Tawakal

Derajat Tawakal
Jika Anda telah tahu bahwa tawakal itu merupakan kondisi kalbu dalam bentuk keyakinan yang bulat kepada Sang Wakil Yang Maha Benar (Allah) dan ketidakpedulian kepada selain-Nya, maka selanjutnya Anda juga harus tahu bahwa tawakal itu memiliki tiga tingkatan, yaitu:

Harus dibaca juga..

  1. Sebagaimana telah kami sinyalir di atas, yaitu seperti kepercayaan kepada seorang pembela yang mewakilinya dalam sebuah persengketaan. Dimana ia telah yakin betul bahwa sang pembela tersebut sangat mumpuni dalam hal memberikan arahan, mampu mengatasi dan mempunyai rasa belas kasih.
  2. Lebih tinggi dan kuat dari tingkatan pertama. Tingkatan ini serupa dengan kepercayaan anak kecil (bayi) kepada sang ibu dan refleksitasnya untuk minta perlindungan kepadanya setiap kali ada yang menimpanya. Yang demikian itu karena dia percaya akan kasih sayang dan pengayoman ibu. Namun bentuk kepasrahan si anak kecil itu musnah, lantaran terwujud tanpa proses pemikiran dan pertimbangan terlebih dahulu, walaupun bentuk kepasrahannya itu tidak lepas dari semacam pengetahuan. Sedangkan kepasrahan atau tawakal seseorang kepada pembela yang mewakilinya dalam sebuah persengketaan, terlebih dahulu melalui proses pemikiran dan pertimbangan.
  3. Tingkatan yang tertinggi adalah, seorang yang bertawakal (mutawakkil) di hadapan Allah seperti mayit di hadapan orang yang memandikannya, bukan seperti bayi. Sebab, bayi itu selalu lengket pada sang ibu dan selalu membuntutinya.

Akan tetapi, seseorang itu dan satu sisi identik dengan anak kecil (bayi), dia tahu bahwa jika tidak meminta perlindungan kepada ibu, sang ibu justru mengusahakannya. Jika tidak membuntuti ibunya, sang ibu menggendongnya. Bila tidak minta disusui, sang ibu yang memulai untuk menyusuinya.
Jadi, di hadapan Allah orang ini tanpa ikhtiar, karena dia tahu bahwa dirinya sekadar menjalankan ketentuan Allah, tidak ada kesempatan atau upaya baginya, kecuali menunggu apa yang akan terjadi kepadanya. Pada tingkatan ini seseorang menolak untuk berdoa dan meminta kepada Allah.
Pada tingkatan pertama dan kedua, doa serta permohonan masih berlaku.

Pada tingkatan ketiga tidak berlaku perencanaan, begitu juga pada tingkatan kedua, kecuali dalam bentuk ketergantungan pada pihak yang menjadi wakil, yang menjadi tempat bergantung.
Pada tingkatan pertama, tidak berlaku perencanaan dalam bentuk ketergantungan pada selain tempat bergantung Allah), namun jalan dan perintah yang telah ditentukan oleh Sang Wakil (Allah) masih tetap berlaku.

Pilar ketiga: Amal nyata. Kadang-kadang orang-orang bodoh mengira, bahwa persyaratan tawakal adalah menganggur, tanpa berobat, pasrah dan menyerah pada hal yang membahayakan. Ini keliru, sebab yang demikian haram dalam ajaran syariat. Agama memuji tawakal dan menganjurkannya, lalu bagaimana mungkin tawakal itu bisa digapai dengan hal yang dilarang oleh agama?
Realisasinya, bahwa usaha manusia tidak lebih dari empat segi: 1) Mengupayakan kegunaan yang belum ada, 2) Memelihara yang ada, 3) Mencegah marabahaya agar tidak terjadi, 4) Menghilangkan marabahaya.

Yang pertama adalah mengupayakan kegunaan atau hal yang bermanfaat. Dalam hal ini ada tiga faktor: 1) Adanya kepastian, 2) Dugaan yang mendekati pasti secara lahiriah, 3) Angan-angan belaka,

Contoh dari yang sudah pasti: Tangan tidak mengambil makanan, padahal dia lapar, lalu berkata, “Ini adalah suatu usaha, sebab aku adalah orang yang berserah diri.” Atau seseorang menginginkan anak, namun tidak menyetubuhi istrinya, atau menginginkan tanaman, namun tidak menanam benih. Ini semua merupakan tindakan bodoh, sebab Sunnatullah tidak berubah. Allah telah memberi tahu Anda, bahwa keterkaitan sebab-akibat ini merupakan sunnah yang tidak ada gantinya.

Sebenarnya sikap tawakal dalam hal ini dilakukan dengan dua hal:
Pertama, hendaklah Anda tahu bahwa tangan, makanan, benih dan kemampuan untuk menggapainya merupakan kekuasaan Allah Swt.
Kedua, jangan bergantung pada tangan, makanan dan benih, tapi bergantunglah kepada Sang Penciptanya.

Bagaimana bisa bergantung pada tangan, padahal ada kemungkinan terpotong ketika itu atau makanan itu sendiri menjadi basi. Ini merupakan bentuk pengejawantahan dan ucapan Anda, “Laa haula wa laa quwata illa billaah (Tiada daya dan kekuatan, kecuali dengan Allah).”
Daya adalah gerak, dan kekuatan adalah kekuasaan. Jika demikian, Anda adalah orang yang bertawakal walaupun Anda berusaha.

Contoh dari yang berupa dugaan: Membawa bekal ketika mengembara di padang sahara atau ketika menempuh perjalanan jauh. Meninggalkan bekal atau tanpa membawa bekal bukan syarat tawakal, tapi itu merupakan kebiasaan orang-orang terdahulu. Namun yang harus dibuat pegangan adalah bentuk kepercayaan atas karunia Allah dengan mencegah perampokan dan menjaga bekal dan kehidupan serta kemampuan untuk berusaha.

