Pandangannya tentang Iman dan Islam, misalnya sangat tinggi sekali. “Iman adalah hendaknya engkau bersaksi bahwa keawalanmu itu karena Awal-Nya, keakhiranmu dengan keMahaakhirNya, dzahirmu karena DzahirNya dan batinmu karena Batin-Nya.”
“Ada lima hal, apabila seseorang tidak memiliki sesuatu dari lima itu, ia tidak dikategorikan beriman. Pasrah terhadap perintah Allah, Ridha terhadap Qadha’ Allah, pasrah total terhadap perintah Allah, Tawakal kepada Allah, Sabar ketika mendapatkan cobaan.”
Mengenai Islam, beliau berpendapat, Islam diwujudkan melalui pemastian syukur kepada Allah, sehingga Allah menerima syukurmu. Tidak disebut (perwujudan Islam) yang dilakukan dengan kemunafikan, sehingga orang-orang berterimakasih kepadamu, walaupun kemunafikan itu tak ada kebajikannya sama sekali, maka, pelakunya tercela seketika atau tersiksa di akhirat nanti, atau Allah menerima taubat mereka. “Supaya Allah memberi balasan kepada orang-orang yang benar itu karena kebenarannya, dan menyiksa orang-orang munafik jika dikehendaki-Nya, atau menerima taubat mereka.” (Q.s. Al-Ahzaab: 24)
Praktik Islam jika dalam dzahirnya ada kemunafikan, itu lebih buruk dibanding rasa benci terhadap ketentuan Allah dan kegelisahan. Karena penyakit benci (amarah) dan gelisah bisa membuat dirimu berpijak pada maksiat, dan kita bisa mengharap pertaubatan dari maksiat tersebut. Sementara kemunafikan dalam Islam, adalah mengaku-ngaku dan membuat kesaksian Islam dengan kemunafikan itu. Dalam kemunafikan ini sangatlah sedikit yang bisa bertaubat. Dan Allah Swt. mengetahui hal itu.
Filosufi teologis asy-Syadzily begitu dalam, seakan-akan berada dalam suatu kategori dimana puncak-puncak teologisnya adalah Kesatuan bersama Allah. “Seakan-akan” menyatu, itulah yang juga menjadi puncak Sufistik dari para Sufi pendahulunya. Tetapi, disana Asy-Syadzily tetap berpijak pada landasan bahwa Allah adalah Allah, dan hamba adalah hambaNya. Karena itu, munculnya wacana teologis justru akibat dari tahapan ruhani dalam praktek hubungan hamba dengan Allah itu sendiri. Bukan sebaliknya wacana dimunculkan kemudian dijadikan tahapan-tahapan oleh hamba, seakan-akan hamba mampu dengan sendirinya menaiki tahapan itu.
Hampir seluruh pandangan asy-Syadzili, kelak dijabarkan dalam Al-Hikam, dan fatwa-fatwa penerusnya. Di bab belakang, bisa kita lihat bagaimana peran kitab Al-Hikam menjadi representasi gerakan Syadzilyah secara doktrinal.
Gambaran tentang pemurnian Tauhid, tidak sebagaimana diungkap oleh gerakan-gerakan formalis Salafy, yang banyak dianut Neo-Hambalian dan eksponen berikutnya seperti Ibnu Taymiyah yang terbiasa mengklaim hal-hal teologis dalam praktek ubudiyah, sebagai wacara paling murni dalam Islam. Apa yang disebut dengan kemurian Tauhid oleh asy-Syadzily merupakan sebuah wacana yang muncul dari sebuah praktek Sufismenya, yang tentu berbeda dengan yang lainnya.
Misalnya, ia mengatakan, Tauhid adalah Rahasia Allah Kejujuran adalah pedang Allah, dan bantuan pedang itu adalah Bismillah, tarjamahnya adalah “Apa yang dikehendaki Allah ada dan apa yang tidak dikehendaki-Nya tidak ada. Tak ada daya dan kekuatan kecuali bersama Allah.”
