dan membaranya kerinduan tersebut. Maka seorang yang berdzikir hendaknya selalu memperhatikan dan berusaha melakukan tiga adab ini. Karena buah dari berdzikir akan tampak dengan tiga adab ini. Dan hanya Allah Yang Mahatahu.
Buah dan Talqin Dzikir Secara Umum
Perlu anda ketahui, bahwa talqin dzikir memiliki buah secara umum dan juga buah secara khusus. Sedangkan dari masing-masing buah terdapat tokohnya sendiri-sendiri.
Maka buah yang bersifat umum, setelah seseorang di-talqin dzikir, maka ia akan menjadi bagian dari suatu lingkaran, seakan-akan menjadi rangkaian dari lingkaran rantai besi. Apabila ia bergerak karena ada suatu masalah, maka bagian dari rangkaian yang lain juga ikut bergerak. Sebab antara masing-masing orang yang diberi mandat mulai dari Rasulullah Saw hingga orang yang bersangkutan merupakan satu rangkaian dari silsilah. Ini berbeda dengan orang yang tidak mendapatkan talqin (bimbingan) dzikir secara lisan dari para guru, maka ia seperti bagian dari rangkaian yang terpisah. Apabila ia bergerak karena ada satu masalah yang menjadi beban, maka tidak ada seorang pun yang bergerak untuk membantunya, karena tidak ada hubungan antara dia dengan yang lain.
Saya pernah mendengar Tuan Guru Ali al-Murshifi berkata: Talqin (bimbingan dzikir secara lisan) seorang guru kepada murid ibarat sebutir benih yang ditanam di tanah gersang, yang pengairannya hanya bergantung dengan turunnya hujan. Maka hasil produksi, perkembangan, dan berseminya daun sangat bergantung pada kesanggupannya menyerap air dalam kadar banyak atau tidaknya sesuai dengan pengairan yang ada, dan bukan bergantung pada seorang guru yang menanam benih. Seorang guru hanya memiliki benih yang siap ditanam, sedangkan yang berhak menumbuhkan adalah al-Haq Swt.
Bisa jadi seorang guru menanamkan benih pada bumi seorang murid, lalu ia tumbuh tapi kemudian mati. Maka buah yang bisa dituai bisajadi nanti di tangan seorang guru lain setelahnya. Ini bisa jadi karena lemahnya semangat sang murid atau karena makna-makna dzikir tidak mampu menguasai dan mempengaruhi hati dan lisannya secara terus-menerus. Kaum sufi mengatakan: Sesungguhnya pengaruh dzikir setelah di-talqin seperti pengaruh hujan terhadap benih setelah ditanam. Karena hal itu pula yang bakal mempengaruhi terbukanya mata hati dan hasil produksi.
Maka bisa dimengerti, bahwa seorang murid setelah di-talqin tidak cukup hanya menghadiri majelis dzikir bersama kaum sufi yang lain di pagi dan sore hari, sebagaimana yang terjadi pada kebanyakan murid di zaman ini. Sebab buah dari dzikir seperti itu hanya seperti orang yang meneteskan setetes air pada benih yang ditanam di saat pagi hari dan setetes air lagi di sore hari. Sementara angin dan terik matahari dalam rentang waktu pagi hingga sore sudah menghabiskan tetesan air tersebut. Hal itu tidak akan bisa membasahi bumi yang ditanami benih, bahkan bisa jadi tetesan air itu tidak bisa sampai ke benih, sehingga benih ini butuh waktu lama untuk bisa terbuka. Dan bisa jadi ia sudah mati dan belum ada tanda-tanda untuk terbuka.
Barangkali murid seperti ini hanya akan bisa menyalahkan guru yang men-talqin-nya, kemudian ia mengatakan, “Sebenarnya saya tidak perlu bimbingan dan talqin dari guru ini, karena tidak ada hasil dan manfaatnya bagi diri saya.” Ia tidak paham, bahwa tugas seorang guru hanyalah menanam benih di bumi si murid. Sementara tugas seorang murid adalah memperbanyak dzikir dan berperilaku dengan perbuatan-perbuatan yang diridhai. Kemudian kalau terbukanya si murid ini terlalu lamban, maka hal itu kembali kepada Allah, dan bukan dialamatkan kepada sang guru. Maka murid yang semangatnya sangat kendor ini ibarat kapas yang digunakan untuk menyulut bunga api pada korek. Apabila kapas itu kering maka percikan bunga api akan segera menyala, tapi kalau kapas itu basah maka seluruh percikan bunga api akan padam. Maka pahamilah!
Kalau seorang murid telah mendapatkan bimbingan dan talqin dzikir dari seorang guru, kemudian ia berbuat maksiat atau berperilaku yang menyalahi kesopanan (adab), maka ia wajib mengulangi pen-talqin-an, agar setan yang ada di dalam dirinya bisa keluar dari sarangnya. Sebab talqin dzikir adalah sarana untuk mengusir setan, sedangkan berperilaku yang menyalahi kesopanan dapat memasukkan setan ke dalam dirinya.