Contoh dan angan-angan: Membatasi diri dan upaya penghidupan dan kehidupan, serta membatasi diri untuk menyimpulkan segala hal yang berhubungan dengan masalah tersebut. Ini adalah buah dari sifat tamak dan rakus, dan hal ini bisa menyeret pada tindakan menerima yang syubhat.

Semua itu bertentangan dengan sikap tawakal. Dalilnya adalah pernyataan Rasulullah Saw, bahwa orang-orang yang bertawakal itu tidak menyembunyikan diri dan merasa lemah. Beliau tidak menyatakan, bahwa mereka tidak berdiam di kota-kota besar dan tidak bekerja. Mengaitkan diri pada sebab, seperti jimat dan mantera-mantera, maka meninggalkannya merupakan syarat tawakal.
Di antara bentuk angan-angan pada faktor-faktor penyebab adalah menyimpan bekal. Jika seorang mutawakkil mewarisi harta-benda dan menyimpannya untuk kebutuhan satu tahun atau lebih, maka tawakal nya batal. Namun jika merasa puas dengan makanan hari  ini dan memisahkan sisanya, maka yang demikian itu adalah tawakal yang sebenarnya.

Jika menyimpan untuk kebutuhan empatpuluh hari, tawakalnya batal. Menurut Sahi At-Tastury selain batal, tidak dapat menerima kedudukan terpuji, yang dijanjikan untuk para mutawakkilin. Namun menurut Al-Khawash, tawakalnya tidak batal.

Mereka bersepakat, bahwa lebih dari waktu itu dapat membatalkan tawakal, kecuali bila keluarganya banyak Ia boleh menyimpan makanan bagi keluarganya untuk jangka waktu setahun.
Demikian yang dilakukan oleh Rasulullah Muhammad Saw. dalam memenuhi hak keluarga dan hak diri beliau; beliau tidak menyimpan makanan untuk makan malam dan makanan siangnya. Tidak syak lagi bahwa panjang angan-angan bertentangan dengan tawakal.

Bila jangka waktu penyimpanan tersebut sebentar, yang demikian itu menempati kedudukan lebih tinggi, hanya saja Sunnatullah berjalan seiring dengan berulang-ulangnya rezeki ketika pengulangan tahun. Maka, menyimpan untuk keperluan lebih tinggi dari satu tahun merupakan bentuk kelemahan yang amat sangat dan tidak sedikit pun dapat dikategorikan sebagai sikap tawakal.

Menyimpan cangkir jabung dan perabot rumah boleh-boleh saja, sebab Sunnatullah tidak berlaku dengan pengulangan-pengulangan barang itu seperti pengulangan rezeki. Dan itu dibutuhkan setiap waktu, tidak seperti pakaian musim dingin, pakaian ini tidak terpakai lagi pada musim panas, menyimpannya bertolak belakang dengan sikap tawakal.

Rasulullah Saw. bersabda tentang seorang fakir yang telah dikebumikan, “Bahwasanya, kelak dikumpulkan pada hari Kiamat dan wajahnya seperti rembulan pada malam purnama. Kalau tidak karena satu sifat yang dimilikinya, tentu dia akan seperti matahari yang terang benderang. Dia, bila musim dingin telah tiba, menyimpan pakaian musim panasnya untuk dikenakan pada musim panas.”

Di antara sebab-sebab langsung yang bersifat menolak, seperti tindakan melarikan diri dari binatang buas, lari dari tembok yang miring dan lari menghindari banjir, serta menangkal penyakit dengan obat. Hal ini memiliki tingkatan-tingkatan pula, silakan Anda analogikan dengan apa yang telah kami sinyalir di atas. Kami telah membicarakannya secara panjang-lebar dan menginterpretasikannya dalam kitab Al-Ihya’.

Ketahuilah, bagi orang yang memiliki keyakinan kuat, dan kalbu yang kokoh, tidak menyimpan bekal itu sebagai tindakan terpuji. Sebaliknya, bagi orang berkalbu lemah, dimana bila tidak menyimpan ia gelisah, merasa tidak tentram, pikiran dan tenaganya tidak tercurah pada urusan ibadat, maka jalan paling utama baginya adalah meninggalkan cara hidup para orang yang berserah diri (mutawakkiiin). Jangan membebani diri dengan beban yang di luar batas kemampuannya, sebab kerusakan akan menimpa dirinya lebih besar daripada maslahatnya. Setiap orang hendaklah mengantisipasi sesuai dengan keadaan dan kekuatannya.

Kekuatan maksimal itu batasnya sampai pada kriteria perjalanan jauh di padang sahara tanpa bekal. Ini tentunya bagi orang yang dapat bersabar tidak makan dalam jangka waktu satu minggu dan merasa puas dengan rerumputan, dan itu tidaklah sulit di padang sahara.

Sebaliknya, bila orang lemah melakukan hal itu, berarti ia berbuat maksiat dan mencampakkan diri dalam kebinasaan. Orang kuat yang menahan diri di dalam sebuah gua di sebuah gunung yang tiada rerumputan dan tidak pernah dijamah oleh manusia, haram pula hukumnya, sebab dengan demikian dia telah melanggar dan menantang Sunnatullah yang berlaku pada makhluk-Nya.

Yang demikian boleh dilakukan bila bertepatan berada di padang-padang sahara, sebab biasanya di situ terdapat rerumputan dan kadang-kadang dilewati manusia.

Next Post

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Top Stories

ADVERTISEMENT

Login to your account below

Fill the forms bellow to register

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.