Al-Ghozali
Iman dengan hanya bertauhid pada Pekerjaan dan Dzat Allah Swt. tidaklah cukup, sebagai unsur yang mempengaruhi sikap tawakal (halatut-tawakkul), kecuali dalam keimanan tersebut telah terhimpun keyakinan akan kasih-sayang, rahmat dan hikmat Tuhan, dimana dengan hal itu, kebulatan keyakinan menyerahkan diri kepada Allah dapat terwujud.
Allah Swt. berfirman, “Dan hanya kepada Allah saja orang-orang yang bertawakal itu berserah diri.” (Q.S. Ibrahim: 12).
“Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakal, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (Q.S. Al-Maidah: 23).
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.” (Q.S. Ali Imran: 159).
“Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya.” (Q.S. Ath-Thalaq: 3).
Firman-Nya pula:
“Bukankah Allah cukup untuk melindungi hamba-hambaNya?” (Q.S. Az-Zumar: 36).
“Sesungguhnya yang kamu sembah selain Allah itu tidak mampu memberi rezeki kepadamu; maka mintalah rezeki itu di sisi Allah.” (Q.S. Al-‘Ankabut: 17).
Rasulullah Saw. bersabda, “Andaikata kamu sekalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakal, niscaya Dia akan memberimu rezeki sebagaimana Dia memberi rezeki kepada burung: Pergi waktu pagi dalam keadaan lapar dan datang (pulang) waktu sore dalam keadaan kenyang.”
Beliau juga bersabda, “Barangsiapa mempergunakan seluruh waktunya untuk Allah, niscaya Allah mencukupkan seluruh kebutuhan makan minumnya dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Dan barangsiapa mempergunakan waktunya untuk (urusan/kepentingan) duniawi, niscaya Allah menjadikan ia patuh pada dunia (urusan duniawi).”
Jika keluarga Rasulullah Saw. ditimpa kesengsaraan (kemiskinan), beliau bersabda, “Dirikanlah salat!” seraya menambahkan, “Beginilah Tuhanku memperintahkan aku. Dia berfirman, ‘Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan salat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu. Kami-lah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa’.” (Q.S. Thaha: 132).
Esensi dan Pilar-pilar Tawakal
Secara esensial (hakiki) tawakal merupakan kondisi ruhani yang lahir dari tauhid, dan pengaruhnya terwujud dalam amal nyata. Tawakal memiliki tiga pilar: Pengenalan diri akan Allah (ma’rifat), kondisi tawakal (haal) dan amal.
Pilar pertama: Ma’rifat. Inilah dasar tawakal. Yakni, tauhid. Orang yang bertawakal hanya berserah diri kepada Allah Swt, ia tidak melihat subyek lain selain Allah Swt. Kesempurnaan ma’rifat ini tersimpul dalam ucapan Anda:
“Tiada Tuhan selain Allah, sendiri tiada berserikat, milik-Nyalah segenap kekuasaan dan segala bentuk puja-puji. Dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
Dalam ucapan tersebut terkandung keimanan penuh tauhid, mengandung kekuasaan yang sempurna dari Wujud yang paripurna, serta hikmah, yang karenanya, Dia berhak mendapat pujian.
Orang yang mengucapkan kalimat tersebut dengan penuh kejujuran dan ketulus-ikhlasan, berarti tauhidnya telah sempurna. Di dalam hatinya tertancap dasar yang dapat melahirkan kondisi tawakal.
Penuh kejujuran, artinya, makna dan ucapan lafadz tersebut telah menjadi predikat yang lazim bagi dirinya, dan predikat tersebut telah menguasai kalbunya.
Tauhid semacam ini memiliki dua saripati dan dua kulit dengan empat lapisan, seperti buah badam; memiliki isi, kemudian minyak yang merupakan saripatinya. Kulit bagian luar adalah kulit yang membungkus bagian dalamnya.
Jadi kulit bagian luar itu adalah, dengan pernyataan lisan belaka (lapisan pertama). Kulit bagian dalam adalah, meyakini dengan kalbu sepenuhnya (lapisan kedua). Tingkatan ini adalah tingkatan orang-orang awam dan para ahli kalam (mutakallimun).
Karena tidak ada perbedaan antara tingkatan orang awam dengan tingkatan ahli kalam, kecuali mengenal taktik dalam melawan kebingungan dan kesemrawutan yang berbau bid’ah dan keyakinan tersebut.
Lapisan ketiga adalah inti, yakni ketersingkapan hakikat tauhid dengan cahaya Allah dan ketersingkapan rahasia tauhid dengan hakikat. Fenomenanya, ketika diperlihatkan banyak hal dimana dia tahu betul bahwa keseluruhannya bersumber dari lahir dan subyek yang Satu secara teratur. Dalam hal ini seseorang harus mengetahui matarantai sebab-akibat serta keterkaitannya antara rangkaian pertama dengan Sebab Pertama. Orang yang telah mencapai maqam ini, jauh dari kondisi keanekaan, karena dia menyaksikan banyak perilaku dan keragamannya yang terikat, dengan Sang Pencipta.
Lapisan keempat adalah sari inti. Ia tidak menyaksikan dalam wujud ini kecuali hanya Satu, dan dia tahu bahwa pada hakikatnya yang Ada itu adalah Satu. Pluralitas yang terdapat di dalamnya, sebenarnya akibat dari keterpecahan penglihatannya saja. Seperti ketika melihat sosok orang, misalnya, lewat kakinya. Kemudian melihat tangan, wajah, lalu kepalanya; sehingga tampak banyak.
Berbeda jika ia melihat sosok orang secara utuh, dan keseluruhan, tentu dalam kalbunya tidak terbetik keragaman tersebut, bahkan justru Ia seakan-akan menyaksikan sesuatu yang tunggal. Demikian pula seorang yang manunggal (muwahhid) penglihatannya tidak terpecah pecah antara langit dan bumi, serta antara seluruh yang ada, tapi justru ia melihat seluruhnya sebagai satu kesatuan hukum.
Masalah ini memiliki kedalaman yang perlu disingkap secara panjang-lebar. Silakan Anda membacanya dalam kitab lhya’, Bab “AtTauhid was-Syukr”.
Fana’ dalam tauhid sebenarnya terjadi pada kondisi tauhid semacam itu. Dimana dalam kondisi demikian seseorang tenggelam dalam Dzat Yang Maha Tunggal lagi Maha Benar Al-Wahidul-Haq), sehingga kalbunya tidak menoleh kepada selain-Nya, juga tidak kepada diri sendiri, sebab dirinya sendiri—dan sisi dia sendiri adalah pihak lain selain Allah. Bagi dirinya tidak ada nilai lain dengan melihat pihak lain (selain Dia).