”Setiap wacana yang terucap, maka padanya ada pakaian qalbu, yang muncul dari qalbu itu.”
Inilah tanda-tanda wacana yang didahului oleh pencerahan cahaya, sehingga memiliki pengaruh dalam qalbu dan menggetarkan ruh, dan membangunkan rindu rahasia ruh. Sehingga jika kalam itu didengar oleh orang yang alpa, ia langsung sadar. Ketika di dengar oleh orang yang maksiat, ia langsung berhenti. Ketika didengar oleh orang yang ahli ibadah, semakin bangkit semangatnya dan rindunya membumbung. Bahkan ketika didengar oleh orang yang sedang berjalan, sirna kelelahannya. Sedangkan ketika di sengar oleh orang yang sudah wushul, ia semakin kokoh kondisi ruhaninya.
Sebagian kaum arif menegaskan, ”Siapa yang qalbunya dilimpahi ruhani, maka kalamnya penuh makna yang memancar dari hatinya memenuhi atmosfirnya yang begitu luas. Tetapi sebaliknya, siapa yang bicaranya penuh dengan kepentingan nafsu, ucapannya hanyalah ucapan bibir belaka, dan ia pun tidak bicara kecuali hanya dal;am nuansa empirik (lahiriyah inderawiyah), sama sekali tidak ada kedalaman maknanya. Karena itu siapa yang yang hatinya terhijab dunia, ia tidak mendengar dan tidak bisa didengar.”
Menurut Syeikh Ibnu Ajibah al-Hasany dalam syarah al-Hikam, manusia itu ada yang pandai bicara tetapi bodoh hatinya; tandanya adalah lebih memprioritaskan bicara dunia dibanding akhirat, atau bicara yang bersifat lahiriyah dibanding maknawiyah. Anda harus waspada dengan model orang seperti ini, karena hatinya mati, dan semua ucapannya tak lebih dari mayat dan bangkai.
Nabi Saw., bersabda, ”Dunia adalah bangkai, pemburunya hanyalah anjing-anjing.”
Syeikh Zarruq ra, mengatakan, manusia dibagi tiga dalam konteks ini: Orang yang bicara yang didengar; orang yang bicara yang tertolak; orang yang bicara terpadu; yaitu yang petunjuk dan wacananya memberi sariguna manfaat.
Pakaian qalbu yang memancarkan wacana adalah simpul dari Izin Allah Swt. Jika tidak ada IzinNya, maka tidak ada pakaian qalbunya, seperti yang ditegaskan oleh Ibnu Athaillah berikutnya:
“Siapa yang diizinkan (oleh Allah Swt.) untuk mengungkapkan wacana, maka ucapannya difahami oleh telinga-hati orang lain, dan petunjukkanya begitu jelas di hati mereka.”
Tanda-tanda kalam seseorang yang mendapatkan izin dari Allah Swt., maka kalamnya diterima dan difahami oleh qalbu. Begitulah Kalam para Nabi –semoga salam melimpah pada mereka– tak seorang pun mengingkari dari segi substansinya, namun mereka ada yang mengingkari esensinya, dengan kontra terhadap para Nabi.
Karena itu orang-orang musyrik dan kaum munafik terus menentangnya dengan berbagai kalimat seperti: Inilah sihir yang nyata! Sihir yang berpengaruh! Sihir yang berjalan! dsb.
Syeikh Abul Abbas al-Mursy ra, mengatakan, ”Sang wali senantiasa dipenuhi pengetahuan, di hadapannya ada hakikat-hakikat yang disaksikan, sehingga ketika mengungkapkan kalam, seakan seperti langsung dari izin Allah Azza wa-Jalla padanya.”
Sebaliknya tanda kalam yang tidak mendapatkan izin, seperti yang dikatakan oleh Ibnu Athaillah as-Sakandary:
”Kadang-kadang hakikat-hakikat itu tampak, namun redup cahayanya, karena itu menunjukkan padamu bahwa hakikat itu tidak diizinkan untuk ditampakkan.”
Hakikat itu muncul dari ilham yang berkait dengan perkara kema’rifatan dari dalam hati, dan ada gambaran dalam jiwa serta wacana yang keluar. Jika cahayanya sempurna maka akan tampak dalam batin dan lahir. Sedangkan ungkapan itu muncul dari cahayanya, yang mempersaksikan pada yang meraih hakikat untuk mewujudkan hakikat itu. Itulah kalam yang diizinkan untuk diungkapkan, dilapisi cahaya dan petunjuk matahati.
Jika tidak demikian, maka yang tampak hanyalah kegelapan, seakan seperti matahari yang terbit namun muncul dengan gerhanaya, sungguh tak bisa dilihat cahaya dan mataharinya.
Syeikh Abul Abbas al-Mursy ra, mengatakan, ”Kalam yang diizinkan akan mengeluarkan kemanisan hati, keindahan dan pakaian elok. Sedangkan kalam yang tidak diizinkan untuk keluar, adalah kalam yang tertedupkan cahayanya, hingga dua orang yang sedang bicara yang bicara dengan benar terhadap satu hal, yang satu menerima yang satu menolak.”