Sufi Besar yang Syahid
Beliau adalah ulama besar yang menjadi pembela ajaran ahlussunnah wal jamaah yang membela kebebasan dalam mengikuti madzab Imam yang empat, lahir di Irak dan wafat secara syahid di Suriah.
Sebagai ulama besar beliau dikagumi oleh banyak ulama besar lainnya secara internasional dan telah menghasilkan banyak karya kitab yang juga banyak tersebar di Indonesia.
Sa’id Ramadhan Al-Buthi lahir pada tahun 1929 di Desa Jilka, Pulau Buthan (Ibn Umar), sebuah kampung yang terletak di bagian utara perbatasan antara Turki dan Irak. Ia berasal dari suku Kurdi, yang hidup dalam berbagai tekanan kekuasaan Arab Irak selama berabad-abad.
WAFAT
Beliau telah syahid di malam yang mulia yakni pada malam Jum’at, di waktu yang mulia yakni waktu antara Maghrib dan ‘Isya, di tempat yang mulia di dalam Masjid atauMajelis Ta’lim, dan dalam keadaan melakukan hal yang sangat mulia yakni di saat mengajarkan ilmu-ilmu Allah Swt, mengajarkan ta’lim ahlussunnah wal jama’ah. Beliau Fadhilatusy Syeikh Al Buthi gugur syahid di Masjid Al Iman Damaskus Suriah pada 05 Jumadil Awwal 1434 H/ 21 Maret 2013.
Kata Al-Habib Ali-Al-Jufri “Aku telah menelefonnya dua minggu lepas dan beliau (Dr Ramadhan Al-Buti) berkata pada akhir kalamnya:”Tidak tinggal lagi umur bagi aku melainkan beberapa hari yang boleh dikira. Sesungguhnya aku sedang mencium bau syurga dari belakangnya. Jangan lupa wahai saudaraku untuk mendoakan aku”
NASAB
Bersama ayahnya, Syaikh Mula Ramadhan, dan anggota keluarganya yang lain, Al-Buthi hijrah ke Damaskus pada saat umurnya baru empat tahun. Ayahnya adalah sosok yang amat dikaguminya. Dalam karyanya yang mengupas biografi kehidupan sang ayah, Al-Fiqh al-Kamilah li Hayah asy-Syaikh Mula Al-Buthi Min Wiladatihi Ila Wafatihi, Syaikh Al-Buthi mengurai awal perkembangan Syaikh Mula dari masa kanak-kanak hingga masa remaja saat turut berperang dalam Perang Dunia Pertama. Kemudian menceritakan pernikahan ayahnya, berangkat haji, hingga alasan berhijrah ke Damaskus, yang di kemudian hari menjadi awal kehidupan baru bagi keluarga asal Kurdi itu.
Masih dalam karyanya ini, Al-Buthi menceritakan kesibukan ayahnya dalam belajar dan mengajar, menjadi imam dan berdakwah, pola pendidikan yang diterapkannya bagi anak-anaknya, ibadah dan kezuhudannya, kecintaannya kepada orang-orang shalih yang masih hidup maupun yang telah wafat, hubungan baik ayahnya dengan para ulama Damaskus di masa itu, seperti Syaikh Abu Al-Khayr Al-Madani, Syaikh Badruddin Al-Hasani, Syaikh Ibrahim Al-Ghalayayni, Syaikh Hasan Jabnakah, dan lainnya, yang menjadi mata rantai tabarruk bagi Al-Buthi. Begitu besarnya atsar (pengaruh) dan kecintaan sang ayah, hingga Al-Buthi begitu terpacu untuk menulis karyanya tersebut.
PENDIDIKAN
Pendidikan sang ayah sangat membekas dalam sisi kehidupan intelektualnya. Ayahnya memang dikenal sebagai seorang ulama besar di Damaskus. Bukan saja pandai mengajar murid-murid dan masyarakat di kota Damaskus, Syaikh Mula juga sosok ayah yang penuh perhatian dan tanggung jawab bagi pendidikan anak-anaknya.
Setelah menamatkan pendidikan Ibtidaiyah, ayahnya mendaftarkan sang anak di Ma’had at-Taujih al-Islamy di daerah Meidan, Damaskus di bawah pengawasan seorang mahaguru al-‘Allamah Syekh Hasan Habannakeh –rahimahullah. Syekh Hasan mengetahui pada diri Sa’id terdapat kecerdasan yang menonjol, karena itulah ia amat memperhatikannya dan menjadikannya fokus pengawasan, hingga Sa’id dapat menamatkan pendidikan Ma’had-nya dan menggondol Ijazah Tsanawiyah Syar’iyyah.
Sa’id Ramadhan Al-Buthi muda menyelesaikan pendidikan menengahnya di Institut At-Tawjih Al-Islami di Damaskus. Kemudian pada tahun 1953 ia meninggalkan Damaskus untuk menuju Mesir demi melanjutkan studinya di Universitas Al-Azhar. Dalam tempo dua tahun, ia berhasil menyelesaikan pendidikan sarjana S1 di bidang syari’ah. Pada tahun berikutnya di universitas yang sama, ia mengambil kuliah di Fakultas Bahasa Arab hingga lulus dalam waktu yang cukup singkat dengan sangat memuaskan dan mendapat izin mengajar bahasa Arab.
Kemahiran Al-Buthi dalam bahasa Arab tak diragukan. Sekalipun bahasa ini adalah bahasa ibu orang-orang Arab seperti dirinya, sebagaimana bahasa-bahasa terkemuka dalam khazanah peradaban dunia, ada orang-orang yang memang dikenal kepakarannya dalam bidang bahasa, dan Al-Buthi adalah salah satunya yang menguasai bahasa ibunya tersebut. Di samping itu, kecenderungan kepada bahasa dan budaya membuatnya senang untuk menekuni bahasa selain bahasa Arab, seperti bahasa Turki, Kurdi, bahkan bahasa Inggris.
GURU BELIAU
Syaikh Mula Ramadhan (Ayah)
Al-‘Allamah Syekh Hasan Habannakeh
MEMBERIKAN IJAZAH
Selulusnya dari Al-Azhar, Al-Buthi kembali ke Damaskus. Ia pun diminta untuk membantu mengajar di Fakultas Syari’ah pada tahun 1960, hingga berturut-turut menduduki jabatan struktural, dimulai dari pengajar tetap, menjadi wakil dekan, hingga menjadi dekan di fakultas tersebut pada tahun 1960.
Lantaran keluasan pengetahuannya, ia dipercaya untuk memimpin sebuah lembaga penelitian theologi dan agama-agama di universitas bergengsi di Timur Tengah itu.
Tak lama kemudian, Al-Buthi diutus pimpinan rektorat kampusnya untuk melanjutkan program doktoral bidang ushul syari’ah di Al-Azhar hingga lulus dan berhak mendapatkan gelar doktor di bidang ilmu-ilmu syari’ah.
Aktivitasnya sangat padat. Ia aktif mengikuti berbagai seminar dan konferensi tingkat dunia di berbagai negara di Timur Tengah, Amerika, maupun Eropa. Hingga saat ini ia masih menjabat salah seorang anggota di lembaga penelitian kebudayaan Islam Kerajaan Yordania, anggota Majelis Tinggi Penasihat Yayasan Thabah Abu Dhabi, dan anggota di Majelis Tinggi Senat di Universitas Oxford Inggris.