Suatu titik pandang yang berbeda dengan para teolog Islam sendiri tentang definisi Tauhid. Karena itu, proses universal yang telah diraihnya baru memunculkan wacana, bukan sebaliknya. Definisi di atas menunjukkan hanya sebuah hati yang terbuka dan mendapatkan anugerah hidayah saja yang bisa memahaminya, bukan cara skolastis filosufis.
Karena itu, pendekatan-pendekatan untuk memasuki ruang-ruang kebenaran, bukan murni kontemplasi, maupun logika. Ada ruang-ruang dimana, akal murni belaka tidak menemukan keseluruhan kebenaran yang akan dicapai. Karena itu, Asy-Syadzili menegaskan, “Pintu-pintu kebenaran itu ada empat: Tauhid, Mahabbah, Iman dan Ridha.”
Empat hal yang dijadikan instrumen epistemologis Asy-Syadzily untuk memasuki ruang-ruang kebenaran, sampai pada tahap apa yang disebut dengan Haqqul Yaqin, atau Kebenaran Hakiki.
Sebuah kebenaran tidak bisa didapat kecuali memasuki pintunya. Tetapi siapa pun yang ingin memasukinya, harus ada syarat-syarat keimanan melalui Tauhid, tetapi tidak cukup demikian, masih harus ada Mahabbah dan Ridha. Tampaknya, apa yang menjadi pendekatan Asy-Syadzily beriringan dengan pendekatan Kasyaf (atau pencerahan dari dalam) melalui aktivitas ruhani atau Sufistik.
Sebab memahami kebenaran, tidak bisa melalui fenomenanya saja, tetapi harus memasuki dimensi terdalamnya sampai pada puncaknya. Kegagalan para filosuf Yunani, juga karena akal murni yang sesungguhnya baru pada tahap lapisan-lapisan pinggir dari kebenaran itu sendiri.
Selengkapnya Asy-Syadzili, sebagaimana dikutip dari Al-Mafakhirul ‘Aliyah, menegaskan, Tauhid adalah Rahasia Batin (sirr) Allah, sedangkan benar adalah Pedang Allah. Bantuan Pedang adalah Bismillah. Terjamahnya, adalah “Apa yang Allah berkehendak jadilah, dan yang Allah tidak berkehendak tidak akan per terjadi. Dan tiada daya dan kekuatan kecuali bersama Allah.”
Aku punya seorang sahabat, yang banyak datang padaku dengan membawa masalah Tauhid. Suatu ketika aku bermimpi, sedang berkata padanya, “Wahai Abdullah, manakala engkau ingin sesuatu yang tiada cela di dalamnya, maka hendaklah pisah itu ada di ucapanmu sementara penyatuan itu tersaksikan dalam batinmu.
Pintu-pintu kebenaran itu ada empat: Tauhid, Mahabbah, Iman dan Ridha.
Pernah aku melihat, ada kata-kata yang ditujukan kepadaku, “Barang siapa bergantung dengan Asma’-asma’ Allah dari segi yang dinamai, maka syirik adalah tempatnya. Lalu bagaimana dengan orang yang bergantung dengan nama-nama dirinya? Dimana posisimu dalam Tauhid yang benar yang murni dari ketergantungan kepada Allah dan makhluk? Sedangkan setiap Nama yang diakukan sebagai nikmat atau dianggap mampu mencegah derita, adalah hijab dari Dzat dan dari Tauhid dengan sifat-sifat. Barang siapa terliputi suatu sifat dari sifat-sifat-Nya, maka ia digegaskan untuk meminta bantuan melalui Asma’-asma’ dan Sifat-sifat. Janganlah meminta apa yang ada bagimu demi sesuatu yang bukan untukmu. Jangan pula berharap-harap terhadap keutamaan yang telah diberikan Allah kepada orang lain. Hendaknya ubudiyahmu itu adalah penyerahan diri dan penerimaan atas apa yang telah diberikan padamu, disamping “husnudzdzan” kepada Allah atas apa yang telah menimpanya. Sedangkan aktif dengan apa yang ada bagimu itu lebih utama.
