Ujian Demi Ujian Sampai Bertemu Allah

> Cahaya itu Petunjuk Jalan
Alhamdulillah, aku bersyukur karena aku dan abang-abangku terus bersemangat untuk belajar. Namun sangat disayangkan, kami belajar tetapi tidak dibimbing secara ruhani oleh Mursyid. Hingga suatu saat, seorang ustadz yang juga mendalami tasawuf pernah mengatakan kalau mau belajar tasawuf jangan tanggung-tanggung dan kalau bisa harus berthariqat sehingga dapat dibimbing dengan baik. Kamipun akhirnya beritikad untuk mencari guru tarikat. Namun saat itu kami masih bingung ke mana harus mencari guru dan tarikat apa yang harus kami jalankan.

Harus dibaca juga..

Juli-Agustus 2007. Aku telah menyelesaikan kuliah ku di Melbourne dan langsung pulang ke kampung (Pulau Kijang) untuk bersilaturahmi dengan keluarga. Sesampainya di sana, aku langsung terbawa arus pengajian abang-abangku. Aku melihat perubahan besar mulai terjadi. Abangku sering mengajakku untuk mencari guru yang bisa membimbing kami, namun Allah belum mempertemukan.
Hingga satu hari aku dan abang-abangku berjalan pada sore hari ke persawahan jam 4 sore. Keponakan-keponakan (anak-anak abangku) juga berkumpul ikut meramaikan suasana jalan-jalan sore hari itu. Karena aku ingin mengabadikan suasana sore hari itu dalam gambar, aku membawa sebuah kamera DSLR. Menjelang senja, salah satu keponakanku (anaknya bang H Ali) tiba-tiba berteriak: “Om, Pak, ada lafadz Allah…di langit”..serta merta kami semua memandang ke langit di ufuk  Barat di mana matahari mulai tenggelam.
Perasaan kami waktu itu bercampur-campur antara perasaan takjub, kaget, bersyukur, dan haru ketika kami akhirnya melihat Lafadz Allah di Langit yang dirangkai dari kumpulan awan-awan dengan background langit memerah kekuning-kuningan.

Subhana Allah…aku bergumam saat itu. Allahu Akbar…pekik abangku H. Ali. Aku tiba-tiba teringat bahwa baru saja tadi malam kami mengkaji tentang hubungan antara Asma’, Sifat, dan Zat Allah. Spontan aku tekan tombol shutter di kameraku, dan Alhamdulillah aku berhasil mengabadikannya dalam gambar. Dalam hatiku berucap, inilah kenapa aku membawa kamera, mungkin Allah ingin memperlihatkan kebesaran-Nya.

Aku mencoba memotret untuk kedua kalinya, namun tidak berhasil karena mulai memudar.  Namun tak lama setelah itu, muncul lagi cahaya/sinar terang. Tak lama setelah kami tatap, ternyata cahaya itu adalah lafadz Muhammad. Abangku spontan berkata, “Nur Muhammad”…aku yang sempat terkesima beberapa detik langsung tersadar untuk memotret lafadz itu, walaupun gambar yang kudapat tidak begitu jelas.

Saat itu terasa hening dan sangat tenang. Ada kesejukan yang mengalir di hati kami. “Ada apa gerangan yang terjadi?” celetuk abangku.
Sehari setelah itu, kami melanjutkan perjalanan ke desa seberang desa kami. Kami ingin berkonsultasi ke seorang Kyai untuk sebuah masalah keluarga, dan bukan mencari guru yang dapat membimbing kami untuk masuk ke thariqat. Setelah melalui perjalanan yang cukup panjang, sampailah kami di sebuah perkampungan yang terasa sejuk dan damai. Kami sampai di sebuah rumah panggung terbuat dari kayu.

 Bertemulah kami dengan seseorang dengan perawakan sederhana dan tampak lusuh. Dengan lugunya abangku Haris bertanya, “Pak Kyai ada?” orang itu kemudian menjawab, “di sini tidak ada pak Kyai, yang ada Muhani…” Abangku kemudian menjawab,
“O ya, kami mencari Pak kyai Muhani”. Orang itu kemudian menjawab lagi, “kalau pak Kyai tidak ada, kalau Muhani itu kebetulan saya…”
Kami serentak kaget, karena dalam “imaginasi” kami Kyai adalah seorang dengan sosok berwibawa, bersurban, dan memegang tasbih sebagaimana yang sering ditayangkan dalam TV.

Kyai Muhani yang kami temui lain. Beliau hanya seorang petani yang sederhana, ramah, dan teduh, tidak tampak tanda-tanda ke-Kyaian.  Di rumah beliau terpajang beberapa foto. Tapi mata kami terfokus pada salah satu foto. Pak Kyai Muhani mengatakan bahwa foto itu adalah Mbah Djalil Mustaqim, mursyid beliau yang sudah wafat.  
Sebelumnya kami belum tahu bahwa kalau beliau adalah seorang salik, apalagi thariqat yang beliau tempuh. Beliau akhirnya bercerita bahwa beliau salah satu salik thariqat Syadziliyyah.  Setelah berbincang-bincang selama kurang lebih dua jam, beliau mengajak kami untuk shalat berjamaah bersama di Mushalla di depan rumahnya yang juga menjadi tempat pengajian kitab al-Hikam. Seusai zikir bersama, mataku tertuju pada sebuah kalender di dinding Mushalla yang bertuliskan “PETA” Tulung Agung, Jawa Timur.

Abangku tak sungkan untuk menanyakan apa itu PETA? Beliau menjelaskan bahwa PETA adalah pondok pesulukan di Tulung Agung tempat ia belajar dan suluk dibimbing Mbah Djalil. Spontan abangku bertanya, “kalau kami ingin ikut berthariqat bagaimana caranya pak Kyai?” Pak Kyai Muhani menjawab bahwa beliau tidak punya hak untuk mem-baiat. Beliau hanya diberikan wewenang untuk mengijazahi dzikir-dzikir yang dibaca menjelang memasuki thariqat.

Akhirnya ketiga abangku (H. Ali, Haris, dan Udin) mendapatkan aurod Syadziliyah dan Asyfa’. Aku saat itu belum memutuskan untuk ikut. Namun saat itu hatiku bergumam, perjalanan kami yang tadinya hanya diniatkan untuk konsultasi keluarga tak terduga berubah menjadi sebuah jalan menuju thariqat Syaziliyah. 

Inikah yang diisyaratkan Allah dalam Lafadz Nya yang kami saksikan di langit sehari yang lalu? Belum sempat aku menjawab pertanyaanku, tiba-tiba abangku menyela: “Mungkin Cahaya yang kemarin kita lihat menjadi penanda yang Allah berikan ke kita untuk menuju ke sini…”
Kurang lebih sebulan setelah peristiwa itu, tepatnya dua hari setelah Ramadhan, aku dan abangku Kasim yang di Jakarta datang bersilaturahmi ke rumah pak Kyai Muhani. Aku dan abangku Kasim pun akhirnya dianjurkan untuk berpuasa dan membaca asyfa dan kemudian menerima aurod Syadziliah dari beliau.

Next Post

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Top Stories

ADVERTISEMENT

Login to your account below

Fill the forms bellow to register

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.