> Tersadar
Sesampainya aku di Pulau Kijang, aku berbincang-bincang dengan abang-abangku dan ibuku yang masih dilanda kesedihan. Ibuku menuturkan bahwa seminggu sebelum kepergiannya, ayahku sempat bercerita kepadanya bahwa ia bertemu seorang yang sangat baik yang tidak pernah ia ketemui sebelumnya mengajak dan mentraktirnya untuk minum kopi di warung dekat pelabuhan.
Sambil minum kopi, orang itu menasihati ayahku: “Pak, berpalinglah dari dunia dan hadapilah Tuhanmu…” Ibuku sambil terisak bercerita bahwa sejak peristiwa itu ayahku banyak diam dan menyendiri. Bahkan ia tak pernah lagi pusing dengan toko yang selama ini ia kelola. Biasanya setiap penghasilan yang didapat dari toko akan ia simpan untuk menjadi modal dagang berikutnya. Namun saat itu, ketika ibuku menyerahkan penghasilan dari toko, hanya ia pegang sebentar lalu ia serahkan lagi ke ibuku. Beberapa hari kemudian, Ia dipanggil Allah dalam keadaan tertidur pulas, begitu penuturan dari abang sulungku bang H. Ali.
Setelah melalui berbagai peristiwa ini, abang-abangku bercerita tentang perubahan yang besar pada diri mereka. Aku tidak tahu apa itu. Yang jelas, abang-abang ku merasa lebih sensitif secara spiritual. Semacam ada panggilan kerinduan yang sudah lama terpendam. Kami sering mengundang para ustadz untuk melakukan pengajian di rumah. Setelah beberapa kali pengajian, akhirnya suatu saat kami mengundang salah seorang ustadz dari sebuah thariqat.
Ia memperkenalkan beberapa konsep dasar dalam tasawuf terutama mengenai hakikat “Nur Muhammad” dan hakikat penciptaan. Saat itu abang-abangku spontan mengatakan “inilah yang selama ini kami rindukan.” Ketika itu Abangku (H. Ali) langsung teringat betapa ia dulu sangat anti-tasawuf dan mengatakan bahwa hal tersebut bid’ah.
Resistensi ini berlangsung cukup lama. Maklum, Abang kami yang tertua ini semakin syari’a-oriented pasca kepulangannya dari ibadah Haji. Dia membawa buku-buku yang berisi fatwa-fatwa yang diberikan secara gratis oleh Kerajaan Saudi di Mekkah. Setelah menjalani beberapa peristiwa di atas, abangku ini akhirnya sadar, bahwa selama ini ia terlalu bersandar pada syari’a dan lupa pada hakikatnya.
Semenjak itu kami sekeluarga sering berdebat mengenai “hakikat.” Kami begitu bersemangat sampai-sampai kami terkadang lupa waktu. Pernah dalam satu hari kami bergadang hingga subuh hanya untuk mengkaji hakikat hidup ini. Kami membaca berbagai buku dan mengutip dari sana sini untuk sekedar menggali beberapa ajaran tawasuf. Aku sering dijadikan rujukan ketika terjadi perdebatan, hanya karena aku pernah di pesantren dan lulus dari IAIN.
Tetapi, itu aku jalankan sebatas pengetahuanku yang sempit tentang tasawuf dan belum pernah aku amalkan. Selama pendidikan ku di Pesantren aku tidak pernah diperkenalkan tentang tasawuf. Tasawuf masih dianggap sangat “sakral” dan belum tepat untuk diajarkan, karena ditakutkan kalau belum siap akan “menyesatkan”.
Aku justru lebih banyak diajarkan dasar-dasar syariah berupa fikih, ushul fiqh, bahasa Arab, tafsir yang semuanya bertemakan tentang dasar-dasar syari’ah. Sedikit sekali aku mendapat pendidikan ruhaniah. Ketika aku duduk di bangku kuliah di IAIN (sekarang UIN), aku diajarkan mata kuliah Tasawuf. Sayangnya, aku mempelajarinya sebatas wacana akademik. Aku tahu tasawuf hanya melalui buku, makalah, diskusi, bukan melalui praktik langsung. “Sangat jauh bara dari api”. Yang aku rasakan malah terbalik: ‘daun spiritualku’ semakin kering. Akhirnya aku merasa terombang-ambing bagai buih dalam lautan ketidakjelasan orientasi hidup. Aku merasa seperti “pecundang spiritual”.
Pernah dalam suatu saat aku diajak oleh abangku Kasim untuk menemui seorang yang abangku yakini memiliki kemampuan spiritual yang dapat membimbingku. Aku turut aja. Apalagi selama ini abang Kasim dikenal sebagai petualang spiritual. Abangku ini pernah belajar ke berbagai guru dan mempelajari ilmu hikmah, sampai-sampai ia pernah menjadi guru ngaji dan dapat mengobati orang yang kesurupan.
Bahkan ia pernah belajar ke guru yang mengklaim bahwa ia dapat menangkap jin dalam botol. Ia bahkan aktif mengikuti wiridan tiap malam jumat di kediaman guru tersebut. Namun abangku dan juga aku akhirnya merasa bahwa pertualangan ini bukan menjadikan kami semakin tenang, tetapi semakin resah. Semakin jauh dari Allah.
Dengan mengikuti pengajian rumah yang diadakan abang-abangku itu, perlahan-lahan aku sadar bahwa selama ini aku memiliki pengetahuan yang tidak aku amalkan sehingga tidak berkah. Astaghfirullah. Aku baru sadar ternyata ada gejolak rindu yang selama ini aku abaikan.
Abangku Kasim juga mulai sadar bahwa selama ini ia belum menemukan guru yang ia harapkan berkah untuk dunia dan akhiratnya. Aku dan Abangku Kasim akhirnya juga mulai mendalami kajian dan wacana tasawuf, tetapi belum ada guru yang membimbing kami. Di samping itu, jarak juga memisahkan kami. Abangku Kasim berada di Jakarta, aku di Melbourne, sementara abangku yang lain tinggal di Pulau Kijang (Riau), sehingga kami tidak bisa mengikuti pengajian di Pulau Kijang.
Hingga suatu saat, abang-abangku yang di Pulau Kijang pernah mendapat satu edisi Cahaya Sufi dari seorang kawan dan setelah membacanya mereka merekomendasikan abang Kasim di Jakarta untuk mengikuti pengajian Kyai Luqman Hakim di perumahan BATAN Serpong dekat dari rumah kami di Jakarta. Namun karena “1001 alasan” kami belum dapat mengikutinya.