Tawakal

Hakikat Tawakal
Sebenarnya hakikat tawakal hanya membutuhkan penyatuan perbuatan (tauhidul fi’li), tidak membutuhkan fana’ dalam penyatuan Dzat. Bahkan orang yang bertawakal boleh menyaksikan fenomena ganda dan aneka sebab-akibat atau hukum kausalitas, namun dia harus tahu dan menyaksikan keterkaitan rangkaian sebab-akibat dengan Sebab Pertama.

Harus dibaca juga..

Bagi saya, hal itu bukan merupakan suatu yang tersembunyi bagi Anda, dalam ikhtiar manusia. Sebab, jika melihat hujan sebagai sebab dari tumbuhnya nabati, Anda akan tahu bahwa hujan tercipta dengan perantaraan awan; awan tercipta dengan perantaraan angin dan asap gunung-gunung. Begitupun gunung-gunung itu merupakan benda mati yang terwujud dengan perantaraan, sampai pada Sebab Pertama, yang tidak mustahil lagi.

Jika Anda tidak tahu jumlah perantaraan-perantaraan tersebut, maka hal itu tidak membahayakan Anda. Hanya saja yang mengkhawatirkan bagi diri Anda adalah keterpakuan terhadap ikhtiar perbuatan-perbuatan manusia. Sebab Anda berkata, “Orang yang memberiku makan, sebenarnya ia melakukannya dengan ikhtiarnya. Jika mau, ia memberikannya atau tidak memberikannya. Bagaimana mungkin, aku tidak memandangnya sebagai subyek sebenarnya?”

Keterpalingan Anda itu, seperti perumpamaan ujung jari. Anda melihat garis di atas kertas putih terjadi karena gerak dari pena, sehingga Anda menyandarkan hal itu pada pena. Sebab, biji mata pena yang kecil dan lemah itu tidak memandang pada jari-jemari, tidak juga pada tangan, tidak pada kekuatan yang menggerakkan tangan, pada kemauan dimana kekuatan itu tunduk kepadanya, pada pengetahuan dimana kemauan itu bergantung kepadanya, dan tidak pula kepada Sang Pemilik Kekuasaan, Ilmu dan Iradat itu.

Demikian pula, Anda menisbatkan perbuatan manusia pada kemauan, pengetahuan dan kemampuan mereka, sebab penglihatan Anda tidak dapat memandang pena yang menggoreskan pengetahuan dalam papan-papan kalbu. Penglihatan Anda tidak pula memandang pada jari-jemari yang berakhir pada hati atau kalbu manusia, juga tidak pada Tangan yang membuat adonan tanah bagi penciptaan Adam, tidak pula pada Kekuasaan yang menggerakkan tangan untuk membuat adonan tanah, dan tidak pula kepada Yang Maha Kuasa dimana dari-Nya segalanya berawal dan berakhir.
Yang demikian dikarenakan Anda tidak tahu makna dan pengertian sabda Rasulullah Saw. yang berbunyi:
“Sesungguhnya Allah menciptakan Adam menurut gambaranNya” (Al-Hadis).

Dan pengertian firman Allah Swt. dalam Hadis Qudsi, “Aku mengadoni tanah (untuk penciptaan) Adam dengan tangan-Ku.”
Anda juga tidak tahu makna dari pengertian firman Allah Swt. yang berbunyi:
“Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan pena, Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas.” (Q.S. Al-’Alaq: 4-6).

Pengetahuan Anda tentang pena hanyalah pena yang terbuat dari bambu. Tangan dan jari-jemari yang Anda kenal hanyalah yang terdiri dari daging dan tulang; dan bentuk rupa yang Anda kenal hanyalah yang berwarna-warni dan berbentuk. Jika hal itu telah tersingkap pada diri Anda, niscaya Anda tahu, bahwa jika Anda melempar batu, sebenarnya bukan Anda yang melempar; akan tetapi, Allah-lah yang melempar, dimana pada waktu itu Anda dikuasai oleh motif-motif atau sebab-sebab yang pasti dan nyata, seakan-akan Andalah yang melempar.

