Makna Wali
Apakah artinya Wali?
Untuk mengenal makna Wali, ada dua titik pandang: Pertama, Wali ber-wazan: fa’iil, bentuk mubalaghah dari faa’il, seperti `aliim, qadiir, dan yang sejenisnya. Makna terminologinya adalah: Orang yang senantiasa berkompeten dalam ketaatannya, tanpa dicelahi oleh kemaksiatan.
Kedua, bisa jadi bentuk fa’iil bermakna maf’uul, seperti qatiil bermakna maqtuul, dan jariih bermakna majruuh. Jadi Wali berarti orang yang dilindungi oleh Allah swt. dengan menjaga dan membentenginya untuk selalu langgeng dan terus menerus dalam ketaatan. Maka, bagi Wali tidak dihiasai akhlak kehinaan yang merupakan takdir kemaksiatan, tetapi Allah melanggengkan Taufiq-Nya yang merupakan takdir ketaatan kepada-Nya. Allah swt. berfiman:
“Dan Dia melindungi orang-orang yang saleh.” (Q.s. Al-A’raaf 196).
Ke-ma’shum-an Wali
Apakah Wali itu selalu terjaga dari dosa (ma’shum)?
Wali tidak harus bersyarat ma’shum, sebagaimana para Nabi. Namun bahwa Wali harus menjaga diri (mahfudz) agar tidak terus menerus melakukan dosa, apabila tergelincir atau salah, maka sifat menjaga diri itu memang tidak menghalangi untuk menjadi identitasnya.
Al-Junayd ditanya, “Apakah orang yang `arif itu pernah berzina?” Lalu Junayd tertunduk sejenak, kemudian mengangkat kepalanya, sembari membacakan ayat, “Dan adalah ketetapan Allah itu, suatu ketetapan yang pasti berlaku.” (Q.s. Al-Ahzaab: 38).
Bila ditanyakan, “Apakah rasa takut itu gugur dalam diri para Wali?” Dijawab, “Pada umumnya, para Wali besar, rasa takut itu telah gugur. Dan apa yang kami katakan, jika rasa takut itu ada, amat jarang sekali terjadi, dan hal itu tidak menghalanginya.”
As-Sary as-Saqathy berkata, “Bila salah seorang memasuki kebun yang penuh dengan pohon-pohon lebat, masing-masing pohon itu ada burungnya, lantas burung itu mengucapkan salam dengan bahasa yang jelas,Assalamu’alaikum wahai Wali Allah,’ jika sang Wali tadi tidak takut bahwa salam burung itu sebagai tipudaya, maka sebenarnya ia benar-benar tertipu.”
Melihat Allah dengan Mata
Apakah dibenarkan melihat Allah di dunia dengan mata, jika ditinjau dari perspektif karamah?
Jawabnya, “Pandangan yang kuat menegaskan penglihatan tersebut tidak dibenarkan, karena telah disepakati oleh Ulama. Tetapi aku mendengar ucapan Imam Abu Bakr bin Furak r.a. yang meriwayatkan dari Musa al-Asy’ary, beliau berkata, `Bahwa masalah melihat Allah di dunia dengan mata, ada dua pendapat’.” UngkapanAbu Musa ini ada di dalam Kitab ar-Ru’yatul Kabiir.
Perubahan Kondisi Ruhani Para Wali
Apakah seseorang bisa menjadi Wali dalam suatu kondisi ruhani tertentu, kemudian pada tahap berikutnya kondisi ruhani itu berubah? Dikatakan, “Bagi orang yang menjadikan syarat kewalian itu harus adanya ketepatan kondisi ruhani, maka perubahan itu tidak diperbolehkan. Namun bagi yang berpandangan, bahwa dalam kondisi ruhani tersebut dia beriman secara hakiki-walaupun kondisi ruhani bisa berubah setelah itu – maka bisa saja ia adalah Wali dan orang yang benar dalam kondisi ruhani tertentu, yang kemudian kondisi ruhaninya berubah. Inilah pandangan yang kami pilih.”
Di antara bagian karamah-karamah Wali itu, antara lain dia mengetahui jaminan rasa aman dari akibat-akibat yang terjadi. Dan akibat-akibat tersebut tidak merubah kondisi ruhaninya. Dengan statemen ini, akan berpadu dengan ungkapan di atas, bahwa seorang Wali itu boleh mengetahui bahwa dirinya adalah Wali.
Wali dan Tipudaya yang Ditakuti
Apakah rasa takut akan tipudaya/cobaan dari Allah itu bisa hilang dari diri Wali?
Dijawab, “Bila dia sirna dari obyek penyaksinya, terlebur dari rasanya dalam kondisi ruhaninya, maka dia adalah orang yang tersirnakan dari tipudaya karena limpahan kewalian yang ada padanya. Sedangkan rasa takut itu adalah bagian dari sifat-sifat kehadiran diri mereka.”
Wali dalam Keadaan Sadar
Apakah kondisi umum yang dialami oleh para Wali dalam keadaan sadar?
Dalam keadaan sadar mereka selalu bersikap benar dalam menyampaikan Hak-hak Allah swt. Mereka selalu memiliki rasa kasih sayang, kepedulian terhadap sesama makhluk dalam berbagai situasi dan kondisinya. Rasa cinta kasihnya melebar kepada siapa saja, kemudian tanggung jawab mereka terhadap sesama makhluk yang dilakukan dengan penuh budi dengan sikap mengawalinya. Semata hanya untuk mendapatkan kebajikan Allah swt. untuk mereka, tanpa tendensi apa pun dari mereka: Para Wali selalu memiliki ketergantungan hasrat atas keselamatan makhluk; meninggalkan segala bentuk tindakan yang menyakitkan mereka; menjaga perasaan agar tidak menimbulkan dendam mereka; membatasi tangannya untuk mendapatkan harta sesama; meninggalkan ketamakan dari berbagai arah terhadap apa yang menjadi milik mereka; mengekang ucapan mengenai keburukan-keburukan mereka; menjaga diri dari penyaksian terhadap kejelekan-kejelekan mereka; dan tidak pernah mencaci terhadap siapa pun di dunia maupun di akhirat.