Asy-Syadzily
Sebagaimana dijelaskan di atas, Sulthanul Auliya Abul Hasan Asy-Syadzily memiliki doktrin dan ajaran Tasawuf yang terkesan sangat kuat dalam menanamkan sebuah keyakinan. Tetapi, dibalik itu semua ada nilai-nilai “kemerdekaan” yang terkadang terkesan “liberal”. Tetapi juga tidak berarti, bahwa pandangan tentang kemerdekaan Sufi identik dengan liberalisme, dalam pengertian akademis modern. Bahkan juga bukan sebagaimana filsafat kebebasan yang ditelurkan oleh eksponen Yunani Kuno.
juga bukan berarti bahwa Asy-Syadzili berdiri sendiri, tanpa memiliki kaitan dengan masa lampau, pandangan-pandangan para Sufi pendahulu. Dilihat dari Fatwa-fatwanya dan Hizb-hizb Asy-Syadzily, akan merefleksikan sebuah nilai-nilai luhur, betapa pun, produk-produk Fatwa-fatwa dan Hizb-hizbnya bukan muncul dari rangkaian tertib kefilsafatan itu sendiri. Tidak satu pun fakta dan data yang memberikan bukti-bukti bahwa wacana-wacana Asy-Syadzily, adalah sebagai produk sebuah Filsafat.
Pendekatan yang berbeda jauh antara dunia filsafat dan dunia Tasawuf, telah membentangkan jarak tiada tara, walau pun pada simpul-simpulnya dunia filsafat tidak bisa mengingkari betapa pendekatan Tasawuf merupakan ujung dan sekaligus pangkal dari kefilsafatan itu sendiri. Sebaliknya, logika-logika filsafat, betapa pun akhirnya harus berbanding terbalik dengan logika Tasawuf, tetapi logika Tasawuf tetap memiliki logika-logika yang hampir beriringan dengan logika filsafat.
Jika logika-logika filsafat bermula dari skeptisisme yang kelak berakhir dengan keyakinan pada kesimpulannya, maka logika Tasawuf justru sebaliknya: bermula dari keyakinan, kemudian mengurai dalam tertib logika. Sesuatu hal yang dianggap mustahil oleh dunia filsafat itu sendiri, bagaimana sebuah kesimpulan muncul tanpa adanya rangkaian logika yang membimbing ke arah kesimpulan. Tetapi logika Tasawuf juga menganggap “aneh” adanya logika filsafat, sebab pada “hakikatnya” sebelum seseorang membangun sebuah premis, sudah tergambar secara metafisis kesimpulan-kesimpulannya, karena keyakinan itu lebih dahulu ada, sebelum keraguan tiba.
Jadi, menyimpulkan secara filosofis seluruh paradigma Syadzilian, lebih sebagai penguraian komprehensif, mengingat —sekali pun Asy-Syadzily secara akademis juga menelaah karya-karya Tasawuf pendahulunya, dan bahkan juga telaah terhadap karya filsafat dan laboratorium ilmu pengetahuan— pandangan Asy-Syadzily bersifat supra-intuitif. Dengan demikian, pembuktian akademis akan senantiasa dihantarkan pada kompromi metodologis, antara khazanah filsafat dengan khazanah Sufistik itu sendiri.
Dalam perspektif inilah ada sejumlah pendekatan, khususnya jika atmosfir kefilsafatan memandang seluruh paradigma Syadzilian, untuk kepentingan kajian filosofis itu sendiri:
Pertama, hubungan doktrin Tasawuf Asy-Syadzily dengan para Sufi besar generasi sebelumnya, serta munculnya gerakan filsafat dalam dunia Islam saat itu.
Kedua, sejauh mana pandangan-pandangan Asy-Syadzili bersinggungan dengan pandangan-pandangan Sufi lain, terutama para Sufi yang melahirkan sejumlah pemikiran orisinil.
Ketiga, posisi Asy-Syadzily dalam membangun sebuah “Bangunan Tasawuf” dan kelak menjadi gerakan terorganisir hingga saat ini.
Keempat, kualifikasi Asy-Syadzily dalam jajaran para pembangun filsafat di dunia Islam.
Kelima, klasifikasi pandangan Asy-Syadzili:
– Pandangan tentang keimanan dan keyakinan terhadap Allah Swt.
– Pandangan tentang Maqamat dan Haal.
– Pandangan yang tersembunyi dibalik doa-doa maupun Hizb-hizbnya.
Asy-Syadzili dengan Para Sufi
Sebagaimana dijelaskan di atas, sejumlah rujukan Kitab karya para Sufi yang seringkali digunakan oleh Asy-Syadzili, dan para guru yang berpengaruh dalam membentuk kerpibadian Asy-Syadzili, merupakan tema yang sangat urgen untuk menlihat sejauhmana pandangan Asy-Syadzili itu terbentuk. Sebab banyak sekali pandangan Asy-Syadzily yang tidak tertuang di dalam Kitab-kitab para Sufi itu, baik secara terminologi maupun epitemologis, bahkan sampai pada tahap ontologisnya.