Kekuasaan itu lahir sebagai instrumen kehendak, dan pengetahuan sebagai instrumen dan penundukan dan penaklukan. Anda tahu bahwa diri Anda dihadapkan pada realitas pilihan, kemudian jika mau, Anda melakukannya. Anda punya kemauan jika Allah berkehendak, baik pada saat itu Anda mau atau Anda menolak.

Di sini sekarang terdapat rahasia, yang menggerakkan Anda melalui hukum pemaksaan (al-jabru) dan pilihan bebas (ikhtiar). Suatu pandangan yang dikira bertentangan dengan tauhid dan taklif syariat. Kami telah menjelaskan dalam bab “At-Tauhid, wat Tawakkal was Syukr” pada kitab Al-Ihya’. Carilah di sana, bila Anda memang pakar.

Iman dengan hanya bertauhid pada Pekerjaan dan Dzat Allah Swt. tidaklah cukup, sebagai unsur yang mempengaruhi sikap tawakal (halatut-tawakkul), kecuali dalam keimanan tersebut telah terhimpun keyakinan akan kasih-sayang, rahmat dan hikmat Tuhan, dimana dengan hal itu, kebulatan keyakinan menyerahkan diri kepada Allah dapat terwujud. Suatu keyakinan yang nyata, bulat dan pasti. Atau melalui mata batin yang tersingkap pada diri Anda, bahwa jika Allah Swt. menciptakan seluruh makhluk yang memiliki akal paling cerdas dan sempurna, kemudian setelah itu ditambahkan pula kepada mereka dengan ilmu dan hikmat yang berlipat ganda, disingkapkan kepada mereka rahasia kerajaan jagat raya, rahasia detail hikmat dan rahasia baik serta buruk; kemudian mereka diperintahkan untuk mengatur dan mengurusi kerajaan jagat raya ini; niscaya mereka tidak akan dapat mengaturnya sebagaimana Allah Swt. mampu mengaturnya sedemikian rupa. Mereka tidak akan mampu menambah atau mengurangi sayap-sayap nyamuk, tidak akan mampu mencegah penyakit, menolak penyakit, cacat, kekurangan, kemiskinan, marabahaya, kebodohan dan kekufuran.

Mereka tidak akan mampu mengubah ketetapan Allah Swt. dalam masalah rezeki, ajal, kekuatan, kelemahan, kepatuhan dan kedurhakaan. Justru mereka akan menyaksikan bahwa semua itu ditetapkan oleh Allah dengan keadilan murni yang tidak terdapat unsur kelaliman di dalamnya, ketetapan yang pasti tanpa sedikit pun kekurangan, dan konsistensi yang sempurna tanpa penyimpangan dan celah. Bahkan segala hal yang mereka lihat penuh kekurangan ternyata berkaitan erat dengan kesempurnaan hal-hal lainnya yang jauh lebih besar dari hal sebelumnya. Apa yang mereka lihat berbahaya ternyata di balik itu terdapat manfaat yang lebih besar darinya, dan manfaat tersebut tidak dapat digapai kecuali dengan marabahaya tersebut.

Dari sana mereka tahu benar dan kenal secara pasti, bahwa Allah itu Maha Bijaksana, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Allah sama sekali tidak kikir kepada makhluk-Nya dan tidak meremehkan satu perkara pun dalam memperbaiki mereka.

Dan inilah samudera lain dalam ma’rifat. Ombak-ombaknya menggerakkan rahasia takdir, dimana orang-orang ahli mukasyafah dilarang untuk menyebut-nyebutnya, dan banyak orang yang bingung menilainya. Hanya orang-orang alim yang mampu memikirkannya, dan tidak ada yang mampu menafsirkannya, kecuali hanya orang-orang yang mendalam ilmunya (ar-rasikhun).

