KEMULIAAN AKHLAK BELIAU
Saat itu, Syeikh Dr. M. Said Ramadhan al-Buthiy sudah menjadi Dekan Fakultas Syariah Universitas Damaskus Syiria. Namun, meski demikian dan meski memiliki banyak kesibukan lain ia tetap bersedia untuk mengajar materi al-Quran al-Karim di Universitas al-Ladziqiyyah setiap hari Rabu.
Tepatnya pada malam Kamis, Rektor Universitas al-Ladziqiyyah mengundang para dosen utuk makan malam di rumahnya dalam rangka acara satu tahun berdirinya Universitas al-Ladziqiyyah. Al-Buthiy termasuk salah satu dari undangan tersebut. Ia diundang pada malam itu dan baru bisa pulang ke Damaskus setelah Dzuhur pada hari Kamis.
Dr. Ahmad Bassam (penulis cerita ini) pada saat itu sedang merealisasikan pendirian perpustakaan universitas dan mengundang al-Buthiy sebagai tamu di kantornya. Tiba-tiba sang Rektor berkunjung ke kantor Dr. Ahmad Bassam dan mengundangnya bersama al-Buthiy untuk menghadiri makan malam.
Dr. Ahmad Bassam langsung bersedia untuk hadir, sementara al-Buthiy dengan halus meminta untuk terlebih dahulu meminta izin kepada orang tuanya, Syekh Mulla Ramadhan di Damaskus.
Melihat peristiwa ini, Dr. Ahmad Basam dan Rektor Universitas al-Ladziqiyyah merasa sangat heran. Dalam hati mereka, jika alasan meminta izin adalah hal lain mungkin biasa saja. Namun yang menjadikan tidak biasa, bagaimana seorang dosen yang sudah berumur empat puluhan dan anak-anaknya sudah menjadi mahasiswa di perguruan tinggi, dan ia sendiri menjadi Dekan di fakultas besar dan di universitas besar seperti Universitas Damaskus masih meminta izin kepada orang tuanya hanya untuk menghadiri makan malam dan memperpanjang kunjungannya di al-Ladziqiyyah dari sore hari Kamis sampai ke pagi hari Jum’at?
Bagi Dr. Ahmad Bassam dan Rektor Universitas al-Ladziqiyyah, peristiwa ini merupakan peristiwa yang sangat mengejutkan. Namun meski begitu, kata Dr. Bassam, sang rektor tetap berupaya menghilangkan keterkejutannya dengan segera meminta Dr. Ahmad Bassam membawa al-Buthiy ke kantornya agar menghubungi ayahnya di Damaskus melalui teleponnya. Akan tetapi, ternyata hal mengejutkan tidak berhenti di situ, sebab ketika al-Buthy menelepon ayahnya, nampak sekali betapa besarnya penghormatan al-Buthiy kepada ayahnya.
Di bawah ini pembicaraan al-Buthiy yang didengarkan oleh Dr. Ahmad Basam saat meminta izin kepada ayahnya:
“Assalamu’alaikum Abiy. (Assalamu’alaikum Ayah)”
“As-Sayyid Rais da’aniy ma’a baqiyyah al-asatidzah masaa ghodin fii manzilihi, fahal astathi’u hudhur al-ma’dabah wa a’uudu ilaa Dimasyqa shabaha al-Jum’at? (Bapak Rektor mengundangku makan malam di rumahnya bersama para dosen yang lain, apakah saya diberikan izin menghadirinya dan akan kembali ke Damaskus Jum’at paginya?)”
“Syukran Abiy, Assalamu’alaikum (Terimakasih Ayah, Assalamu’alaikum)”.
Setelah al-Buthy meletakkan telepon, Dr. Ahmad Bassam berkata kepada al-Buthy: “Alhamdulillah, demikianlah urusannya menjadi mudah dan semuanya bisa diam dengan tenang.”
Namun hal mengejutkan terjadi lagi karena al-Buthiy ternyata berkata: “Tidak, demi Allah saya tidak bisa, ayahku tidak mengizinkan.”
Ketika mengomentari cerita ini, Dr. Ahmad Bassam berkata: “Selamanya tidak akan tergambarkan keterkejutan yang nampak di wajahku dan di wajah bapak Rektor saat aku sampaikan kepada beliau pembicaraan al-Buthy melalui telepon. Masuk akalkah ini? Tidak ada bantahan, tidak ada penolakan, tidak ada permintaan dan tidak ada bahkan meski sekedar kalimat harapan atau upaya agar ayahnya merubah keputusannya. Tidak, tidak dan cukup.
Lihatlah, apa yang akan dikatakan oleh generasi ini ketika mereka mendengarkan cerita ini. Adakah sebagian dari mereka yang akan berupaya meniru meski hanya sekali saja?
Lebih aneh lagi, ketika cerita ini saya sampaikan di hadapan undangan yang hadir di Akademi Oxford saat al-Buthiy hendak menyampaikan ceramah di sana, ia memandang kepadaku dengan pandangan tenang seperti orang yang memandang sambil berharap sambutan-sambutan yang lain segera disampaikan. Sedang kedua matanya seolah-olah berkata kepadaku: “Ia dan apa dalam hal ini, di mana sisi aneh dalam cerita itu?”.
