Syeihk Mahfuz Termas, Maha Guru Ulama Nusantara

Muhammad Mahfudz bin Abdullah At-Tarmasi, lebih populer disebut Syekh Mahfudz Termas. Dialah ulama Jawa paling berpengaruh pada zamannya.
Awal mula adanya perguruan Islam Termas tidak mudah. Jauh sebelumnya sekitar abad 15, Nusantara saat itu dipimpin kerajaaan Majapahit. Hampir seluruh masyarakat

Harus dibaca juga..

nya saat itu memeluk agama Hindu dan Budha. Kedua agama ini berkembang di Indonesia ketika di negara asalnya, India mulai mengalami masa-masa kemunduran. Begitu pula di daerah Wengker selatan atau pesisisr selatan yang saat itu dikuasai oleh orang sakti beragama Hindu yang bernama Ki Ageng Buwana Keling. Daerah ini dikenal sebagai cikal bakal daerah Pacitan.

Kegoncangan masyarakat pimpinan Ki Ageng Buwana Keling mulai terjadi seiring dengan datangnya para mubaligh dari kerajaan Demak. Rombongan Mubaligh ini dipimpin Ki Ageng Petung, Ki Ageng Posong dan Syekh Maulana Maghribi. Mereka bertiga meminta Ki Ageng Buwana Keling dan masyarakat sekitar agar bersedia memeluk agama Islam. Peperangan pun tidak terelakkan dan akhirnya dimenangkan mubaligh Demak.

Sejak itulah wilayah Pacitan dengan mudah memeluk agama Islam. Demikian dari tahun ke tahun sampai masa bupati Jagakarya yang berkuasa tahun 1812, perkembangan Islam di masa itu maju dengan sangat pesat. Bahkan tiga tahun kemudian putra Demang Semanten yang bernama Bagus Darso kembali dari pesantren di Ponorogo nyantri dengan Kiai Hasan Besari Sepuh. Dengan dukungan ayahnya R Ngabehi Dipomenggolo, beliau mendirikan pesantren di Semanten (2 kilometer dari arah utara kota Pacitan).Setelah kurang lebih satu tahun ia pindah ke Termas. Inilah awal berdirinya pondok Termas.

Kepindahan Bagus Darso ke daerah Termas bukan tanpa alasan. Diantaranya adalah faktor kekeluargan. Saat itu mertua dan istri beliau menyediakan sebidang tanah di derah yang jauh dari pusat pemerintahan. Sehingga ia cocok dan Bagus Darso kemudian berganti nama menjadi KH Abdul Manan.

Nama Termas sendiri memiliki latar belakang yang cukup unik. Termas berarti keris pusaka kecil yang terbuat dari emas. Keris ini  awal mulanya dimiliki punggawa Keraton Surakarta yang bernama Ketok Jenggot. Oleh Raja Surakarta saat itu, Ketok Jenggot diperintahkan membuka hutan di daerah Pacitan dengan bekal keris pusaka tersebut. Setelah berhasil, keris tersebut di tanam di tempat pertama kali ia membuka hutan, akhirnya daerah tersebut disebut Termas.

Periode Termas

Secara garis besar, kepemimpinan Termas di bagi dua masa. Masa penjajahan dan masa kemerdekaan. Periode pertama Termas di bawah asuhan KH Abdul Manan (1830-18412). Sebagai pondok rintisan, jumlah santrinya saat itu tidak begitu banyak. Mertua KH Abdul Manan yakni Raden Ngabehi Honggowijouyo menjadi pendukung utama pesantren terutama dalam hal pendanaan pesantren. Pengajian-pengajian yang KH Abdul Manan berikan berkisar masalah shalat dan ilmu tauhid. Ia wafat pada minggu pertama bulan Syawal 1282 H dengan meninggalkan tujuh orang putra dan dimakamkan di desa asalnya yakni Semanten.

Sejak kecil KH Abdul Manan dikenal sebagai anak yang cerdas dengan berbagai keistimewaaan. Bahkan guru beliau, KH Hasan Besari Sepuh dari Tegalrejo Kabupaten Ponorogo saat itu mengakui kemuliaan KH Abdul Manan.

Periode kedua Termas dipimpin oleh KH Abdullah (1862-1894). Ia adalah putra pertama KH Abdul Manan. Pada masa kecilnya ia berguru langsung dengan ayahnya. Setelah cukup dewasa KH Abdul Manan mengajaknya ke Mekkah untuk belajar di sana. Setelah beberapa tahun di Mekkah, ia langsung pulang dan membantu mengajar di Termas. Pada Masa kedua itulah itulah santri Termas semakin berkembang Tidak hanya dari Solo, Ponorogo, Salatiga, Kediri, Purworejo dan lain-lainnya. 

Karena tidak ada kendaraan, maka untuk ke Termas mereka harus berjalan kaki melewati gunung dan hutan yang lebat. Dengan jumlah santri, maka dibangunlah asrama santri di sebelah selatan jalan. Asrama ini pada masa KH Dimyathi dikenal sebagai pondok wetan.

