Asy-Sya’rani
Tuan Guru Muhammad al-Ghamari telah menulis sebuah kitab yang berjudul, “Suatu Tema dalam Mengharamkan Bergaul dengan Pemuda dan Perempuan” Dalam tulisan ini ia membeberkan dengan jelas tentang kaum fakir sufi Ahmadiyyah yang mengambil sumpah kaum perempuan untuk menjadi murid, sehingga salah seorang dan mereka ada yang tinggal bersama kaum perempuan yang tidak ditemani suaminya, dimana perempuan mi memanggilnya, “Wahai ayahku!” Lalu orang sufi laki-lakinya memanggil, “Wahai anakperempuanku.” Dalam kitab ini al-Ghamari mengatakan, bahwa hal seperti itu sudah di luar ketentuan syariat. Dan orang yang menyatakan bahwa tindakan seperti itu halal, maka ia telah keliru. Al-Ghamari memberikan argumentasi dengan ayat al-Qur’an yang menjelaskan tentang kewajiban para sahabat terhadap para istri Rasulullah Saw: “Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dan belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.”(Q.s. al-Ahzab: 53).
Lebih lanjut al-Ghamari mengatakan: Bagaimana mereka dianggap perempuan dan teman yang bodoh, sementara mereka mampu menjaga diri dan menyenangi hal-hal yang haram. Seperti lalat yang ada di atas cairan madu. Tindakan seperti itu dianggap tidak berbahaya untuk dirinya tapi berbahaya bagi sahabat nabi!?
Maka hendaknya orang fakir sufi lebih berhati-hati dan waspada. — Dan segala puji hanya miliki Allah, Tuhan Pemelihara alam.
Termasuk diantara perilaku murid, hendaknya tidak puas dengan kisah-kisah perjalanan para tokoh sufi saja tanpa menerjuni sendiri pada tingkatan-tingkatan spiritual, sehingga ia pandai bercerita tentang tingkatan-tingkatan spiritual seakan-akan ia telah menerjuninya. Hal semacam ini hanyalah faktor pemutus paling besar dalam perjalanan murid, dan ini termasuk kemunafikan dan pengkhianatan terhadap tarekat.
Lebih dari itu ia hafal betul dengan kitab-kitab tasawuf seperti ar-Risalah ai-Qusyairiyah atau Awarif al-Ma’arif. Orang seperti ini hanyalah seorang ilmuwan, dan bukan orang yang suluk. Dan tangannya tidak akan mampu meluluskan seorang murid pun bila ia menjadi seorang pemimpin perguruan sufi. Di zaman sekarang ini banyak orang yang terperangkap dengan orang seperti ini dimana ia telah berhasil mengelabui sebagian besar orang. Mana pemimpin tarekat sufi yang sebenarnya dan mana musuh mereka, hanya disebabkan ketidaktahuan sebagian besar orang dengan tingkatan-tingkatan para ahli tarekat.
Saya tahu ada seseorang datang kepadaku dan sudah lama ingin mencari jalan (tarekat) kepada Allah Swt., tapi ia saya tolak. Lalu ia berkata, “Saya sudah beristikharah (mencari petunjukyang baik) kepada Allah, bahwa hatiku belum merasa lega kecuali mengambil tarekat dari anda.” Dengan alasan itu pun saya tidak mau menerimanya, karena saya tahu bahwa ia tidak akan terbukakan mata hatinya (futuh) lewat tangan saya dengan adanya bukti-bukti dan tanda-tanda yang telah saya ketahui sebelumnya. Kemudian ia meninggalkan saya dan mengaku, bahwa sebagian guru sufi yang telah silam mendatanginya sewaktu ia tidur, kemudian membimbing (talqin) bacaan dzikir dan mengizinkannya untuk membimbing dan mendidik suluk para murid.
Akhirnya ia mengumpulkan sebagian orang awam yang duduk di majelis sebagaimana majelis orang-orang yang jujur. Sampai pada akhirnya sebagian orang yang sudah ikut berkumpul dalam majelisnya mengatakan, “Di negeri ini tidak ada guru lain selain guru kami!” Sementara sang “guru” ini tidak pernah mencicipi sedikit pun tingkatan-tingkatan spiritual. Saya telah berulang kali memberi tahu orang ini bahwa si “guru” tersebut tidak pernah mengambil tarekat dari siapa pun, tapi ia juga tidak menggubris apa yang saya katakan. Semoga Allah yang bakal mengampuninya.