Kami pernah mendengar Tuan Guru Muhammad asy-Syanawi berkata: “Apabila seorang murid telah mendapatkan talqin, kemudian ia melakukan tindakan yang menyalahi kesopanan, maka ia ibarat sebutir benih yang dimakan ulat, lalu membusuk dan berubah wujud. Setelah itu tidak ada harapan untuk bisa tumbuh dan bersemi, apalagi menghasilkan buah. Akan tetapi benih yang ditanam sang guru tersebut akan rusak secara total.”
Kasus seperti ini banyak dialami oleh para murid di zaman sekarang ini. Tak seorang pun dari mereka yang berusaha memperbarui talqin kepada sang guru. Akhirnya mereka tidak mendapatkan manfaat apa-apa, dan hanya menjadi tubuh yang tak bernyawa, ibarat sebatang kayu yang disandarkan. Maka tidak ada upaya dan kekuatan apa pun selain dengan Allah Yang Maha Agung.
Buah dari Talqin Secara Khusus
Talqin secara khusus adalah talqin suluk (perilaku menempuh Jalan Allah) setelah ia masuk ke dalam lingkaran (anggota) kaum sufi, dimana gambarannya adalah sebagai berikut:
Seorang guru tarekat akan bermunajat dan menghadap kepada Allah Swt. kemudian ketika ia berkata kepada sang murid: “Ucapkan kalimat: Laa ilaa ha illallahu“ maka ia mencurahkan kepada sang murid seluruh ilmu syariat suci yang telah menjadi bagiannya. Setelah sang murid ini mendapatkan talqin, ia tidak perlu lagi menelaah kitab-kitab syariat sampai ia mati.
Syekh Abu al-Qasim al-Junaid —rahimahullah— berkata: “Ketika guruku, Syekh Sari as-Saqathi men-talqin-ku maka beliau mencurahkan seluruh ilmu syariat yang ia miliki kepadaku.”
Al-Junaid juga berkata: “Tidak ada ilmu yang turun dari langit dan Allah menjadikan jalan untuk makhluk menuju ke sana, kecuali Allah juga akan memberiku bagian tertentu untuknya.” Ia juga pernah berkata: “Orang yang hendak menjadi pemimpin dalam pengambilan janji (sumpah), membimbing dzikir (talqin) dan menunjukkan jalan para murid dibutuhkan orang yang benar-benar mendalami ilmu syariat. Sebab setiap gerak-geriknya akan menjadi pertimbangan secara hukum (syariat).”
Kalau di saat ini ada orang yang mengklaim dirinya telah menjadi guru tarekat (sufi) dan kemudian mengatakan, bahwa hal ini tidakmenjadi syarat dalam melakukan talqin dan bimbingan kepada para murid, ini hanya karena ia tidak sanggup melakukannya. Kalau ada guru tarekat seperti ini maka kita bisa mengatakan kepadanya, “Ini berarti anda telah mengatakan, bahwa para guru tarekat salaf adalah orang-orang bodoh.” Ini banyak terjadi pada orang-orang yang telah mendirikan perguruan tarekat dengan cara yang tidak benar. Sehingga ia mengatakan tentang setiap syarat yang ia lihat pada setiap tingkatan spiritual (maqamat) bukanlah termasuk syarat menjadi guru tarekat yang hendak men-talqin dan membimbing para murid. Hal ini ia katakan demikian, karena ia takut aibnya terbuka di masyarakat. Andaikan ia orang yang berakhlak mulia dan memiliki kesopanan tentu ia akan berkata, “Hal ini aku tidak sanggup melakukannya.” Kemudian ia meminta kepada guru lain yang bisa mengantarkannya, sebagaimana yang dilakukan orang-orang yang jujur.
Manfaat Dzikir dan Cara Melakukannya
Perlu anda ketahui, bahwa manfaat dzikir tidak bisa dihitung jumlahnya. Sebab orang yang berdzikir akan menjadi “teman dekat” Allah, yang tidak ada lagi perantara antara dia dengan Allah Swt. Maka tidak ada seorang pun yang tahu, berapa banyak apa yang dipilihkan Allah untuknya dari berbagai ilmu dan rahasia ketika ia sedang berdzikir. Karena ini merupakan hadirat yang tidak seorang pun bisa mendatangi dan memisahkannya tanpa pertolongan Allah Swt.
