Para developer bersama para arsitektur sedang berkumpul, saling mendiskusikan konsep rumah masa depan. Masing-masing saling mengajukan konsep perumahan yang indah, sejuk, alami, dan modern, serta terjangkau harganya. Untuk menguatkan rasa rumah idaman berbagai level masyarakat di undang, untuk mengukur selera dan kemampuan konsumen. Termasuk seorang Ulama diundang disana.
“Bagaimana pendapat Pak Kyai mengenai rumah yang akan kita luncurkan ini?” Tanya diantara mereka, karena sudah mengumpulkan berbagai data mengenai selera konsumen dari berbagai pihak.
Lalu sang Kyai mengutip hadits Nabi, “Lihatlah tetanggamu, baru lihat rumahmu…”
“Maksudnya Pak Kyai?”
“Kalau soal konsep perumahan, sudah seharusnya para developer memikirkan lebih dahulu siapa-siapa penghuninya, lingkungan sosialnya, lingkungan alamnya, jangan langsung menawarkan impian bentuk rumahnya, arsitekturnya, atau pun murahnya…” jawab Kyai itu.
Para developer kelihatan menyimak konsep tersebut, dan mereka mencoba menjabarkan seluruh kandungan fatwa itu dalam konsep pemasaran maupun arsitektur dan lokasi.
“Tapi ada yang lebih penting dari itu semua. Makna Tetangga dulu, baru rumah, menurut para Sufi lebih dalam lagi…”
“Wah, ini pasti rumah di langit Pak Kyai?”
“Ya, setengah langit setengah bumi…”
“Pasti ini konsep rumah masa depan….”
“Betul, rumah masa depan di akhirat…”
Semua hadirin terbengong-bengong…Tidak mengerti. Dikira sekadar guyon, ternyata serius.
“Jelasnya, Pak Kyai?”
“Tetanggamu yang hakiki itu Allah. Jadi Allah dulu baru rumahmu. Allah dulu, baru dapat rumah syurga…he..he…he..”
Para developer semakin bengong. Bagaimana menjabarkan “Allah dulu baru syurga” dalam arsitektur dan konsep perumahan. [pagebreak]
Membakar Rumah Tuhan
Baru-baru ini sebuah masjid Ahmadiyah dibakar massa di Jawa Barat. “Gereja saja haram dibakar, apalagi masjid. Ini kegelapan model apa ya di zaman ini?” komentar Parjo pada kawannya.
“Lha ya, dulu masjidil Aqsa pernah dibakar orang Yahudi, seluruh dunia Islam marah. Sekarang orang Islam mbakar-mbakar masjid malahan…” tumpang Salikin, kawan Parjo.
“Tapi mereka itu kan sudah divonis menyimpang oleh MUI, aliran sesat segala….”
“Lhah kalau aliran sesat di Indonesia ini ada 300-an aliran sesat lho…Kok MUI bungkam saja…”
Obrolan pinggir jalan itu membeku, saling merenung diantara mereka, dan tiba-tiba kakek-kakek tua bertongkat ikut nimbrung.
“Sekarang ini sudah banyak orang kebakaran. Modelnya beda-beda. Ada kebakaran jenggot. Ada kebakaran kumis. Ada kebakaran kepala sampai mendidih ubun-ubunnya. Ada kebakaran…kebakaran….” Kakek tua itu menyebutkan ada seratus model kebakaran,sampai kebakaran yang berbau pornografi, yang membuat hadirin terpingkal-pingkal.
“Mbah sampean ini dapat istilah segudang dari mana?” Tanya Parjo.
“Jelek-jelek si Mbah ini kang senang survey…” katanya terkekeh-kekeh.
“Kalau membakar masjid itu model kebakaran apa Mbah?”
“Itu jilatan api neraka yang membakar hati orang yang membakar. Jadilah seperti itu….”
“Yang turut menyulut api neraka berarti ikutan dalam neraka donk Mbah…?” Tanya Paijo agak politis.
“Sudah tau kok bertanya..hehehe….” kata Kakek tua sambil ngeloyor.[pagebreak]
Di Lamar Allah
Seorang gadis yang sedang tergila-gila dengan dunia sufi, mulai tumbuh menjadi gadis yang sedang jatuh cinta. Tapi cintanya tergilakan hanya kepada Allah.
Suatu pagi, tiba-tiba tersentak hatinya.
“Aku ingin bersolek secantik-cantiknya, karena sebentar lagi Allah akan melamarku….” Katanya dalam benaknya sendiri.
Gadis itu pun bersolek di depan cermin.
Tanpa ia sadari ia pun pergi ke tempat kerja seperti biasanya. Ketika masuk ke kantor, betapa mengejutkannya, tiba-tiba seluruh isi ruang kantor berdiri menyambutnya. Tapi menyambutnya tidak dengan cara bertepuk tangan atau menghormatI bak datangnya presiden. Namun menyambut dengan mulut ternganga, sembari berdecak-decak, alangkah cantiknya gadis ini. Ruarrrr biasa!
Si Gadis malah tambah bingung. Ia lari ke toilet untuk mencari cermin. Begitu bercermin kagetnya bukan main. Kenapa matanya jadi bening seperti biadadari. Pipinya jadi merah merona. Bibirnya bak gendewa. Alisnya seperti barisan semut hitam. Bulunya melentik seperti lampu diterpa angin sepoi. Ya Tuhan…ada apa ini? Gumamnya sambil tak habis pikir kenapa dirinya berubah jelita?
Sejenak ia baca istighfar. Lalu ia lari ke Musholla. Disana ia menangis, dan di luar dugaan, ia sudah dikelilingi oleh para Auliya’ dan seorang Sahabat Nabi, yang sedang membawa syurban hijau sebagai tanda lamaran.
“Subhanallah…Allah benar-benar melamarku…” katanya dalam hati…
Siang itu ia tak berani masuk kantor. Hanya diam di Musholla. Berkali-kali istighfar. Lalu ada suara lembut di hatinya.
“Itulah Khirqoh dalam thariqat sufi…Kau telah mendapatkannya…”
Suara itu hilang ditelah sesenggukan tangis dan sesaknya dada. Setelah itu semuanya jadi normal dan biasa lagi. Wallahu a’lam.