“Itulah agama yang lurus, namun kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.” (Al-Qur’an)
Sasaran kata-kata ini diperuntukkan pada ahli peneliti tahap, maqamat, derajat dan ahwal ruhani. Sedangkan bagi ahli laku yang masih berupaya dengan geraknya dan ucapannya, mereka terbebaskan dari tugas semacam itu. Mereka harus tetap kembali pada batas-batas aturannya. Mereka juga tidak akan merugi atas pahala yang diberikan Allah Swt. Manakala mereka pasrah diri melalui kata-kata yang berbuih saja, dan mengambil temali terhadap shalat dan puasa, menikmati hasrat dan ambisi dihadapan para penguasa, sementara ia pun bersibuk diri dengan dzikir-dzikir. Bahwa sebenarnya tindak kriminal mereka yang penuh dengan sandaran-sandaran serta memandang prestasi ketaatan, adalah lebih banyak kriminalnya ketimbang tindakan kemaksiatannya dan tindak kontroversialnya. Mereka merasa cukup dengan tindakan amal yang tampak dalam ketaatan, ijabah doa mereka, serta bergegas dalam kebajikan.
Barang siapa takut syirik dalam tauhidnya, dan mahabbah dalam awal langkah-langkahnya, Allah memberikan limpahan keagungan padanya pada akhirnya, sebagaimana anugerah dari-Nya. Kemudian ia tidak lagi terhijabi dari Allah Swt. dan tidak pula dirasuki cacat dalam niat hasratnya. Namun barang siapa yang menginjak bahaya yang merugikan dan ia cenderung pada kepribadian syahwat, maka ia terjauhkan dari anugerah meraih kecenderungan syahwat ia akan berpijak pada kriteria waktu-waktu yang hilang. Inilah penjelasan dari Allah terhadap kaum yang bangkit menuju kepadaNya dari segala betuk kealpaan. Allah Swt. berfirman: “Dan jiwa bagaimana disamakan, maka Allah mengilhaminya kedustaan dan ketakwaaannya.”
Karena itu takutlah kepada Allah agar terjauhkan dari syirik dalam tauhid. Menyatulah dan janganlah berpisah dari tauhid dengan sikap berkurang dan tidak bertambah. Takutlah pada syirik dalam Mahabbah dengan cara condong pada syahwat; syahwat apapun adanya. Barang siapa memiliki rasa takut di sisi Allah dan mendapatkan kemuliaan dari Allah dalam nikmat-nikmat-Nya, berarti ia berada dalam lindungan Allah, dari segala bencana besar-Nya.
Dalilnya adalah hadis Nabi Saw. “Barang siapa merasa lapang pada Allah, maka Allah akan menolongnya dalam kesususahan.” (Al-Hadist)
Wahai ummat manusia, berdaganglah kalian agar kalian mendapatkan keuntungan. Takutlah jika kalian diperdagangkan sehingga kalian rugi dan hina. Orang yang berdagang adalah orang yang menyembah Allah Swt. melalui hakikat-hakikat tauhid dan keimanan. Sedangkan orang yang beruntung dalam berdagang adalah orang yang dirinya beruntung lalu membersihkan dirinya dari syirik dan kekafiran.
Firman-Nya: “Katakanlah: Sesungguhnya aku diperintahkan agar aku menyembah Allah dengan ikhlas kepada-Nya dalam menjalankan agama. Dan aku diperintahkan supaya aku menjadi orang yang pertama-tama berserah diri.”Katakanlah, “Sesungguhnya aku takut akan siksaan hari yang besar jika aku durhaka kepada Tuhanku.” Katakanlah, “Hanya Allah saja yang aku sembah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agamaku. Maka sembahlah olehmu (wahai orang-orang musyrik) apa yang kamu kehendaki selain Dia.” Katakanlah, “Sesungguhnya orang-orang yang rugi adalah orang-orang yang merugikan diri mereka sendiri dan keluarganya pada hari kiamat.” Ingatlah yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.” (Q.s. Az-Zumar: 11-15)
Keluargamu adalah Adam, Hawa’, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, berserta keluarganya.
“Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang yang mukmin dari diri mereka sendiri dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka.” (Q.s. Al-Ahzaab: 6)
“Sesunggunya orang-orang yang paling dekat kepada Ibrahim ialah orang-orang yang mengikutinya, dan Nabi ini (Muhammad) serta orang-orang yang beriman (kepada Muhammad) dan Allah adalah Pelindung semua orang-orang yang beriman.” (Q.s. Ali Imran: 68)
Sementara orang-orang yang merugi adalah orang yang berbuat musyrik kepada Allah dalam tauhidnya. Firman-Nya, “Seandainya kamu musyrik, nicaya akan amalmu akan dilebur dan niscaya kamu benar-benar tergolong orang-orang yang merugi” Atau orang yang berbuat syirik dalam ibadah pada Tuhannya, atau menyamakan dengan salah satu makhluk-Nya; dan maka dari itu sembahlah Allah dan jaganlah engkau berbuat syirik sedikitpun. “Maka barang siapa ingin bertemu Tuhannya, hendaknya ia beramal dengan amal yang shaleh dan tidak berbuat syirik sama sekali dalam ibadah pada Tuhannya.”
Berpijak dari sinilah akhirnya, pandangan-pandangan tasawuf Asy-Syadzily mengkristal dalam wacana yang sangat agung nilainya. Filosufi Sufistiknya senantiasa beralur pada, bagaimana mempraktekkan Syari’at tauhid melalui Thariqatnya, sebagai upaya mendidik jiwa dalam proses Ubudiyah, yang kelak mengalami transformasi, dari Ubudiyah ke aturan-aturan Rububiyah.
Dalam fatwanya disebutkan, “Tasawuf adalah olah jiwa dalam ubudiyah, dan mengembalikan jiwa itu pada aturan-aturan Rububiyah. Bagi seorang Sufi harus memiliki empat sifat: Berakhlak dengan Akhlak Allah; kebaikan penyertaan terhadap perintah-perintah Allah; meninggalkan upaya minta tolong terhadap diri sendiri karena malu kepada Allah; serta melanggengkan keleluasaan dengan fana’ yang benar bersama Allah.”
Rububiyah sebagai sebagai manifestasi dari Ubudiyah, yaitu sikap kehambaan total terhadap Dzat yang memiliki predikat Rububiyah. Sebuah pengakuan sekaligus menjalankan praktek hak-hak kehambaan seseorang, dengan menjalankan perintah-perintah melalui aturan Rububiyah untuk Ubudiyahnya hamba. Hak sebagai hamba Allah dan haknya sebagai hamba terhadap sesama hamba.
Berakhlak dengan Akhlak Allah, bukan berarti menyamai Sifat-sifat Allah. Tetapi merespon seluruh predikat Rububiyah Allah melalui Ubudiyah hamba. Jika Allah memiliki Sifat Al-Wujud, misalnya, responsif Ubudiyah hamba, berarti hamba adalah “tiada Wujud”. Bila Allah mempunyai Asma Agung Al-Mutakabbir (Yang Maha Mengakui Kebesaran) maka responsi ubudiyah adalah sang hamba bernama “yang hina”. Bila Allah Maha Mendengar dan Mengetahui, berarti hamba maha tidak mendengar dan maha tidak tahu. Makanya segala perintah Allah yang dilaksanakan hamba melalui sikap-sikap responsi Ubudiyah itu, secara otomatis merupakan manifestasi dari sikap berakhlak secara Akhlak Ilahi.
Dari sini pula bisa ditegaskan, bahwa mereka yang berada dalam tataran Ubudiyah dan mampu merespon Rububiyah, ia berada dalam suatu wahana penyaksian, yang disebut dengan Wahdatus Syuhud. Bukan Wahdatul Wujud. Namun jika itu sebuah istilah dalam dunia sufi, maka maknanya adalah Satu-satunya Wujud, bukan manunggaling wujud atau bersatunya wujud. Bukan.. Sebab pasti mustahil, dua wujud atau tiga wujud bersatu. Karena Yang Berhak memiliki sifat Wujud hanya Allah Azza wa-Jalla. Karena yang berlaku dalam proses itu adalah situasi yang disebut Musyahadah, yaitu penyaksian. Jadi bisa lebih tepat dikatakan sebagai Wahdatus Syuhud, kesatuan penyaksian, sebagaimana pernah diungkapkan oleh Al-Bisthamy. Jadi yang bersatu adalah Syuhudnya.
Wallahu A’lam.