Maka bisa ditanyakan kepada orang yang mengaku, bahwa saat berdzikir ia bisa hadir dengan sepenuh hati ke hadirat Allah Swt.:
“Apa yang dipilihkan dan diberikan kepada anda di majelis ini?” Kalau ia menjawab, “Kami tidak diberi apa-apa?” Maka kita bisa mengatakan kepadanya, “Anda adalah orang lain yang tidak mau menghadirkan sesuatu, maka ambil dan jadikan sesuatu (yakni guru) yang bisa menghilangkan berbagai kendala dan halangan dari diri anda untuk bisa hadir dengan sepenuh hati.” Kalau ia belum juga mengambil dan menjadikan seorang guru, maka kita bisa mengatakan kepadanya, “Maka perbanyaklah dzikir sekalipun tidak bisa hadir sepenuh hati.” Demikianlah sebagaimana yang dikatakan oleh penulis Kitab al-Hikam, Ibnu ‘Atha’illah as-Sakandary, “Janganlah anda meninggalkan dzikir hanya karena anda tidak bisa hadir sepenuh hati dengan Allah. Sebab lupa Allah dengan tidak berdzikir itu lebih parah daripada lupa anda dengan Allah ketika sedang berdzikir.” Semoga Allah meningkatkan anda dari dzikir yang disertai dengan kelengahan hati menuju dzikir yang disertai dengan kesadaran hati, dan kemudian meningkat menjadi dzikir yang disertai dengan kehadiran hati, dan dari dzikir yang disertai kehadiran hati menuju dzikir disertai dengan hilangnya segala sesuatu selain Yang diingat (yakni al-Madzkur, Allah). Dan hal itu bukanlah hal yang berat bagi Allah.
Kaum sufi telah sepakat, bahwa dzikir merupakan kunci segala kegaiban, menarik kebaikan, penghibur orang yang sedang gelisah, dan mandat kewalian. Maka tidak sepantasnya seseorang meninggalkan dzikir sekalipun dengan hati yang lengah. Andaikan bukan karena mulianya dzikir tentu saja kegiatan yang tidak dibatasi oleh waktu, kondisi dan tempat tertentu ini sudah cukup sebagai isyarat kemuliaannya.
Allah Swt berfirman: “(Yaitu) orang-orang yang mengingat (berdzikir) kepada Allah, baik dengan berdiri, duduk maupun sambil berbaring …“ (Q.S. Ali Imran: 191)
Kaum sufi mengatakan: Tidak ada yang lebih cepat untuk membuka pintu rahmat Allah daripada dzikir. Dimana ia merupakan penyatu dari berbagai kesemerawutan hati orang yang bersangkutan. Apabila dzikir telah menguasai orang yang berdzikir, maka NamaYang diingat akan bercampur dengan ruh orang yang berdzikir, sehingga pernah terjadi pada sebagian orang yang berdzikir, kepalanya terbentur oleh batu, lalu darah yang menetes ke tanah mengukir lafal Allah, Allah.
Perlu anda ketahui wahai saudaraku, bahwa tidak akan bisa merasakan kedamaian dengan berdzikir kecuali orang yang bisa merasakan kegelisahan akibat lupa Allah. Sementara orang yang sudah terlalu hanyut tidak akan menemukan kedamaian dan kegelisahan. Ia tidak takut binatang buas maupun ular.
Setelah kami sebutkan sekilas tentang manfaat dzikir, maka berikut akan kami sebutkan tentang keutamaan dzikir yang disebutkan pada beberapa Hadis Nabi Saw. Sebab semangat hati akan menjadi kuat dengan melihat beberapa kelebihan dan keutamaan yang disebutkan pada dalil. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, Muslim dan para ahli hadis yang lain dengan Hadis Marfu’: “Bolehkah aku memberi tahu kalian tentang amal kalian yang terbaik, yang paling bersih di sisi Tuhan Sang Raja, paling tinggi derajatnya, lebih baik bagi kalian daripada kalian menginfakkan emas dan uang, dan lebih baik bagi kalian daripada kalian bertemu musuh lalu kalian mampu memenggal leher mereka dan mereka juga memenggal leher kalian?” Para sahabat menjawab, “Tentu! Ya Rasulullah.” Maka Rasulullah memberi jawaban: “Yaitu dzikir kepada Allah.”
Imam al-Bukhari dan Muslim juga meriwayatkan dengan Hadis Marfu’ yang panjang, berikut hanya sebagian dari potongan Hadis tersebut: “Allah Swt. berfirman: ‘Aku berada pada dugaan hambaKu terhadap Diri-Ku, dan Aku selalu bersamanya ketika ia mengingat-Ku’.”
Dalam riwayat lain disebutkan: “Aku bersama hamba-Ku ketika ia mengingat-Ku dan kedua bibirnya selalu bergerak karena-Ku.”
Mu’adz bin jabal r.a. berkata: Terakhir kali ucapan yang pernah kudengar dari Rasulullah, kemudian tidak lama beliau wafat dimana aku sempat bertanya kepada beliau, “Amal apa yang paling disenangi oleh Allah Swt.?” Maka beliau menjawab, “Engkau mati, sementara lisanmu masih basah untuk mengingat Allah.”
