Suluk Sunyi Penulis Sufi

Novelis Muda -Muhidin M Dahlan
Islam sebagai agama tidak hanya menekankan ibadah ritual yang bersifat individual, ia justru lebih berkonsentrasi pada transformasi sosial. Karenanya, sebuah

Harus dibaca juga..

ritus personal dan ajaran spiritual dalam Islam tidak akan pernah bisa dipisahkan dari konteks keduniaan dan kemanusiaan. Peformasi yang dibawa bersamaan dengan kehadiran Al-Musthafa Muhammad Saw hendak menolak penekanan ajaran spiritual, seperti dzikir, i’tikaf, tahajud, atau yang sejenisnya berhenti pada pengalaman batin atau “pertemuan“ dengan Tuhan semata. Sementara pertanyaan, “setelah bertemu Tuhan, what shall we do next ?”  tidak diperhatikan.

Begitu halnya dengan tasawuf. Tasawuf dalam Islam bukan datang dari jenisnya yang aksesif. Maka setelah melakukan disengagement, melepaskan diri dari kehidupan sehari-hari, atau setelah keluar dari “rumah”, manusia harus kembali lagi “kerumahnya” dan membangun kehidupan yang sejahtera. Dan terpenting dari itu, aktualitas makna spiritual mesti lebih berarti bagi pengembangan nilai kemanusiaan.

Kita dapat menarik hikmah ketika Allah Swt menjelaskan sifat mulia para sahabat Nabi yang salah satunya, dikatakan oleh-Nya, terlihat pada wajah mereka min-atsaris sujuud  atau “bekas sujud”. Bahwa yang dimaksud dengan min-atsaris sujud bukanlah bekas tanda hitam karena seringnya jidat “digosokkan” ke sajadah. Tapi yang dimaksud dengan atsaris sujud bagi orang yang banyak bersembahyang adalah dalam bentuk konkret seperti, bangunan, karya tulis, pemikiran dan sebagainya.

Tidak demikian halnya dengan tasawuf dalam Islam. Ia sarat dengan dasar teori-sufistik bagi tema-tema kemanusiaan. Sebut saja misalnya penafsiran mistis tentang mi’raj Nabi Muhammad Saw yang mengaksentuasi arti penting kembalinya beliau ke muka bumi setelah bertemu Tuhan untuk membangun peradaban dan menyelamatkan umat manusia. Atau dalam tema albaqa’ ba’da al-fana’, yakni wajibnya seorang salik  yang sudah terlebur dalam alam Ketuhanan (fana’ ) untuk turun kembali kepada sesama makhluk agar dapat membantu mereka.   

Di Indonesia, terutama di era pra kemerdekaan, Dunia Sufi telah tercatat menjadi bagian perjalanan kebangsaan yang mendorong lahirnya masyarakat progresif dan egaliter. Hanya saja, pada pasca kemerdekaan Dunia Sufi menyimpan persoalan yang perlu segera disikapi (dipecahkan) agar kegiatan-kegiatan rohani yang selama ini marak (baik dimasyarakat perkotaan maupun di pedesaan) lebih “memperlihatkan” gairahnya menerjemahkan tema-tema sufisme ke dalam tema-tema konkret kekinian dan kedisinian yang dapat membangun kembali Indonesia yang lebih maju dan tercerahkan.

Al-Quran dan al-Hadist, teladan Nabi Muhammad Saw dan para Sufi Besar, seperti Jabir bin Hayyan Al-Azdi (penemu ilmu al-Jabbar), Fariduddin Al-‘Aththar (dinamakan Al-Aththar karena beliau memiliki pabrik parfum), Sa’id al-Kharraz (pengusaha konveksi), Abil Hasan Asy-Syadziliy (pendiri tarekat syadziliyyah yang juga seorang pegusaha dan konglomerat), dan Al-Farabi (yang melahirkan banyak gagasan dan gubahan musik), telah “mewariskan” teladan dan ajaran-ajaran besar.

Pertanyaannya, sudahkan kita (penempuh jalan spiritual atau pengamal tarekat) menjalankan “warisan” teladan dan ajaran-ajaran besar Nabi Muhammad Saw dan para Sufi Agung hingga dapat mewarnai trend  kehidupan masyarakat ?
Berikut wawancara Majalah Cahaya Sufi bersama Muhidin M Dahlan, Novelis Muda, yang hampir semua novel dan tulisan-tulisannya memiliki tendensi sufisme, di kantornya, Indexpress, dibilangan Jakarta Pusat (yang bertetanggaan dengan Tugu Monas, Istana Negara, Kantor Mensesneg dan Markas Besar Angkatan Darat), seputar Dunia Sufi, dan peran Tarekat dulu dan yang akan datang.  

Salah satu pesona yang dimiliki kebanyakan para Sufi tidak melulu pada kecerdasan otak, keterampilan berbicara, bakat seni atau jumlah harta, tapi juga kemampuan mereka dalam menulis untuk menyebarkan ide dan pemikirannya serta menularkan kesetiaan terhadap kata hati dan amanat hidup, dan terbukti dapat memberi pengaruh yang signifikan terhadap trend masa  di zamannya sampai hari ini.

Muhidin M Dahlan, yang akrab di panggil Gus Muh ini, ada seorang novelis yang karyanya sarat dengan pesan-pesan sufisme walau ada satu buku yang ditulisnya, Kabar Buruk Dari Langit, yang jika dibaca secara serampangan terkesan seolah “melecehkan” tokoh Sufi seperti Ibnul ‘Arabi, Abu Yazid Al-Busthami, Imam Ghazali dan lain sebagainya.

Membandingkan usia dengan jumlah tulisan yang mencapai ratusan dan ragam tulisan yang telah Anda buat mulai dari artikel, esai maupun ulasan buku, di blog Anda sendiri dan beberapa Koran seperti Koran Tempo, Kompas, Republika, Media Indonesia dan Jawa Pos serta majalah nasional seperti Tempo, serta delapan buku (Adam Hawa: Hawa Bukan Perempuan Pertama, Kabar Buruk dari Langit, Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur !, Jalan Sunyi Seorang Penulis, Aku-Buku-dan Sepotong Sajak Cinta, Mencari Cinta, Di Langit Ada Cinta, Terbang Bersama Cinta.) yang sudah Anda lahirkan, sepertinya Anda sudah menempatkan positioning diri Anda sebagai penulis ?

Ya. Buat saya menulis adalah jalan asketik yang dalam Dunia Sufi dikenal dengan istilah zuhud  yakni jalan pengikatan diri terhadap Allah (hablum minallah) dan hal apapun (hablum minan naas) untuk kemudian menyampaikan (hanya) kebenaran yang kita yakini, kita geluti lalu kita sampaikan dengan menuangkannya dalam sebuah tulisan. Begitu kira-kira yang dilakukan para Sufi seperti Imam Al-Ghazali dengan salah satu kitabnya, Ihya’ ‘Ulumiddiin.

Next Post

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Top Stories

ADVERTISEMENT

Login to your account below

Fill the forms bellow to register

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.