Dari para Sufi pendahulu, misalnya tercatat, —dari berbagai sumber yang ada— antara lain:
Abu Abdullah ibnu Harazim, seorang Wali besar yang saleh, salah satu Mursyid di Andalusia dan Maroko. Ia merupakan salah satu murid Sufi besar, Abu Madyan al-Ghauts, murid Abdul Qadir al-Jilany. Abu Madyan juga salah satu muridnya ayahanda Abu Abdullah, yaitu Abul Hasan. Tetapi Ibnu Harazim tidak mengambil pelajaran dari ayahnya sendiri. Ibnu Harazim inilah guru Sufi pertama kali yang dijadikan sebagai pembimbing Asy-Syadzily, sebelum beliau pindah ke Tunisia. Tahun 633 H. Ibnu Harazim wafat di Marokko, dimana makamnya hingga detik ini diziarahi oleh para Sufi dan ummat Islam. Abu Madyan al-Ghauts juga memiliki sebuah karya kitab yang terkenal, “Al-Hikam” yang tentu saja beda dengan Al-Hikamnya Ibnu Athaillah as-Sakandary. Abu Madyan juga memiliki seorang murid besar yang sangat luar biasa, Ibnu Araby dengan ratusan karya kitab Tasawuf, terutama yang sangat terkenal, Al-Futuhatul Makkiyah dan Fushusul Hikam.
Abu Sa’id al-Bajy. Nama sebenarnya adalah Khalaf bin Yahya at-Tamimy dari penduduk Bajah, seorang Sufi besar di zamannya, dan poluler sebagai Wali di Tunisia. Abu Sa’id juga salah satu murid Abu Madyan al-Ghauts. Kata Abul Hasan Asy-Syadzili, “Ketika aku memasuki kota Tunisia, pada mula aku menempuh jalan Sufi, saya memasuki akademi para Syeikh. Ada sesatu yang saya cintai di sana, dan masing-masing Syeikh itu menjelaskan kebaikan padaku. Bahkan ada yang menjelaskan tentang kondisi ruhaniku. Sampai akhirnya aku memasuki Syeikh Abu Sa’id al-Bajy ra, ia menjelaskan tentang kondisi ruhaniku sebelum aku menjelaskannya, dan ia membicarakan tentang rahasiaku. Saya akhirnya tahu bahwa Syeikh ini adalah Wali Allah. Saya akhirnya belajar padanya dan mengambil banyak manfaat darinya.”
Abu Muhammad al-Mahdawy, yaitu Abu Muhammad bin Abu Bakr al-Mahdawy, seorang Syiekh Sufi, berpenduduk di Mahdiya Tunisia. Mendapatkan ajaran Thariqat dari Abu Madyan. Al-Mahdawy juga dipuji oleh Ibnu Araby, dalam Ar-Risalah al-Qudsiyah, dan wafat, tahun 621 H.
Ada pula yang mengatakan, Asy-Syadzily sempat bertemu dengan Ibnu Araby, yaitu Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Abdullah al-Hatimy at-Tha’y yang bergelar sebagai Syeikhul Akbar. Ibnu Araby juga mendapatkan Thariqat dari Abu Madyan. Tetapi sumber-sumber yang menjelaskan bahwa Asy-Syadzily pernah belajar kepada Ibnu Araby masih diperselisihkan.
Abul Fath al-Wasithy, yaitu Muhammad Abul Ghaim al-Wasithy, salah satu murid Sayyid Ahmad Rifai’y. “Aku masuk kota Irak, saya temui sejumlah Syeikh Sufi, dan saya tidak menemui yang lebih hebat ketimbang Abul Fath al-Wasithy. Ketika aku mencari siapa yang menjadi Qutub, ia berkata padaku, “Apakah Anda mencari Wali Qutub di Irak, padahal ia ada di negerimu Marokko? Kembalilah ke Marokko, akan Anda temui Qutub di sana.” Lantas aku kembali ke Marokko dan aku bertemu dengan guruku, Abdussalam bin Masyisy,” kata Asy-Syadzily.
Abdus Salam bin Masyisy. Yaitu Abu Muhammad dan Abu Abdullah Abdissalam bin Masyisyi, salah satu Qutub Agung yang nasabnya juga bertemu pada nasab Asy-Syadzili pada jalur Idris. Abdussalam bin Masyisyis inilah yang berpengaruh besar dalam kepribadian Asy-Syadzily sekaligus melimpahkan kemursyidan Thariqat Syadziliyah pada Abul Hasan asy-Syadzily. Abdus Salam bin Masyisys, adalah murid dari Syeikh Abdurrahman al-Hasany al-Madany, yang punya jalur juga dari Abu Madyan al-Ghauts, tetapi mendapatkan Thariqatnya dari Qutbul Auliya’ Taqyuddin al-Fuqair ash-Shufy.