Dalam Kitab Sahih disebutkan dengan Hadis Marfu’: “Sesungguhnya segala sesuatu ada alat untuk menggosok hingga mengkilap, dan sesungguhnya alat untuk memengkilapkan hati adalah berdzikir kepada Allah. Dan tidak ada sesuatu yang lebih bisa menyelamatkan diri dari siksa Allah daripada berdzikir kepada Allah. ” Kemudian para sahabat bertanya, “Bukankah berjihad demi membela agama Allah?” Beliau menjawab, “Dan tidak pula ia mampu memenggal leher musuh dengan pedang hingga terputus.”
Sementara itu Ibnu Hibban meriwayatkan dalam Kitab Sahihnya, dengan Hadis Marfu’: “Sungguh ada suatu kaum di dunia yang masih berdzikir kepada Allah di atas tempat tidurnya yang terbentang, maka Allah akan memasukkan mereka ke tingkatan-tingkatan tertinggi.”
Imam al-Bukhari dan Muslim juga meriwayatkan dengan Hadis Marfu’: “Perumpamaan orang yang selalu berdzikir (mengingat) Tuhannya dengan orang yang tidak pernah mengingat Tuhannya adalah seperti orang hidup dengan orang mati.”
Imam Ahmad dan ath-Thabrani meriwayatkan: Bahwa ada seseorang bertanya kepada Rasulullah Saw., “Wahai Rasulullah, siapa orang yang berjihad demi agama Allah yang paling besar pahalanya?” Maka Rasulullah menjawab, “Mereka yang paling banyak mengingat Allah, kemudian mengingat shalat, zakat, haji, dan sedekah.” Sementara itu Rasulullah hanya mengatakan, “Mereka yang paling banyak mengingat Allah.” Lalu Abu Bakar berkata kepada Umar, “Wahai Abu Hafsh, orang-orang yang selalu mengingat Allah pergi dengan membawa seluruh kebaikan. ” Kemudian Rasulullah menimpali, “Ya, tentu saja.”
Ath-Thabrani meriwayatkan, bahwa Rasulullah bersabda: “Tidak ada yang disesali oleh penghuni surga kecuali saat-saat yang telah berlalu dimana mereka tidak mengingat Allah Swt.”
Ath-Thabrani juga meriwayatkan dengan Hadis Marfu’: “Barangsiapa tidak mengingat Allah maka ia benar-benar bebas dari iman.”
Syekh Abu al-Mawahib berkata, “Barangsiapa melupakan Allah maka ia benar-benar telah kufur.”
Dalam sebuah Hadis Qudsi disebutkan: “Allah Azza wa Jalla berfirman: Wahai anak cucu Adam, sesungguhnya jika kamu mengingat-Ku berarti kamu telah bersyukur kepada-Ku, dan jika kamu melupakan-Ku berarti kamu telah kufur kepada-Ku.”
Lupa di sini secara mutlak, baik lupa akibat kelengahan yang terjadi karena kebodohan tentang Allah sehingga ia menyekutukan-Nya, atau lupa karena lengah dan berpaling dan al-Haq, sementara cara yang ditempuh adalah tercela.
Kalau ada pertanyaan, “Mana yang paling bermanfaat antara dzikir sendirian dengan dzikir secara berjamaah?” Maka jawabannya bisa berbeda-beda: Dzikir sendirian tentu lebih bermanfaat bagi orang-orang yang mampu mengasingkan diri dan makhluk (khalwat). Begitu sebaliknya, dzikir secara berjamaah akan lebih bermanfaat bagi mereka yang tidak bisa mengasingkan diri dari makhluk.
Jika anda bertanya: Mana yang paling bermanfaat antara dzikir secara pelan-pelan (sirri) dengan dzikir secara keras? Maka jawabannya adalah, bahwa dzikir secara keras akan lebih bermanfaat bagi para pemula yang hatinya masih belum lunak. Sedangkan dzikir secara sirri akan lebih bermanfaat bagi mereka yang telah suluk dan dikuasai oleh kebersamaan (dengan Allah).
Jika anda bertanya: Apakah perkumpulan untuk berdzikir itu lebih baik ataukah justru tindakan bid’ah sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian orang? Maka kami jawab: Perkumpulan tersebut justru dianjurkan dan disenangi oleh Allah dan Rasul-Nya. Lalu ibadah apa yang lebih baik dari ibadah suatu kaum yang berkumpul untuk berdzikir kepada Allah, dan dengan dzikir mereka bermunajat kepada-Nya? Jika anda bertanya: Apa argumentasi yang menguatkan, bahwa perkumpulan untuk berdzikir bersama itu lebih baik? Maka kami jawab: Dalil yang menguatkan hal itu adalah Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan at-Tirmidzi dengan Hadis Marfu’: “Setiap kali suatu kaum duduk bersama untuk berdzikir kepada Allah, tentu akan ada malaikat yang mengepungnya, diliputi oleh rahmat dan diturunkan suatu ketenangan, dan Allah akan menuturkan mereka kepada makhluk yang ada di sisi-Nya.”