Hak orang awam adalah, meyakini bahwa setiap hal yang menimpa diri mereka belum tentu untuk menyalahkan mereka, dan setiap hal yang menjadikan mereka berdosa belum tentu jadi musibah mereka. Hal itu wajib terjadi karena ketetapan kehendak azali, tidak ada satu pun yang dapat menolak ketentuan dan ketetapan tersebut, bahkan segala yang kecil dan besar tercatat di dalamnya. Pengejawantahannya dengan ketentuan tertentu, yang ditunggu-tunggu.

‘‘Dan perintah Kami hanyalah satu perkataan seperti kejapan mata.” (Q.S. Al-Qamar: 50).
Pilar kedua: Kondisi tawakal. Maksudnya adalah, Anda menyerahkan urusan Anda kepada Allah Swt, kalbu Anda yakin kepada-Nya, jiwa Anda merasa tentram menyerahkan diri kepada-Nya, dan Anda tidak berpaling kepada selain Allah sepenuhnya. Dalam hal ini Anda serupa dengan orang yang menyerahkan perkaranya kepada orang (pengacara) yang paling pintar dan kuat membongkar kebatilan, untuk dihadapkan di sidang majelis hakim.

Dia percayakan perkara itu kepadanya karena tahu bahwa orang tersebut itu adalah paling mengerti tentang seluk-beluk kebatilan, dan orang yang paling giat untuk menegakkan keadilan. Karena itulah, Anda pasti tenang di rumah, hati Anda merasa tentram tidak ambil pusing dengan perkara perselisihan di pengadilan tersebut. Dia tidak minta bantuan kepada orang lain, karena tahu bahwa si pembelanya itu pasti memenuhi keinginan, dan bahwa dia tidak akan ditentang oleh pihak lain.

Orang yang ma’rifatnya telah sempurna, akan mengetahui bahwa persoalan rezeki, ajal, penciptaan dan kekuasaan itu ada di tangan Allah; Dia itu Maha Tunggal tiada berserikat, dan bahwa kasih, hikmah dan sayang-Nya tanpa batas dan tidak dapat disamai oleh kasih-sayang orang lain. Tentu, kalbunya hanya terpaut kepada-Nya, perhatiannya tidak terarah kepada selain Allah.

Sebaliknya, bila perhatiannya masih terarah pula kepada selain Allah, maka hal tersebut disebabkan oleh salah satu di antara dua faktor berikut:
Pertama, lemahnya keyakinan terhadap hal yang telah kami sebutkan di atas. Keyakinan yang lemah itu timbul karena rasa ragu masih dapat menembusnya, dan karena keyakinan itu tidak mampu menguasai kalbu.

Maut itu merupakan sesuatu yang pasti dan diyakini mesti tiba. Namun bila tidak menguasai kalbu, maka maut itu seperti sesuatu yang meragukan. Sehingga keyakinan terhadap maut itu tidak meyakinkan karena keraguan tersebut.

Kedua, kalbu dalam wataknya yang takut lagi lemah. Takut dan berani adalah dua watak. Rasa takut berakibat pada ketundukan dan kepatuhan jiwa pada angan-angan, padahal angan-angan itu jelas-jelas keliru; bahkan kadang-kadang orang yang takut untuk tidur bersama mayat di atas ranjang atau di sebuah rumah; padahal dia tahu bahwa Allah tidak akan menghidupkannya saat itu, dan kekuasaan Allah atas hal tersebut identik dengan kekuasaan-Nya untuk mengubah tongkat yang di tangannya menjadi ular besar, dimana ia tidak merasa takut pada ular tersebut.
Bahkan terkadang madu diserupakan dengan tinja, sehingga ia menolak untuk menerima dan memanfaatkannya, padahal dia tahu bahwa keserupaan itu adalah keserupaan yang dusta, tidak benar. ini adalah bentuk kelemahan jiwa dan kepatuhannya pada fantasi (baying-bayang/angan-angan).
Sebagaimana manusia tidak lepas dan kondisi semacam itu — walaupun dalam kadar yang lemah — maka dia pun tidak jauh untuk mencapai keyakinan dengan tauhid yang tidak disertai kebimbangan dan keragu-raguan.

Next Post

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Top Stories

ADVERTISEMENT

Login to your account below

Fill the forms bellow to register

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.