Pada masanya KH Abdulloh mengkader dengan cara mempercayakan kepada santri-santri lama untuk mengajar santri-santri baru. Sementara bagi mereka santri lama diberikan kitab yang lebih tinggi. KH Abdullah juga berhasil mendidik putra-putranya menjadi ulama besar pada jamannya.Pada masa itu muncul sebutan ulama At-Tarmasi yang sangat disegani di negara Arab. Bermula dari beliau yang belajar di Mekkah. 

Kemudian KH Abdullah mengirim putranya yakni Moh Mahfudz untuk menuntut Ilmu di Mekkah. Setelah mukim di Mekkah, Muhammad Mahfudz belajar dengan Syaikh Abu Bakar Syatha hingga menjadi ulama besar yang mampu mendudukan dirinya menjadi salah satu pengajar di masjidil Haram.

Selang beberapa tahun, KH Abdullah menunaikan ibadah haji yang ketiga kalinya. Kala itu ia mengajak ketiga orang putranya yaitu K Dimyathi, K Dahlan dan K Abdur Rozaq. Dengan tujuan agar ketiga bersaudara ini bisa belajar langsung dengan Syaikh Mahfudz At Tarmasie. Selain tiga saudara ini terdapat KH Hasyim Asy’ari Jombang yang berguru dengan Syaih Mahfudz At Tarmasie.

Syaikh Mahfudz terbilang sangat produktif dalam menulis kitab, telah beberapa kitab ia tulis dan menjadi acuan belajar di beberapa perguruan tinggi di Maroko, Iraq, Saudi Arabia dan lain sebagainya. Ia mukim di Mekkah hingga ia wafat pada hari Rabu Bulan Rajab tahun 1338 H dan dimakamkan di Mekkah dengan suasana mengharukan disaksikan keluarga besar sang guru utama yakni Syaikh Abu Bakar Syatha.

Syaikh Muhammad Mahfuz Termas lahir di Termas, Pacitan, Jawa Timur, pada 12 Jumadil Ula 1285 H/31 Agustus 1868 M, dan bermukim di Mekah sampai wafat pada 1 Rajab 1338 H/ 20 Mei 1920 M. Syaikh Mahfudz amat berjasa dalam memperluas cakupan ilmu-ilmu yang di pelajari di pesantren-pesantren di Jawa, termasuk hadis dan ushul fiqh. Untuk mengetahui sejarah pendidikannya, guru dan ilmu-ilmu yang dipelajari oleh Syaikh Muhammad Mahfuz Termas tidaklah terlalu sulit, karena sejarah hidup dapat ditemukan dalam karya-karya yang dikarangnya. 

Dalam Kitab Muhibah zil Fadhli jilid ke-4 yang merupakan salah satu karya nya, dikatakan bahwa pada masa mudanya banyak menimba ilmu kepada ayahnya sendiri, Syaikh Abdullah bin Abdul Mannan at-Tarmasi. Dari ayahnya beliau mempelajari Syarh al-Ghayah li Ibni Qasim al-Ghuzza, al-Manhaj al-Qawim, Fat-h al-Mu’in, Fath al-Wahhab, Syarh Syarqawi `ala al-Hikam dan sebagian Tafsir al-Jalalain hingga sampai Surah Yunus. Merasa haus akan ilmu dan setelah banyak belajar kepada ayahnya, Syeikh Muhammad Mahfuz Termas kemudian memilih merantau ke Semarang untuk belajar kepada Kyai Muhammad Saleh Darat. Di bawah bimbingan Kyai Saleh Darat ini, beliau mempelajari Syarh al-Hikam (dua kali khatam), Tafsir al-Jalalain (dua kali hatam), Syarh al-Mardini dan Wasilah ath-Thullab (falak).

Setelah beberapa tahun dalam bimbingan Kyai Saleh Darat. Syaikh Muhammad Mahfuz Termas meneruskan pengembaraan ilmunya ke Mekah. Di negara kelahiran Nabi Muhammad ini, beliau berguru kepada para ulama terkemuka, diantaranya adalah Syaikh Ahmad al-Minsyawi, dari ulama’ ini, beliau belajar Qira’ah Ashim dan tajwid, sebagian Syarh Ibni al-Qashih ala asy-Syathibiyah. Dalam waktu yang bersamaan, beliau juga belajar kepada Syeikh Umar bin Barakat asy-Syami, dengan mempelajari Syarh Syuzur az-Zahab li Ibni Hisyam. Juga kepada Syaikh Mustafa al-’Afifi, dengan mengkaji kitab Syarh Jam’il Jawami’ lil Mahalli dan Mughni al-Labib. Sahih al-Bukhari kepada Sayid Husein bin Sayid Muhammad al-Habsyi. Sunan Abi Daud, Sunan Tirmizi dan Sunan Nasai kepada Syeikh Muhammad Sa’id Ba Bashail. Syarh `Uqud al- Juman, dan sebagian kitab asy-Syifa’ lil Qadhi al-’Iyadh kepada Sayid Ahmad az-Zawawi. Syarh Ibni al-Qashih, Syarh ad-Durrah al-Mudhi-ah, Syarh Thaibah an-Nasyr fi al-Qiraat al-’Asyar, ar-Raudh an-Nadhir lil Mutawalli, Syarh ar-Ra-iyah, Ithaf al-Basyar fi al-Qiraat al-Arba’ah al-’Asyar, dan Tafsir al-Baidhawi bi Hasyiyatihi kepada Syeikh Muhammad asy-Syarbaini ad-Dimyathi. Dalail al-Khairat, al-Ahzab, al-Burdah, al-Awwaliyat al-’Ajluni dan Muwaththa’ Imam Malik kepada Sayid Muhammad Amin bin Ahmad Ridhwan al-Madani serta ulama’-ulama’ terkemuka lainnya, seperti Syeikh Ahmad al-Fathani dan Syaikh Nawawi Banten, salah satu ulama Indonesia yang juga bermukim di Mekah. Sedangkan guru utama beliau yang paling banyak mengajarnya pelbagai ilmu secara keseluruhannya ialah Sayid Abi Bakr bin Sayid Muhammad asy-Syatha, pengarang kitab I’anatut Talibin, syarah Fathul Mu’in.