Kapan Seorang Murid Boleh Memimpin Perguruan Tarekat?
Dan diantara perilaku yang harus dilakukan murid hendaknya tidak memimpin suatu majelis untuk menyampaikan ilmu lahiriah (syariat) dan ilmu batin sehingga gurunya telah memberikan kesaksian akan keikhlasan sang murid dalam memimpin majelis tersebut. Demikian pula ia tidak boleh memiliki murid (sufi). Kalau misalnya setiap murid akan memimpin suatu majelis untuk menyampaikan pelajaran atau mengajari tarekat sebelum api manusiawi (basyariah) nya padam lebih dahulu dan mendapat izin dari sang guru untuk memimpin tarekat, tentu akan terputus dan sesat lagi menyesatkan. Hakikat yang dicari juga tidak akan tersingkap dan tidak bisa diambil manfaatnya oleh makhluk.
Hal ini terjadi karena ambisi jabatan dan kedudukan, serta senang popularitas telah menyesatkannya. Akhirnya sinar kaca cerminnya menjadi pudar, sehingga tidak mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah, tidak mengerti kondisi tarekat yang sebenarnya. Ini ibarat orang yang duduk di suatu rumah dalam kondisi gelap gulita, lalu ia mulai berpikir tentang barang-barang yang ada di dalam rumah dan bagaimana kondisinya, maka dengan pasti ia tidak akan mampu memahami dan menemukan hakikat yang sebenarnya. Baru apabila ada sinar lampu yang masuk ke dalam rumah, ia akan mampu memahami apa yang ada di dalam rumah tanpa harus berpikir.
Maka bisa diketahui bahwa setiap guru yang telah menjadikan muridnya sebagai imam atau guru atau orang yang memberi nasihat maka ia benar-benar telah menipunya, kecuali karena kondisi yang memaksa dan bisa menjaga muridnya dan segala bencana. Dan ini sangat langka di kalangan kaum fakir sufi di zaman sekarang. Barangkali seorang guru melihat bahwa si murid tersebut tidak akan membuahkan apa pun dalam tarekat, maka ia biarkan dengan melakukan hal-hal yang mubah sebagai adab bersama Allah yang tidak memberinya bagian dan tarekat kaum sufi, dan ini bukan pengkhianatan terhadap si murid. Dan hanya Allah Yang Mahatahu.
Antara Syariat dan Hakikat
Dan diantara perilaku yang harus dilakukan murid hendaknya berusaha menjaga semampu mungkin adab-adab syariat dan berjalan pada jalur lahiriah syariat. Sebab seluruh peningkatan Spiritual berada dalam menjalankan perintah Sang Pemberi aturan. Sedangkan ilmu hakikat adalah ibarat orang yang mengatakan:
Langit di atas kita dan bumi berada di bawah kita, api terasa panas dan es terasa dingin. Akan tetapi orang ini tidak boleh meninggalkan syariat yang menghalanginya pada sesuatu dan kondisinya.
Ini sering kali dilupakan oleh sebagian besar orang yang telah mencium bau tauhid di zaman ini Akhirnya ia berani melanggar batas-batas ketentuan Allah dalam makanan, pakaian, omongan dan perbuatannya. Bahkan ia berani mengatakan, bahwa Allah menciptakan semua ini untukku. Sebagian yang lain tidak mau melakukan tobat dan dosa-dosa yang ia lakukan, dengan mengatakan, “Aku tidak punya perbuatan sehingga aku perlu bertobat dan perbuatan yang aku lakukan.” Akhirnya ia hancur bersama-sama orang-orang yang hancur, sementara ia tidak merasa. Sebagian dan mereka ada yang makan makanan haram dan tidak berpuasa di bulan Ramadan, kemudian mengatakan, “Semuanya adalah milik Allah Swt., dan tidak seorang pun yang memiliki bersama-Nya, saya ini hanyalah hamba-Nya, sedangkan hamba akan makan dan harta milik Tuannya.” Semua tindakan dan ucapan ini adalah zindiq, karena tidak lagi mengakui adanya syariat. Andaikan ia percaya dengan adanya syariat tentu ia tidak akan berani melanggar aturan-aturan tersebut.