SYARIAT,
THARIQAT, HAKIKAT
Adzan Subuh menggema panjang pagi itu. Di kedai
Cak San, ada sosok yang menunggu di depan kedai
itu. Ketika jamaah subuh berlangsung, ia tetap saja
berdiri di sana. Ia tak bergeming. Ketika usai jamaah subuh
sosok itu masih sedia kala. Pakaian cukup bersih, dengan
nuansa merah putih.
Pardi agak terkejut ketika mengamati orang itu. Sebab
ia langsung menebak isi hati Pardi dan sejumlah kejadian
yang baru dialami. Pardi hanya terbengong, orang aneh
macam apalagi ini?
“Dari mana Mas?”
“Dari masjid Pak,” jawab Pardi.
“O, ya, kalau belum sampai, sholat saja seperti
mereka?”
“Maksud Bapak?”
“Kalau sudah kenal Allah, sudah bersama Allah, sudah
sampai kepada Allah, untuk apa meniti jalan seperti itu?
Cukup Sholat abadi, sholat Da’im saja, sholat dalam batin
saja.”
Pardi baru ngeh. Pasti ini salah paham terhadap
paham yang salah.
Pardi jadi ingat apa yang dikatakan Kang Soleh
beberapa waktu lalu di Masjid Raudhah, mengenai soal
meninggalkan syari’at, karena klaim hakikat. Masalah
tersebut memang menjadi kerisauan perkembangan
tasawuf dewasa ini. Atas nama sufi dan pencapaian hakikat,
mereka mengklaim telah mencapai tujuan utamanya,
sehingga syari’at harus ditinggalkan. Sebab menurut mereka,
syari’at dianggap sebagai sarana belaka, untuk mencapai
hakikat. Suatu pandangan yang —di samping keliru— juga
menyesatkan.
Karena itu, dalam memasuki dunia tasawuf, seseorang
tetap dibutuhkan mursyid yang Kamil Mukammil agar
tidak terjebak pada logika-logika filosofis seperti itu, sebab
dunia hakikat itu adalah dua sisi mata uang dengan dunia
syari’at. Mereka yang menjalani dunia sufi tanpa syari’at
berarti perjalanannya batil, dan sebaliknya mereka yang
menjalankan syari’at tanpa mengenal hakikatnya, maka
ibadahnya diibaratkan kerangka tanpa ruh.
“Para sufi agung sendiri malah menegaskan, bahwa
syari’at itu bisa disebut hakikat, jika ditinjau dari segi bahwa
syari’at merupakan perintah Allah. Disebut hakikat karena
perintah-perintah Allah adalah sentra dari kosmik ibadah
yang harus dijalankan hamba-hamba-Nya. Sementara
hakikat sendiri juga bisa disebut syari’at dari segi bahwa
hakikat adalah wahana aturan-aturan Ilahi yang dijalankan
4 | Seri Kedai Sufi
oleh jiwa hamba-hamba-Nya,” kata Kang Soleh yang
terngiang di benak Pardi.
“Begini, Pak,” kata Pardi, “kalau syari’at tidak diturunkan
maka kehidupan ubudiyah di dunia ini tidak diperlukan.
Dan jika aturan ubdiyah tidak ada, maka ummat manusia
akan melakukan aktivitas ubudiyah sebagaimana dilakukan
oleh kalangan Jahiliyah yang menyembah api, berhala,
dan menyembah apa pun yang dianggap sebagai Tuhan.
Mereka yang anti syari’at sebenarnya telah menuhankan
dirinya sendiri, karena kesesatan fahamnya terhadap hakikat
tersebut. Di dalam tradisi sufi, muncul sejumlah wacana yang
tidak bisa difahami sebagai produk filsafat. Misalnya katakata Husein bin Manshur al-Hallaj, “Anal Haq” (Akulah Allah),
bukanlah kata-kata seseorang dalam kondisi sadar rasional.
Tetapi kata-kata Majdzub (ketertarikan spiritual yang
dahsyat kepada Allah di luar kesadarannya), sebagaimana
dua pecinta yang mengatakan satu sama lainnya pada sang
kekasihnya, “Engkau adalah diriku, dan dirimu adalah diriku.”
Sebuah ungkapan yang bisa dibenarkan, tetapi tidak bisa
dilogikakan.”
Orang itu agak terjengak mendengar ocehan makelar
sepeda itu bak seorang profesor. Bahkan si Pardi melanjutkan
dengan cerdasnya.
“Oleh sebab itu, Allah menurunkan para Rasul untuk
membimbing ummat manusia agar tidak terjebak pada logika
spiritual.Dalam Islam, orang yang tidak terkena kewajiban
sholat itu antara lain: 1) Orang gila, 2) anak-anak, 3) orang
lupa, 4) orang tidur, 5) orang yang terkena udzur syar’i (seperti
haid dan nifas). Termasuk orang yang gugur kewajiban
sholatnya adalah orang yang gila kepada Allah. Sebab orang
yang gila kepada-Nya, benar-benar terhanguskan dari ruang
waktu, hilang kesadaran rasionalnya, sampai akhirnya hanya
Allah saja yang dilihat, disaksikan dan dikenang serta diingat.
Lha sampean kan masih doyan rokok, kopi, tau waktu, tahu
warna, tahu tempat. Berarti belum gila, Pak.” ledhek Pardi.
Sepanjang manusia masih sadar ruang waktu, masih
butuh makan dan minum, masih merasa lapar dan haus, dan
masih bisa mendengarkan omongan orang lain, maka ia
masih wajib menjalankan syari’at-Nya.
“Bagi mereka yang sudah mencapai hakikat itu
sendiri? Apakah syari’at tetap ditinggalkan?” tanya orang itu.
“Tidak. Rasulullah melakukan mi’raj sampai ke Sidratul
Muntaha, toh, Rasulullah Saw, tetap turun kembali ke dunia,
menjalankan syari’at shalat. Sebab dunia tempat ruang dan
waktu, karena itu shalat atau syari’at harus tetap dijalankan.
Hanya saja, soal hakikat itu adalah soal ruhani atau qalbu.
Ruhani tetap di langit, tetapi pikiran dan fisik kita di bumi.
Hati dan keyakinan kita menyatu dengan musyahadah pada
Allah, namun akal, jasad dan fikiran kita tetap menjalankan
syari’at-Nya. Menjalankan syari’at itu berarti menjalankan
perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-laranganNya.
Jadi syari’at itu adalah perintah Allah. Kita diperintahkan
mendirikan atau menegakkan sholat. Perintah itu tentu
bersifat fisik karena adanya gerakan-gerakan lahiriyah
di balik perintah “Aqiimush-Shalaah”. Walau pun dalam
perintah itu mengandung arti lahiriyah dan sekaligus juga
bathiniyah. Makna lahiriyahnya adalah syar’at dan makna
bathiniyahnya adalah hakikat. Bukan syari’at sebagai sarana
menuju hakikat. Bukan!”
Tiba-tiba sosok tua itu memeluk Pardi sambil
menguatkan isak tangisnya. Bahkan beberapa kali Pardi
diciumi. Pardi hanya bengong. Masya Allah, orang ini dapat
hidayah.
Lalu satu persatu para pekedai dan penongkrong
majlis kopi berdatangan. Orang itu pun pergi sambil
mengucapkan banyak terimakasih pada Pardi. Sedang Pardi
tetap bingung apa yang baru saja dia alami.
(dari buku Jalan Cahaya, Seri Kedai Sufi oleh KHM Luqman Hakim, Cahaya Sufi Jakarta)