Imam al-Bukhari juga meriwayatkan dengan Hadis Marfu’: “Sesungguhnya Allah Swt. memiliki para malaikat yang selalu berkeliling untuk mencari orang-orang yang biasa berdzikir. Apabila mereka menemukan suatu kaum yang berdzikir kepada Allah Azza wa Jalla, mereka akan saling memanggil: “Kemarilah pada apa yang kalian perlukan.” Rasulullah melanjutkan kisahnya: ‘Akhirnya mereka mengepung kaum tersebut dengan sayap-sayap mereka mengarah ke langit dunia.’”
Imam Ahmad meriwayatkan Hadits dan Rasulullah dengan sanad yang baik: “Setiap kali ada suatu kaum yang berkumpul untuk berdzikir kepada Allah Azza wa Jalla, dimana mereka hanya mengharapkan ridha-Nya, tentu akan ada yang memanggil dari langit: Hendaknya kalian bangkit dengan terampuni dosa-dosa kalian. Sungguh kejelekan kalian telah diganti dengan kebaikan.”
Imam at-Tirmidzi juga meriwayatkan sebuah Hadis Marfu’ dengan sanad yang baik dan yang searti dengan Hadits di atas: “Setiap kali ada suatu kaum yang berkumpul untuk berdzikir kepada Allah Azza wa Jalla, dimana mereka hanya mengharapkan ridhaNya, tentu akan ada yang memanggil dari langit: Jika kalian lewat di pertamanan surga maka merumputlah!” Kemudian para sahabat bertanya: “Apa yang dimaksud pertamanan surga wahai Rasulullah?” Rasulullah Saw. menjawab: “Yaitu lingkaran manusia ketika sedang berdzikir.”
Ibnu Hibban meriwayatkan Hadis Marfu’ dalam Kitab Sahihnya: ‘Allah Swt. berfirman: Bakal diketahui Ahlul Jam’i (orang-orang yang biasa berkumpul) dengan Ahlul Karam (mereka yang dermawan). Kemudian Rasulullah ditanya, Siapa Ahlul Karam itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Mereka orang-orang yang biasa berdzikir di mesjid-mesjid. Maka berdzikirlah kepada Allah sehingga orang-orang mengatakan, ‘Ia orang gila’.”
Abu Dawud meriwayatkan: “Sungguh aku duduk bersama kaum yang berdzikir kepada Allah Swt. mulai dari shalat Subuh hingga terbit matahari, adalah lebih aku senangi daripada memerdekakan empat orang budak dari anak cucu Ismail. Dan sungguh aku duduk bersama kaum yang berdzikir kepada Allah Swt. mulai dari shalat Asar hingga terbenam matahari, adalah lebih aku senangi daripada memerdekakan empat orang budak.”
Para ulama mengatakan: Rasulullah mengkhususkan anak cucu Nabi Ismail a.s., karena memerdekakan seorang budak dari keturunan Ismail a.s. nilainya sama dengan memerdekakan dua belas orang budak selain keturunan Ismail.
Imam Alimad meriwayatkan dari Abdullah bin Amr bin Ash yang mengatakan: Aku bertanya kepada Rasulullah Saw, “Apa keuntungan dari majelis-majelis dzikir?” Beliau menjawab, “Keuntungan dari majelis dzikir adalah surga.”
Syekh Izzuddin bin Abdussalam mengatakan: Hadits ini dan yang semisal disamakan dengan tingkatan perintah. Sebab setiap perbuatan yang dipuji oleh Sang Pembuat syariat atau pelakunya dipuji karena perbuatan tersebut atau dijanjikan dengan kebaikan, baik sekarang maupun yang akan datang, maka perbuatan tersebut diperintahkan. Hanya saja perintah ini ada pilihan antara wajib dan sunah (dianjurkan). Sementara Hadis-hadis yang menerangkan hal ini cukup banyak.
Para ulama, baik salaf maupun khalaf telah bersepakat dalam menganjurkan dzikir kepada Allah Swt. secara berjamaah, baik di mesjid maupun di tempat-tempat yang lain. Kesepakatan ini tidak ada seorang pun dari mereka yang menentangnya. Kecuali bila kegiatan dzikir mereka bisa mengganggu ketenangan orang yang sedang tidur atau orang yang sedang shalat atau membaca al-Qur’an dan lain-lain, sebagaimana yang telah ditetapkan dalam kitab-kitab fikih.