Hampir seluruh pandangan asy-Syadzily bersifat Ilhamy. Kalau toh ada tali yang kait mengait dengan pandangan para Sufi pendahulunya, semata sebagai pijakan awal. Selanjutnya muncullah filosufi khusus yang merupakan pandangan Asy-Syadzili itu sendiri, lebih sebagai penyempurna atas paradigma pendahulunya.
Hal demikian terletak pada kedalaman fatwa-fatwanya, dan ajarannya yang disampaikan pada para pengikutnya. Terkadang di satu sisi, pandangannya mirip dengan Ibnu Araby, di sisi lain mirip Abdul Qadir Jailany, namun di pihak lain juga relevan dengan Ar-Rifa’y maupun Abu Madyan al-Ghauts.
Selama ini pandangan-pandangan Sufi pendahulu Asy-Syadzily sempat dituduh sebagai Filsafat yang pantheistik, mengingat adanya sejumlah istilah yang sangat sulit difahami akal rasional, tetapi hanya bisa difahami oleh akal hati. Sejumlah tragedi yang kemudian menimpa para Sufi besar seperti pada Abu Mansur Al-Hallaj, semata karena munculnya kebodohan dan kecemburuan terhadap waca-waca yang lahir dari Al-Hallaj. Padahal murid Al-Junaid al-Baghdady ini, pandangan-pandangannya juga tidak menyimpang dari pandangan Al-Junayd sendiri, terutama jika kita lihat dari Rasailul Junaid (Surat-surat Al-Junayd). Kelak beberapa abad kemudian, muncul Ibnu Araby yang sangat menggetarkan dunia teologi Islam, karena kehebatan eksplorasi batiniyahnya yang tidak bisa diikuti oleh kaum filosuf, kaum fuqaha’ maupun ahli hadits, terutama pengikut Ibnu Taymiyah yang mewarisi Neo-Hambalian formalis. Mereka ini menuduh pandangan Ibnu Araby sebagai pandangan yang menyesatkan, karena dituding menganut pantheisme Wahdatul Wujud (Kesatuan Wujud).
Cara pandang Ibnu Taymiyah ini pun akhirnya berkembang di abad-abad kemudian, dimana anggapan Wahdatul Wujud sebagai klaim yang bisa ditudingkan pada para Sufi, khususnya Ibnu Araby.
Padahal memandang seluruh ungkapan Ibnu Araby, hingga Al-Hallaj, Al-Ghazali, Al-Junayd, Al-Bisthamy sebagai pandangan Wahdatul Wujud sebagai pandangan yang salah dan sangat dangkal. Hal yang sama ketika membaca fatwa-fatwa Asy-Syadzily maupun para pengikutnya, terutama Ibnu Athaillah as-Sakandary, jika sepintas dengan hanya menggunakan pendekatan filosofis belaka, akan menyimpulkan pandangan yang sama: menuduh mereka sebagai penerus Wahdatul Wujud. Seluruh eksponen Sufi, sama sekali tidak pernah menyebut apalagi membangun istilah Wahdatul Wujud, kecuali hanya para penentangnya maupun para pengamat sepintas belaka.
Bahkan secara ironi sejumlah pengamat filsafat dari kalangan ummat Islam, seperti Afifi, Zakky Mubarak, dan senagkatannya, juga menilai pandangan Ibnu Araby dkk, sebagai pandangan Wahdatul Wujud. Sekali lagi karena mereka menggunakan metodologi rasionalisme murni untuk mendekati Ontologi para Sufi itu. Padahal untuk memahami perspektif-perspektif kedalaman Sufi tidak cukup dengan sekadar mengolah logika-logika Tasawuf untuk kesimpulannya. Tetapi, haruslah memasuki kedalamannya melalui amaliyahnya.
Kalau toh pun harus dinyatakan dalam wacana filosofis, makna Wahdatul Wujud, bukanlah Bersatunya Wujud, atau Manunggalnya Wujud, Tetapi Wahdatul Wujud makanya adalah Satu-Satunya Yang Wujud. Ini baru dibenarkan.
Atau makna Wahdah disana yang bersatu adalah Syuhudnya, (Penyaksian Jiwanya) bukan Wujudnya. Seperti Syuhudul Wahdah fil Katsroh (Memandang Satu-satunya dalam keragaman) atau Syuhudul Katsroh fil Wahdah (Memandang keragaman dalam Satu-satuNya).
Sebab bagi para Sufi, Ilmu itu datangnya setelah amal. Bukan sebaliknya, ilmu dulu baru beramal. Dalam Al-Qur’an dijelaskan, “Fas’aluu ahladzdzikri in kuntum laa ta’lamuun.” (Bertanyalah kepada ahli dzikir manakala engkau tidak mengetahui).” (bersambung)
(KHM Luqman Hakim, Ph.D)