Prof. Dr. Mulyadi Kertanegara -Direktur di Center for Islamic Philosophical Studies and Information (CIPSI)
Adalah manusia, diantara makhluk Allah yang lain, yang secara tegas dikatakan oleh-Nya meski merupakan
puncak ciptaan-Nya, manusia diperingatkan untuk terus berjuang meningkatkan kwalitas kemanusiaannya demi tercapainya kesempurnaan diri yang lebih utuh. Jasad, akal dan hati yang menjadi komponen kontruks perkembangan manusia menuju kwalitas diri yang lebih berarti.
Karenanya dalam realitas sosial, kehidupan manusia tak dapat dicakupi oleh politik dan filsafat semata, apapun jenis aliran politik dan filsafat itu. Kenapa demikian? Karena filsafat dan politik itu berpijak pada suatu pengertian tentang hidup, dan ia bukan hidup itu sendiri. Esensi hidup itu tidak dapat tertuang dalam bentuk kata atau pengertian belaka. Ia hanya dapat dipahami dalam “rasa”. Maka jika konsep realitas kehidupan didasarkan pada filsafat dan dalam berpolitik kita mengklaim kebenaran yang mutlak, sebenarnya kita tengah berada pada keangkuhan hidup. Untuk itulah, walau manusia modern telah banyak memiliki disiplin ilmu (seperti psikologi, sosiologi, biologi, antropologi, teologi, ekonomi, politik dan lain sebagainya) yang menjadikan manusia sebagai objek kajian materialnya, masing-masing diffrensiasi metodologis setiap ilmu itu akan melahirkan kesimpulan yang berbeda tentang siapa dan apa hakikat manusia.
Telah lama Al-Qur’an mengkritik pemikiran yang dangkal tentang manusia. Dalam Al-Qur’an manusia tidak cuma harus dimanusiakan, seperti yang dianut paham humanisme renaisance. Lebih dari itu, kecuali sebagai “ahli waris kebudayaan dunia”, manusia adalah wakil Tuhan dimuka bumi untuk melaksanakan “blueprint”-Nya di muka bumi. Malah dalam paradigma sufisme, manusia sengaja diciptakan Tuhan hanya karena Tuhan akan melihat dan menampakkan kebesaran diri-Nya dihadapan makhluk-makhluk Nya. Lalu, apa dan bagaimana pandangan Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara tentang manusia dan sepak terjang kebebasan yang Allah berikan padanya. Bagaimana pula pandangan sufismenya mengenai manusia. Benarkah manusia moderen dikampung global dunia kini membutuhkan tasawuf.
Wajibkah seseorang bertarekat dan bermursyid? Tafsir apa yang dimilikinya terhadap ungkapan popular “hendaknya Anda dengan mursyid seperti mayat ditangan yang memandikannya.”? Apa penuturannya tentang tarian, putaran dan lompatan yang benar-benar nyufi dan sok nyufi ? Berikut penuturan Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara, pengamal tarekat beraliran Naqshabandi yang kini aktif sebagai Direktur di Center for Islamic Philosophical Studies and Information (CIPSI), seputar Manusia dan Dunia Sufi bersama Cahaya Sufi dalam kesempatan acara keluarga di Padepokan “Gawe Rahayu” milik salah seorang keturunan Syeikh Panjalu dibilangan Kembangan Utara Jakarta Barat beberapa waktu lalu.
Membaca sebagian besar karya-karya Anda, sepertinya Anda bersemangat sekali mengarahkan masyarakat untuk lebih dekat kepada Tuhan, menjadikan-Nya sebagai “Asal Sejati” dan “Tujuan Akhir”. Dalam pandangan Anda, apa yang sedang terjadi pada masyarakat kita ?
Seluruh umat manusia dan semua bangsa, di dunia, termasuk Indonesia, tengah hanyut dalam faham materialisme yang berkeyakinan bahwa semua realitas adalah materi. Termasuk manusia, dalam faham ini hanya dilihat dari sudut materi (fisik) nya saja. Maka kemudian penampilan fisik, dan semua yang berkaitan dengan fisik, menjadi sesuatu yang dipuja-puja oleh masyarakat moderen. Mereka melupakan fakta bahwa sesungguhnya manusia juga memiliki aspek (dimensi) spiritual. Manusia adalah makhluk dua dimensional; makhluk fisik tapi sekaligus juga makhluk spiritual.