Imam al-Ghazali menyamakan dzikir seorang diri dan dzikir secara berjamaah dengan adzan sendirian dan adzan secara bersama, dimana ia mengatakan: “Sebagaimana suara orang-orang yang berazan secara bersama akan lebih menggema di angkasa daripada suara adzan sendirian. Maka berdzikir secara berjamaah dengan satu hati tentu lebih berpengaruh dalam menghilangkan hijab (tabir) daripada berdzikir seorang diri.”
Adapun masalah pahala yang mereka dapatkan ketika sedang berdzikir secara berjamaah, maka masing-masing orang akan mendapatkan pahala dan dzikirnya dan pahala dan mendengar dzikir temannya.
Sementara alasan yang menguatkan tentang dzikir dengan berjamaah akan lebih berpengaruh dalam menghilangkan hijab, adalah karena al-Haq Swt. telah menyamakan hati dengan batu yang keras. Sebagaimana yang kita maklumi, bahwa batu besar sulit dipecahkan kecuali dengan kekuatan bersama yang berpadu dalam satu hati. Sebab kekuatan bersama akan lebih dahsyat daripada kekuatan seorang diri. Oleh karenanya, mereka menyanatkan dalam berdzikir harus dengan kekuatan yang optimal. Mereka berargumentasi dengan firman Allah Swt., “Kemudian setelah itu hati meneka mengeras bagaikan batu, atau justru lebih keras daripada batu, (Q.S. al-Baqarah: 74). Sebagaimana batu tidak bisa dipatahkan kecuali dengan kekuatan yang dahsyat. Maka demikian pula dzikir tidak mampu mengumpulkan kesemerawutan hati yang bersangkutan kecuali dengan kekuatan yang optimal.
Kalau ada pertanyaan: Dzikir manakah yang terbaik antara La Ilaha IllaLlah atau ditambah dengan : “MuhammadurRasulullah” (Muhammad Utusan Allah)? Maka jawabannya:
Dzikir yang terbaik bagi orang-orang yang menempuh jalan Allah (para salik) adalah La Ilaha IllaLlah tanpa ditambah dengan “Muhammadun-Rasulullah“, sampai berhasil adanya kebersamaan dengan Allah Swt. di dalam hatinya. Ketika kebersamaan ini telah terjadi pada hati seseorang maka dzikir yang terbaik ditambah dengan Muhammadun-Rasulullah. Sebab dzikir Muhammad Rasulullah adalah sebuah pengakuan (ikrar), sedangkan pengakuan bisa hanya sekali dalam seumur hidup. Dan tujuan mengulangulang kalimat Tauhid “La Ilaha IllaLlah” adalah memperbanyak penyingkapan terhadap hijab-hijab nafsu, disamping juga mengucapkan kalimat Tauhid “La Ilaha IllaLlah” benanti menunaikan perintah Rasulullah yang pernah mengatakan: “Ucapkan kalimat, ‘La Ilaha IllaLlah,’” ini berarti sekaligus menetapkan dan mengakui tentang kerasulannya. Oleh karenanya, dalam sebagian riwayat hanya menyebutkan dengan kalimat “La Ilaha IllaLlah” dimana Rasulullah Saw. pernah bersabda: “Aku diperintah untuk memerangi manusia sampai mereka mengucapkan kalimat: ‘La Ilaha IllaLlah (tiada Tuhan yang haq selain Allah).’ Apabila mereka telah mengucapkannya, berarti mereka benar-benar telah melindungi darah dan harta mereka dariku, kecuali yang menjadi hak Islam dan perhitungannya kepada Allah.”
Dalam riwayat ini Rasulullah tidak mengatakan: “Muhammadur-Rasulullah (Muhammad Utusan Allah.)” Sebab kesaksian ini juga mengandung kesaksian akan kerasulannya.
Kalau ada pertanyaan: Mana yang terbaik antara dzikir dengan membaca al-Qur’an, dimana membaca al-Qur’an merupakan dua kegiatan ritual sekaligus, yakni membaca dan juga dzikir? Maka jawabannya: Dzikir adalah lebih baik bagi murid, dan membaca al-Qur’an lebih baik bagi orang yang sudah sempurna yang mampu mengetahui keagungan Allah Swt. Sementara yang kami maksud dzikir dan membaca al-Qur’an di sini tidak terikat dengan waktu. Akan tetapi kalau terikat dengan waktu dan kondisi maka dzikir akan lebih baik bila diletakkan pada posisinya dari membaca al-Qur’an, juga akan lebih baik bila diletakkan pada posisinya.
