Tata Aturan Bepergian

Syeikh Abul Qosim Al-Qusyairy
Allah swt. berfirman:
“Dia-lah Tuhan yang menjadikan kamu dapat berjalan di daratan dan (berlayar) di lautan.”(Q.s. Yunus: 22). Riwayat dari Ibnu Umar r.a, bahwa Rasulullah saw apabila

Harus dibaca juga..

menaiki unta untuk bepergian, selalu bertakbir tiga kali, kemudian membaca:

“Maha Suci Tuhan yang telah menundukkan semua ini bagi kami, padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya. Dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Tuhan kami.” (Q.s. Az-Zukhruf 13-4).

Kemudian dilanjutkan dengan doa:
“Ya Allah, sesungguhnya kami bermohon kepada-Mu, agar dalam bepergian kami senantiasa dipenuhi kebajikan dan takwa, melakukan perbuatan yang Engkau ridhai, dan mudahkanlah kami dalam perjalanan kami. Ya Allah, Engkau-lah yang menjadi Pendamping dalam bepergian, sebagai Khalifah bagi keluarga dan harta. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kesukaran perjalanan, dan dari kebinasaan yang cepat, dan dari keburukan pandang pada harta dan keluarga.” Apabila Nabi pulang, selalu mengucapkan pada istri-istrinya, dan ditambah dengan doa, “(kami) orang yang kembali, tergolong orang yang bertobat, dan kepada Tuhan kami, sama-sama memuji.”(H.r. Muslim).
Karena soal bepergian sering disebut oleh kaum Sufi, maka kami secara khusus membuat bab dalam Risalah ini, mengingat masalah bepergian termasuk masalah besar bagi mereka. Tampaknya di antara kaum Sufi sendiri terjadi perbedaan.

Ada di antara mereka yang memprioritaskan berdiam diri di rumah, daripada bepergian, kecuali dengan suatu tujuan, seperti naik haji. Namun pada umumnya mereka lebih banyak diam di rumah, seperti al Junayd, Sahl bin Abdullah, Abu Yazid al-Bisthamy, Abu Hafs dan yang lain. Tetapi juga ada yang lebih senang bepergian. Hal demikian dilakukan sampai akhir hayatnya, seperti Abu Abdullah al-Maghriby, Ibrahim bin Adham dan yang lainnya. Rata-rata mereka bepergian pada awal masa mudanya, ketika menjalani perilaku ruhani, kemudian akhirnya berdiam diri, tidak lagi pergi pada akhir perjalanan ruhaninya, seperti yang dilakukan Sa’id bin Ismail al-Hiry, Dulaf asy-Syibly dan yang lain. Masing-masing memiliki prinsip, di mana thariqatnya mereka bangun.
Perlu diketahui, bahwa bepergian itu ada dua macam: Pertama, pergi secara fisik, yaitu berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Dan kedua, bepergian secara ruhani, yaitu mendaki dari satu tangga sifat ke sifat lain. Banyak orang yang memandang bepergian dengan fisik mereka, dan sedikit sekali pandangan tentang bepergian melalui hati mereka.

Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata, ‘Ada seorang syeikh dari kalangan Sufi di sebuah desa di luar Naisabur. Ia memiliki beberapa karya tulis. Suatu ketika beberapa orang bertanya padanya, Apakah engkau bepergian, wahai syeikh?’ Syeikh itu menjawab, `Bepergian di bumi atau bepergian ke langit?’ Kalau bepergian di muka bumi, tidak. Tapi kalau bepergian ke langit, memang benar.”

Saya juga mendengar Syeikh Abu Ali berkisah, “Suatu hari, sebagian fakir datang padaku ketika aku di Marw. Si fakir itu berkata padaku, `Aku telah menempuh perjalanan jauh yang meletihkan, hanya untuk menemuimu.’ Aku menjawab, `Sebenarnya Anda cukup selangkah saja, kalau Anda mau pergi dari dirimu sendiri’.”

Kisah-kisah bepergian mereka bermacam-macam, baik dalam ragam maupun tingkah laku mereka. Ahnaf al-Hamdani berkata, ‘Aku berada di tengah padang pasir dalam keadaan sendirian dan sangat lelah, kemudian aku mengangkat tangan, sembari berdoa, `Ya Tuhan, sungguh suatu saat yang letih, padahal aku datang untuk menjadi tamu-Mu.’ Tiba-tiba muncul intuisi dalam hatiku, `Siapa yang mengundang kamu.’ Aku berkata, `Oh Tuhan, adalah kerajaan yang termasuk di sana Thufaily.’ Muncul kembali bisikan dari belakangku. Aku menoleh, tiba-tiba ada seorang Badui di atas kendaraannya, sambil berucap, `Hai orang ajam, mau kemana kamu!’ Kukatakan, `Menuju ke Mekkah al-Mukarramah, semoga Allah swt. menjaganya.’ Si Badui itu berujar, Apakah Allah mengundangmu?’ Aku menjawab, Aku tidak tahu.’ Selanjutnya orang itu berkata, `Bukankah Allah swt. berfirman, ‘… bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah?’ (Q.s. Ali Imran: 97). Kukatakan padanya, `Kerajaan kan luas termasuk Thufaily.’ Tiba-tiba ia menyahut, `Wahai Thufaily, ternyata adalah engkau. Apakah engkau berkenan untuk diantar unta?’ Kujawab, `Ya!’ Lelaki Badui itu turun dari kendaraannya dan memberikan unta itu padaku, dan berkata, `Berjalanlah di atas unta’.”
Sebagian para fakir berkata kepada Muhammad al-Kattany, “Berilah aku wasiat.” Jawab al-Kattany, “Tekunlah kamu, agar setiap malam menjadi tamu masjid, dan kamu tidak mati kecuali di antara dua tempat itu.”

Next Post

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Top Stories

ADVERTISEMENT

Login to your account below

Fill the forms bellow to register

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.