Konon katanya, salah seorang Ulama Patani, Syaikh Ahmad Al-Fathani memiliki hubungan yang erat dengan dengan Sayid Abi Bakr asy-Syatha, bahkan diceritakan bahwa salah satu karangan Sayid Abi Bakr asy-Syatha yang berjudul I’anatut Thalibin Syarh Fat-hil Mu’in sebelum dicetak terlebih dahulu ditashih dan ditahqiq oleh Syeikh Ahmad al-Fathani atas perintah Sayid Abi Bakr asy-Syatha sendiri dan Syeikh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah al-Makki. Dan diceritakan pula bahwa yang pertama kali mengajar kitab I’anatut Thalibin di dalam Masjid al-Haram ialah Syeikh Ahmad al-Fathani, semua murid Sayid Abi Bakr asy-Syatha pada zaman itu termasuk Syeikh Muhammad Mahfuz Termas hadir dalam halaqah atau majlis pengajian Syeikh Ahmad al-Fathani itu.

Dalam kaitannya dengan penimbaan ilmu, Syaikh Mahfudz memiliki karya khusus yang mencatat semua sanad dari setiap ilmu yang beliau pelajari, beliau kumpulkan dalam karyanya yang berjudul Kifayatul Mustafid.Dalam pengembaraannya di Mekah, beliau semasa dan seperguruan dengan Syeikh Wan Daud bin Mustafa al-Fathani (1283 H/1866 M – 1355 H/1936 M), Mufti Pulau Pinang Haji Abdullah Fahim serta ulama’ lainnya.

Mahfudz tidak kembali ke Nusantara, memilih berkarier di Makkah, tempat dia menjadi guru yang ulung. Sewaktu Abdullah wafat pada tahun 1894, adiknya, Dimyati, yang menjadi kiai di Termas. Anak-anak Abdullah lainnya adalah Kiai Haji Dahlan yang juga pernah belajar di Makkah. Sekembali dari Tanah Suci dia diambil menantu oleh Kiai Shaleh Darat Semarang; Kiai Haji Muhammad Bakri yang ahli qira’ah, dan Kiai Haji Abdur Razaq, ahli thariqah dan mursyid yang punya murid di mana-mana. Kiai Dimyati memang punya andil besar dalam memajukan pesantren Termas. Tapi, berkat reputasi Mahfudz-lah Termas menjadi dikenal lebih luas, meskipun, itu tadi, beliau tidak pernah mengajar di sana. 

Di antara murid-muridnya yang berasal dari Indonesia adalah Kiai Haji Hasyim Asy’ari, Kiai Haji Bishri Syansuri dan Kiai Abdul Wahhab Hasbullah, yang kelak mendirikan Nahdhatul Ulama di tahun 1926. Kita ketahui, ketiga kiai ini merupakan murid Syekh Mahfud yang paling terkenal dan diakui berkat kegiatan politik mereka di Tanah Air. Dia juga mengajar sejumlah murid, dan beberapa di antaranya menjadi ulama yang berpengaruh, sebut misalnya Ali al-Banjari, penduduk Makkah asal Kalimantan Selatan), Muhammad Baqir al-Jugjawi, wong Yogya yang juga bermukim di Makkah, Kiai Haji Muhammad Ma’shum al-Lasemi, pendiri pesantren Lasem, Jawa Tengah, Abdul Muhit dari Ponpes Siwalan Panji Sidoarjo, pesantren penting lainnya dekat Surabaya. 

Memang banyak di antara murid Syekh Mahfudz yang mendirikan pesantren. Kiai Hasyim sendiri adalah pendiri Pesantren Tebuireng, dan kiai pertama yang mengajarkan kumpulan hadis Bukhari. Sedangkan Kiai Bishri, menantunya, pendiri pesantren Tambakberas, yang juga pernah menjadi rais ‘aam PB NU. Kedua kiai besar ini, kita ketahui, adalah engkongnya Abdurrahman Wahid, mantan presiden kita itu.

Next Post

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Top Stories

ADVERTISEMENT

Login to your account below

Fill the forms bellow to register

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.