Syekh Izzuddin bin Abdussalam mengatakan: “Suatu ketika membaca al-Qur’an menjadi lebih utama daripada dzikir, dan suatu ketika berdzikir juga akan lebih utama daripada membaca al-Qur’an.” Ia melanjutkan: “Para ulama telah berbeda pendapat tentang mana yang terbaik antara ucapan seorang hamba: Allah, Allah, Allah … ataukah “La Ilaha IllaLlah”? Maka sebagian kaum sufi berpendapat, bahwa berdzikir dengan lafal Jalalah (Allah, Allah, Allah …) adalah lebih baik bagi para pemula. Sementara itu sebagian besar kaum sufi, para ahli hadis dan para ahli fikih telah berpendapat, bahwa berdzikir dengan kalimat Tauhid “La Ilaha IllaLlah” adalah lebih baik bagi para pemula dan orang-orang yang telah sampai pada tujuan. Dan ada pula sebagian kaum sufi yang berpendapat, bahwa kalimat Tauhid “La Ilaha IllaLlah” adalah dzikir bagi para pemula, sedangkan kalimat Allah, Allah, Allah adalah dzikir orang-orang yang telah mencapai tujuan. Masing-masing dari mereka yang berpendapat demikian memiliki argumentasi sendiri-sendiri.
Adapun sanad kaum sufi tentang mengenakan serpihan kain (khirqah) kepada murid adalah sebagaimana yang kami riwayatkan dan al-Hafizh Dhiya’uddin al-Maqdisi, al-Hafizh Ibnu Musdi, dan al-Hafizh Syekh Jalaluddin as-Suyuthi, bahwa Hasan al-Bashri dan Uwais al-Qarni mengenakan serpihan kain kepada sahabatnya. Sementara Hasan al-Bashri menceritakan, bahwa ia mengenakan serpihan kain dari tangan Ali bin Abu Thalib r.a., sedangkan Uwais al-Qarni memberitahukan bahwa ia mengenakannya dari tangan Umar bin Khaththab r.a. dan Ali bin Abu Thalib. Sedangkan kedua sahabat ini mengenakannya dari tangan Rasulullah Saw., dan Rasulullah sendiri dari tangan Jibril a.s. dengan perintah dari Allah Azza wa Jalla.
Perlu anda ketahui wahai saudaraku, bahwa sebagian ahli hadis tetap membantah kesahihan sanad mengenakan serpihan kain ini dari sisi persambungan sanadnya pada setiap generasi, sampai akhirnya muncul Syekh Jalaluddin as-Suyuthi yang kemudian menyatakan, bahwa sanad mengenakan serpihan kain ini sahih, yang jalur sanadnya mengikuti para huffazh hadis. Sedangkan Hasan al-Bashri sendiri sempat mendengar dan bertemu dengan Ali r.a. — sebagaimana yang telah kami jelaskan di muka dalam menjelaskan sanad talqin kaum sufi.
Syekh Muhyiddin Ibnu al-’Arabi pernah mengenakan serpihan kain ini kepada sang murid sembari mengatakan: “Ini aku lakukan hanya karena mengambil berkah dengan apa yang dilakukan para salaf Sedangkan aku sendiri tidak menemukan dalilnya.” Ia menyebutkan pada bab kedua puluh lima dan Kitab al-Futuhat, sebagai berikut: ‘Aku tidak bisa mengatakan tentang pendapat mengenakan serpihan kain yang dilakukan oleh kaum sufi. Aku mengetahui serpihan kain ini hanya sebatas untuk persahabatan dan adab, bukan yang lain. Oleh karenanya, mengenakan serpihan kain ini tidak ditemukan sanadnya bersambung dengan Rasulullah Saw. Akan tetapi ketika aku bertemu dengan Khidhir a.s. di Mekkah dan aku melihatnya mengenakan pakaian ini kepada para wali, maka sejak saat itu aku bisa mengatakan suatu pendapat tentang pakaian simbolis ini. Akhirnya aku mengenakannya dari tangan Khidhir yang waktu itu aku berada di sudut Hajar Aswad. Akhirnya setelah itu aku juga mengenakannya kepada para murid. Demikian pula dalam beberapa kesempatan lain aku pernah mengenakannya dari tangan Isa a.s.” Lebih lanjut ia mengatakan:
“Sedangkan rahasia dalam mengenakan pakaian simbolis ini, adalah ketika seorang guru ingin menyempurnakan tingkatan spiritual si fakir (murid), sedangkan sang guru dalam kondisi spiritual ekstase yang tak terkendalikan, maka ia akan mencabut pakaian yang sedang ia kenakan kemudian dikenakan pada sang murid yang ingin disempurnakan tingkatan spiritualnya. Akhirnya kondisi sang guru yang pada saat itu telah memuncak akan menular kepada sang murid. Akhirnya kondisi spiritual sang murid akan menjadi sempurna dalam akhlaknya.” Maka pakaian simbolis yang dikenal di kalangan kaum sufi ini ibarat sebuah mahkota dari seorang raja. Adapun orang yang mengenakannya tidak dalam kondisi spiritualnya memuncak maka ia hanya berusaha meniru dan mencari berkah dengan kaum sufi salaf dan bukan yang lain.
