Terhadap orang kafir pun Rasulullah mendo’akan mereka?
“Allahummahdi qowmiy fainnahum laa ya’lamuun, Ya Allah berilah hidyah kepada kaumku sebab sesungguhnya mereka belum mengetahui.” Itu do’a Rasulullah yang paling terkenal untuk orang-orang kafir, saat Rasulullah diperlakukan secara tidak manusiawi oleh orang-orang kafir negeri Thaif hingga menyebabkan gigi Rasulullah patah dan berdarah-darah. Tapi….
Tapi apa ?
Teladan cinta yang sudah Rasulullah contohkan saat ini seolah sirna, meski tidak samasekali. Umumnya kita, umat Islam, peduli terhadap sesama hanya pada saat berdoa saja, Allahummaghfir lilmuslimiina wal muslimaat, walmukminiina walmukminaat, al ahyaa iminhum wal-amwaat, Ya Allah beri ampunan-Mu kepada muslimin lelaki dan perempuan, kepada mukmin lelaki dan perempuan baik yang masih hidup maupun yang sudah wafat. Nah dalam kenyataannya, kepedulian kita terhadap sesama berhenti sampai disini. Umumnya kita, umat Islam, mau membantu sesama saudara muslim hanya kepada mereka yang satu parpol, satu ormas, satu majelis ta’lim atau satu lembaga tarekat saja. Itu kepedulian kita, umat Islam terhadap sesama Muslim. Kepedulian kita, umat Islam, terhadap non Muslim, saya kira anda sendiri sudah bisa membayangkan, betapa telah jauh dari apa yang telah diteladankan oleh Rasulullah Saw.
Dimana letak keistimewaan Cinta seorang hamba kepada Allah?
Cinta seorang hamba kepada Allah adalah cinta Allah kepada hamba-Nya. Ia adalah kehendak-Nya untuk memparipurnakan limpahan rahmat-Nya pada hamba yang dicintai-Nya. Jika rahmat-Nya diberikan kepada hamba-hamba Nya secara umum, tidak demikian dengan Cinta.
O, jadi ketika seorang hamba dapat mencintai Allah, sebenarnya yang “bekerja” itu bukan Cinta si hamba, begitu?
Yang harus kita sepakati dan kita pegang kuat-kuat adalah bahwa Allah itu bersifati qiyaamuhu binafsihi, Allah itu Maha Sendiri dan Maha Mandiri. Kebijakan-Nya tak bisa dipengaruhi oleh apa dan siapapun juga termasuk oleh doa, dzikir dan wirid hamba-hamba Nya. Seperti yang dikatakan Syeikh Imam Qusyairi dalam Risalatul Qusyairiyyah, bahwa Cinta si hamba kepada Allah bukan bentuk dari kecenderungan manusiawi. Kemandirian dan Kesendirian Allah itu suci, terbebas dari segala bentuk sentuhan dan pemahaman. Begitu juga dengan Cinta Allah, ia tidak bisa dideskripsikan, dijelaskan dan dibatas-batasi kecuali dengan Cinta itu sendiri.
Jika demikian, keberadaan cinta-Nya, apa lantas seseorang tidak boleh mengharap Cinta-Nya kepada Allah?
Pengharapan setiap hamba kepada Allah itu satu keharusan, dalam hal apapun termasuk berharap cinta-Nya. Akan tetapi memaksa Allah mewujudkan harapan hambanya itu tindakan yang biadab ![pagebreak]
Tapi kutipan Anda dari Syeikh Imam Qusyairi menyebutkan bahwa Cinta Allah, ia tidak bisa dideskripsikan, dijelaskan dan dibatas-batasi kecuali dengan Cinta itu sendiri, bagaimana ini?
Karena memang begitulah Cinta-Nya. Untuk itu, masih mengutip Imam Qusyairi, menggambarkan si pecinta sebagai yang musnah dalam Sang Kekasih adalah lebih tepat dari pada menggambarkannya sebagai memperoleh bentuk simpati pada-Nya.
Apa tips agar kita dicintai Allah ?
Agar kita dapat dicintai Allah, kata Rasulullah, “Fattabi’uuniy, ikuti langkahku. Yuhbibkumullah, Allah bakal mencintaimu.”
Implementasinya ?
Kata Rasulullah, pertama, “‘Alaika bitaqwallaah fa-innahu jummaa’u kulli khairin; Engkau harus mempunyai ketaqwaan kepada Allah, karena ketaqwaan adalah kumpulan seluruh kebaikan.” Orang yang memiliki taqwa pakaiannya akan indah dilihat mata, tutur katanya indah didengar dan pergaulannya nyaman dirasa. Orang yang memiliki taqwa kebutuhan hidupnya didasari oleh kebutuhan bukan keinginan dan ia cerdas memilah dan memilih mana halal mana haram, mana haq mana bathil.
Yang kedua, kata Rasulullah, “Wa’alaika bil jihaadi fa-innahu ruhbaniyyatul muslimi; Engkau harus melakasanakan jihad, karena jihad adalah pertapaannya kaum Muslim.”
Jihad macam apa ?
Secara global jihad juga bisa diartikan qital atau perang fisik. Tapi menurut hemat saya, jihad dalam konteks ini adalah jihad dalam rangka berupaya untuk menegakkan taqwa agar dicintai Allah; jihad yang menebar rahmah (kasih sayang) baik untuk dirinya maupun untuk lingkungannya, hal ini mengingat karakteristik Islam sebagai agama cinta kasih untuk semesta alam. Jadi, jihad yang membuat bersangkutan untung dan menjadikan orang lain buntung, itu bukan jihad namanya sebab sudah keluar dari konteks rahmatan lil ‘alamiin (menjadi kasih untuk semesta alam).