Menurut Rojih Ubab Maimoen,Syaikh Sa’id Ramadhan al-Buthi —dalam peribadatannya— selalu menunjukkan sikap rendah diri. Di setiap gerak langkah, baik berangkat menuju masjid untuk berjamaah, mengajar di kampus atau mengisi halaqah-halaqah, mulut Syaikh Sa’id tak henti-hentinya bergeming membaca istighfar, tasbih, tahmid dan kalam-kalam mahmudah lain dengan memutar tasbih yang beliau masukkan ke dalam saku. Sekali lagi (memegang tasbih dalam saku) ini dilakukan karena tak ingin amalan-amalan Syaikh Sa’id dilihat oleh orang lain.
Menguraikan siapa sebenarnya Syaikh Sa’id Ramadhan al-Buthi adalah perkara yang sulit, karena beliau adalah pribadi yang tertutup. Semua hal yang berkaitan dengan amal ibadah juga sisi kepribadiannya tak ingin diketahui oleh orang lain. Adaikan beliau pernah bercerita tentang kepribadian, tak lain itu karena terpaksa. Dengan sikap seperti ini, beliau tak ingin orang lain menghormati karena kedalaman ilmu atau keluhuran nasab beliau.
KEKUATAN DARI TAWAKKAL
Tak ada doa-doa khusus ketika beliau sedang bermunajat kepada Allah SWT. Hanya doa: “Nas’aluka Ya Allah bidlulli ‘ubudiyyatina laka” yang sering terucap dari bibir beliau. Kalimat tersebut merupakan wasilah tertinggi dalam berdoa kepada Allah. Karena dengan ucapan tersebut berarti seseorang memposisikan dirinya pada ketundukan yang paling tinggi disertai rasa mahabbah kepada Allah.
Ketika dalam majelis ilmu, Syaikh Sa’id juga tak banyak meminta kepada Allah. Beliau hanya meminta kepada Allah agar memberi pertolongan dan kekuatan di manapun beliau bertempat. Allahumma a’inna ala ma aqamtana fiih, (Ya Allah berilah aku pertolongan di manapun Engkau menempatkan hambaMu ini). Jika Engkau berkehendak menaruhku di majelis ilmu maka berilah kekuatan untuk mengajar. Jika Engkau jadikan aku ahli mengarang, maka berilah kekuatan untuk mengarang, dan lain sebagainya.
Doa itulah yang —mungkin— memberikan kekuatan luar biasa pada diri Syaikh Sa’id Ramadhan al-Buthi dalam menjalankan aktifitas sehari-hari sebagai pemegang pucuk pimpinan perkumpulan ulama Syam (Ra’is Rabithatu Ulama’ as-Syam), pengajar di Universitas Damaskus, pengisi majelis ta’lim dan halaqah di beberapat tempat di Damaskus. Lain dari itu, Syaikh Sa’id juga sering mengisi sebuah forum-forum internasional di beberapa Negara seperti Amerika, Perancis, Inggris. Andai saja kekuatan —dari Allah— itu tidak datang, mungkin saja seluruh ilmu yang dimiliki Syaikh Sa’id akan habis ludes, termakan mentah-mentah oleh para pemikir Barat.
Termasuk yang menjadi keistiqamahan Syaikh Sa’id Ramadhan al-Buthi adalah berjamaah di Masjid al-Iman Damaskus meski rumah beliau berada di pucuk gunung. Selain itu beliau juga sering membaca Hizb Nawawi sebagai wirid pegangan semasa hidupnya. Tak ketinggalan pula, beliau selalu bershalawat di waktu sore hari Jumat. Perihal membaca shalawat ini, beliau sering mengutarakan hadis Rasulullah yang berbunyi: “Man shalla ‘alaiyya masaa’a yaum al-Jum’ah tsamaanina marrat ghafarallau dunuuba tsamanina sanah”, Barang siapa membaca shalawat kepadaku (Rasulullah) di saat sorenya hari Jum’at sebanyak 80 kali maka Allah akan mengapuni dosanya selama 80 tahun [Hadis Maqbul].
Menurut Syaikh Sa’id, sesorang yang hidup dalam bermasyarakat harus mempunyai wirid. Dengan wirid yang selalu diistiqamahkan, maka hidup seseorang akan ditata oleh Allah Swt.
Kini guru besar itu telah pergi menghadap Tuhannya. Beliau pergi setelah terjadi ledakan bom di Masjid Jami’ al-Iman Damaskus, saat beliau sedang mengajar tafsir al-Quran pada malam Jum’at tanggal 21 Maret 2013 M/8 Jumadil Awal 1434 H. Beliau dimakamkan bersebelahan dengan makam Raja Sholahuddin al-Ayyubi di bawah benteng Damaskus.
Beberapa hari sebelum pergi, beliau sempat berpesan kepada salah satu sahabat dan muridnya, al-Habib Ali bin Abdurrahman al-Jufriy, agar ia tidak lupa untuk selalu mendoakannya. Beliau berkata: “Tidak tinggal lagi dari umurku kecuali umur yang bisa dihitung. Sesungguhnya aku sedang mencium aroma surga dari belakangnya. Janganlah kamu lupa untuk mendoakan saudaramu.” (Wiki-Aswajanu)