Jika sekarang anda telah tahu, maka aku ingin mengatakan — dan hanya Allah yang akan memberi pertolongan:
Syekh al-Mursi, Abu al-Abbas — rahimahumullah — mengatakan:
‘Wajib bagi seorang (guru) yang hendak mengenakan serpihan kain kepada para murid dengan cara suluk untuk menjelaskan orang-orang yang menjadi silsilah (sanad)nya. Sebab pada saat ini hal itu merupakan suatu riwayat. Sedangkan riwayat harus dijelaskan dan ditentukan orang-orang yang menjadi sanadnya. Sedangkan orang-orang yang melakukan hal itu karena jaddah Ilahiah (kondisi di luar kesadaran karena tertarik oleh magnet Ilahi), maka mereka tidak wajib menentukan sanad para guru ketika sedang mengenakan pakaian simbolis ini kepada para murid. Sebab hal itu merupakan hidayah (petunjuk) dari Allah Swt. dan membukakan mereka dari pancaran anugerah-Nya.”
Jika anda telah tahu, maka saya mengenakan serpihan kain ini dari tangan Tuan Guru Syekh Zakaria al-Anshari, yang dimakamkan lurus dengan wajah Imam asy-Syafi’i yang lurus dengan jendela Syekh Najmuddin al-Khusyani. Hal itu terjadi pada bulan Muharam 914 H. dimana beliau mengenakannya dari tangan Tuan Guru Syekh Muhammad al-Ghamari, dan al-Ghamari mengenakan dari tangan Syekh Ahmad az-Zahid, dan az-Zahid mengenakan dari tangan Syekh Hasan at-Tustari, dimana Hasan at-Tustari mengenakannya dari tangan Tuan Yusuf al-’Ajami, dan Yusuf al-’Ajami mengenakannya dari tangan Syekh Mahmud al-Ashfahani, dan al-Ashfahani mengenakannya dari tangan Syekh Abdush-Shamad an-Nathtari, dan an-Nathtari mengenakannya dari tangan Syekh Najibuddin Ali bin Burghusy, dan Najibuddin mengenakannya dari tangan Syekh Syihabuddin as-Suhrawardi, dan as-Suhrawardi mengenakannya dari tangan pamannya sendiri, Najib as-Suhrawardi, dimana Najib as-Suhrawardi mengenakannya dari pamannya, al-Qadhi Wajihuddin, dan Wajihuddin mengenakannya dari tangan ayahnya sendiri, Muhammad yang lebih terkenal dengan Amawaih, dan Amawaih mengenakannya dari tangan Syekh Ahmad ad-Dinawari, dan ad-Dinawari mengenakannya dari tanganAbu al-Qasim al-Junaid, dan al-Junaid mengenakannya dari tangan Abu Ja’far al-Haddad, dan al-Haddad mengenakannya dari tangan Abu Amr al-Ushthuhri, dimana al-Ushthuhri mengenakannya dari tangan Saqiq al-Balkhi, dan al-Balkhi mengenakannya dari Ibrahim bin Adham, dan Ibrahim bin Adham mengenakannya dari tangan Musa bin Yazid ar-Ra’i, dan ar-Ra’i mengenakannya dari tangan Uwais al-Qarni, dan Uwais al-Qarni mengenakannya dari tangan Umar bin Khaththab dan Ali bin Abu Thalib, ketika keduanya diperintah oleh Nabi Saw untuk bertemu dengannya.
Sementara itu Umar bin Khaththab r.a. dan Ali bin Abu Thalib mengenakannya dari tangan Rasulullah Saw, sedangkan Rasulullah Saw mengenakannya dari jibril a.s. dan jibril mengenakannya atas perintah Allah Azza wa Jalla. Ini sebagaimana yang saya lihat dalam Risalah Syekh Abdurrahman al-Qaushi, murid dari Abu Abdillah al-Qurasyi, dimana ia meriwayatkan dengan sanad yang sambung sampai dengan Rasulullah Saw, “Bahwa pada saat Isra’ Mi’raj Rasulullah Saw melihat sebuah peti dan cahaya (nur) lalu peti itu dibuka olehJibril. Ternyata di dalamnya terdapat beberapa lembar serpihan kain berwarna merah, hijau, dan hitam. Kemudian Rasulullah bertanya kepada jibril, ‘Apa ini wahai Jibril ?“ Maka Jibril menjawab, “Ini adalah serpihan-serpihan kain untuk umatmu yang khusus.” Dalam Risalah tersebut saya hanya menemukan ini, dan tidak ada yang lain. Maka segala puji hanya milik Allah, Tuhan Pemelihara alam. Mukadimah dari buku ini selesai sudah, dan kita akan segera pada bab berikutnya.